Dum dor.. dum dor.. dum dor, suara meriampun bersaut-sautan menandakan anak-anak disekitar rumah sedang ngabuburit menunggu gema suara bedug dan adzan maghrib berkumandang, bambu diisi minyak tanah kembali dan lagi-lagi ditiup bambu tersebut kemudian menghasilkan suara yang sama atau terkadang sesekali suaranya terdengar ‘mengejan’, “pasti ini suara meriam gagal”,’ batinku (sambil tersenyum kecil)’. Sayangnya ini hanya sekelumit kisah tak terlupakan yang pernah mewarnai ramadanku sekitar 10 tahun yang lalu di desa nan asri bernama Bukit Sari 8 jam perjalanan dari provinsi Jambi ketika dulu mulai berpuasa sejak menjadi siswi taman kanak-kanak.
Mungkin saat membaca tulisan ini, kamu yang sempat bersamaku saat itu telah berada pada kehidupan yang berbeda jauh dari saat ramadan ketika masa kecil kita. Tulisan ini didedikasikan untukmu yang saat ini berada didaerah yang tak sama dan rindu pada suasana desa yang telah sekian tahun menjadi cerita masa kecilmu dulu dimana ketika itu ramadan begitu terasa menyenangkan dan mengesankan. Berikut ini merupakan 10 hal yang dirindukan saat ramadan dimana sekarang hanya menjadi kenangan tak terlupakan.
ADVERTISEMENTS
1. Gemuruh meriam bambu adalah rindu yang sempat dianggap mengganggu
Ketika suara gemuruhnya terdengar, orang tua khususnya pasti merasa khawatir dan pasti memarahi ketika mengetahui anaknya sedang bermain sesuatu yang membahayakan, namun bukan anak-anak namanya jika langsung jera dan hal ini menjadi keunikan tersendiri ketika bulan ramadan tiba.
ADVERTISEMENTS
2. Berpuasa setengah hari tak mengapa, asalkan mau belajar berpuasa
Bulan ramadan menjadi bulan belajar menahan diri begitulah orang tua dan guru mengaji mengatakan, mulai dari menahan haus, lapar maupun amarah sehingga tak jarang puasa menjadi kambing hitam anak-anak seusiaku waktu itu untuk menjahili temannya yang sedang berpuasa agar menahan diri tidak marah. Pada masa itu sering sekali mendengar istilah puasa “manuk tilang, nek lue madang” (puasa burung kutilang, dimana kalo lapar makan) atau puasa “manuk emprit, nek lue jerit-jerit” (puasa burung emprit, kalo lapar teriak-teriak) sedikit kalimat-kalimat menggelitik yang terlontar sebagai sindiran dari orang tua pada anak-anak yang sedang belajar berpuasa.
ADVERTISEMENTS
3. Sholat shubuh menjadi alibi agar diizinkan bermain setelah sahur
Mulai dari bangun sahur membaca niat puasa yang masih dibantu ejaan dari orang tua, setelah selesai bersantap sahur kemudian dijemput teman beramai-ramai untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah dimasjid. Menjadi alibi sebab, diwaktu bulan ramadanlah orang tua mau mengizinkan anak-anaknya keluar pagi buta dengan alasan ibadah yakni sholat shubuh, demi menunggu sholat shubuh sampai rela tak tidur lagi sembari menanti jemputan teman-teman yang lain untuk pergi kemasjid menunaikan sholat meskipun dengan mata yang masih terkantuk sambil berjalan kaki dan terasa begitu menyenangkan sambil menghirup udara segar pagi hari.
ADVERTISEMENTS
4. Marathon beramai-ramai adalah kegiatan rutin kita sebagai anak desa ketika ramadan tiba.
Moment dimana pagi-pagi di sepanjang jalan raya penuh dengan anak-anak yang sedang berjalan kaki bersama berkilo-kilo meter dengan dalih olahraga marathon dan hal ini hanya dapat dijumpai pada saat bulan ramadan. Kegiatan pagi tersebut bisa dilakukan karna sekolah-sekolah waktu itu meliburkan siswanya hingga satu bulan.
