Entah karena trend yang sudah berlalu, usia yang bertambah sehingga fokus berubah, atau memang benar adanya, sepertinya memasuki tahun 2018 kita tidak banyak mendapat exposure untuk menyusun New Year Resolution. Namun demikian, meski seringkali resolusi tahun baru hanya sebatas daftar di atas kertas, memiliki target dan komitmen yang hendak dicapai dalam hidup adalah hal yang penting untuk membuat hidup benar-benar hidup. Bayangkan jika hari-hari dihabiskan tanpa rencana yang matang, tidak ada tujuan yang jelas, tentu hidup akan terasa sangat membosankan.
Menyusun resolusi tahun baru membutuhkan refleksi akan apa yang terjadi di masa lalu dan proyeksi akan apa yang akan/kita ingin terjadi di masa depan. Kita diajak untuk berpikir dalam dua dimensi waktu (PAST – FUTURE), yang sangat berguna untuk merumuskan langkah terbaik di masa kini (PRESENT).
Namun, sadarkah Anda bahwa kemampuan berpikir di masa lalu atau masa depan saja tidak cukup untuk merealisasikan apa yang kita inginkan? Bahkan, orang-orang yang dibayang-bayangi oleh masa lalu dan masa depannya sangat rentan mengalami berbagai gejala dan gangguan kejiwaan. Depresi, misalnya, timbul karena penyesalan akan masa lalu atau dihantui akan kegagalan di masa depan. Gangguan kecemasan disebabkan karena kekhawatiran berlebih akan hal-hal yang ‘belum tentu terjadi’ di masa depan.
Tujuan akhir dari merealisasikan resolusi tahun baru tentunya mencapai kebahagiaan. Ironisnya, banyak orang yang setelah menuliskan resolusi itu justru malah semakin jauh dari kebahagiaan. Lalu, apa yang harus dilakukan supaya kita berhasil merealisasikan resolusi kita dengan tetap merasa bahagia?
John Teasdale, Mark Williams, dan Zindel Segal memperkenalkan konsep Mindfulness Based CBT yang terinspsirasi dari konsep Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR) yang dikemukakan oleh Jon Kabat Zinn tahun 1979. Dalam konsep ini, ada tiga hal yang penting untuk diterapkan untuk memperoleh kebahagiaan seiring merealisasikan target yang ingin kita capai:
ADVERTISEMENTS
1. Kesadaran dan penerimaan diri
Menetapkan target memang penting. Namun, yang sangat penting ialah memiliki gambaran yang objektif tentang diri kita, termasuk segala kekurangan yang kita miliki. Secara psikologis, kita terbiasa untuk menilai diri lebih positif, menutup mata terhadap beberapa kelemahan diri kita. Namun kegagalan untuk melihat keterbatasan kita dapat berdampak pada menetapkan standar yang kurang realistis.
Cobalah untuk merefleksikan diri dan mengesampingkan perasaan, emosi, dan pikiran negatif yang seringkali muncul ketika kita berupaya untuk melihat kekurangan dan kegagalan dalam diri kita. Tidak ada cara lain selain menerima secara utuh kegagalan yang pernah kita buat, melepaskannya dari emosi negatif yang tersisa, dan menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga.
ADVERTISEMENTS
2. tidak menghakimi
Belajarlah untuk melihat peristiwa sebagai fakta sehingga kita tidak luput dari pelajaran yang hendak diberikan kepada kita melalui peristiwa itu. Penilaian negatif, merasa gagal, merasa bersalah sesekali dan dalam waktu singkat memang bermanfaat untuk memperbaiki diri. Namun yang seringkali terjadi ialah kita terus-menerus dihantui oleh perasaan demikian. Sepanjang kita sudah sadar akan pelajaran yang didapat dari pengalaman yang kurang menyenangkan itu, lepaskanlah emosi negatif yang menyertai, terimalah sebagai bagian yang utuh dalam hidup, dan tersenyumlah.
ADVERTISEMENTS
3. hidup di masa kini
Penyebab utama kegagalan merealisasikan keinginan dan tujuan dalam hidup ialah karena kita tidak memiliki kontrol di masa kini. Ironisnya, kita berusaha untuk mengontrol apa yang terjadi di masa lalu atau di masa depan, dengan berkata “andai dulu …” atau “bagaimana jika nanti…”. Berhentilah berangan-angan! Kerjakan apa yang mampu dikerjakan sekarang dan jangan lagi izinkan penyesalan dan kekhawatiran mengontrol hidup kita. Apapun yang tidak bisa kita kontrol, serahkan kepada Siapapun yang kita yakini sanggup mengontrolnya, dan berserahlah. Selamat memulai tahun yang baru di mana Anda adalah satu-satunya orang yang mengontrol langkah Anda sekarang dan saat ini!
ADVERTISEMENTS
4. konkret
Resolusi awal tahun akan lebih mudah direalisasikan jika resolusi itu konkrit, mudah dipahami, dan jelas maknanya. Contohnya, “mempelajari hal-hal baru” mungkin lebih sulit untuk direalisasikan daripada “mengikuti kursus X hingga tuntas”; atau daripada berkata “menurunkan berat badan”, lebih baik “menurunkan 10 kg berat badan”.
ADVERTISEMENTS
5. Terjangkau
Ada yang bilang bahwa jika target yang ditetapkan mudah dijangkau, maka orang itu akan sulit berkembang lebih lagi. Pendapat ini ada benarnya, tetapi juga ada salahnya. Target yang terlampau tinggi justru malah membuat seseorang depresi, putus harapan, karena ia