ADVERTISEMENTS
5. Petasan dan kembang api adalah ritual khas ramadan menjadi hal yang hanya dapat dijumpai satu tahun sekali.
Mungkin marathon belum lengkap rasanya jika tidak menghidupkan petasan dan kembang api serta bernyanyi lagu hits pada masa itu. Terasa tanpa beban, tanpa keluhan serasa lempeng saja kami lakukan dengan suka cita, meskipun teriakan dan pekikan yang mungkin mengganggu tidur setiap rumah penduduk yang dilewati oleh kami hal ini tak dihiraukan lagi meskipun begitu sarat akan makna yakni kebersamaan yang tercipta tidak ada dendam, benci, maupun caci maki waktu itu.
ADVERTISEMENTS
6. Saling berbagi panganan antar tetangga, menjadi kebahagiaan kecil yang tak ternilai harganya.
Sesekali kita saling berbagi atau membanggakan masakan ibu dirumah sendiri percakapan antar teman ketika itu apalagi kalo bukan seputar menu buka puasa yang tentunya selalu dinanti setiap harinya, belum lagi keceriaan para orang tua yang saling bertukar makanan berbuka seperti kolak pisang bertukar dengan es buah dan lain sebagainya. Kegiatan buka bersama pun menjadi moment mendapatkan makanan banyak nan bervariasi biasanya.
7. Mengaji, berkumpul dan menghafal ayat suci adalah rutinitas setiap hari
Ramadan belum lengkap rasanya jika tidak diisi dengan mengaji dan hal ini menjadi rutinitas setiap hari sehingga berpuasa seharian menjadi tak terasa. Saling bercanda, menyimak bacaan satu sama lain, berlari-larian, menyembunyikan barang teman dan lain sebagainya yang mungkin tidak terulang kembali sebagai kebiasaan.
8. Tarawih menjadi kegiatan yang tidak boleh ketinggalan, dikarenakan ada buku agenda ramadan yang menanti untuk diselesaikan.
Meskipun terkadang merasa sebal harus membawa buku agenda ramadan namun hal ini wajib dilakukan sebagai pertimbangan nilai agama dan tentunya tidak boleh diabaikan. Merangkum apapun yang disampaikan penceramah konsentrasi mendengar namanya, judul ceramah belum lagi harus meminta tanda tangan antri dan rebutan mengelilingi si penceramah setelah sholat tarawih usai dilakukan. Masjid favorit yang sering digunakan tarawih dulu merupakan masjid yang kerap kali kedatangan tamu, seperti bupati, pejabat provinsi,maupun santriwan dan santriwati sebagai pengisi ceramah ramadan dan hal itu menjadi excited tersendiri bagi kami si pemburu tanda tangan, namun kenyataanya si pemberi tanda tangan bukanlah yang diharapkan.
9. Mudik lebaran adalah hal menyenangkan, sebagian orang.
Biasanya mendekati hari raya tetangga sekitar rumah sepi dikarnakan pada mudik balik kampung tak jarang pula menitipkan pesan untuk menjaga rumahnya dan ketika itu pula lingkungan rumah semakin terasa hening. Apalagi ketika tarawih yang awalnya ada empat barisan makmum wanita bisa menjadi satu barisan saja.
10. Mendekati hari raya baju baru dan menghias kue lebaran begitu antusias dilakukan setelah berpuasa selama 30 hari.
Bulan ramadan menurut kami waktu itu belum terasa berkahnya jika belum mendapatkan baju baru, dan pergi kepasar berdesakan dengan banyak orang menjadi moment yang ditunggu-tunggu, membandingkan harga baju dari satu pedagang ke pedagang lain menjadi hal lumrah dilakukan, baru kemudian berburu beraneka ragam bahan membuat kue di pasar. Meskipun berpeluh berjalan kaki keliling-keliling pasar menjadi tak terasa sebab dibayangi dengan menggunakan baju baru dan membuat kue hari raya.
Mungkin ada kesamaan antara ceritaku dan ceritamu di penjuru daerah nan jauh disana. Sekarang, hanya menjadi kenangan ramadan yang pernah menghiasi kegiatan belajar berpuasa kita dulu yang layak untuk dikenang. Tulisan ini diikutsertakan pada kompetisi #KenanganRamadanku yang diadakan oleh Hipwee.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.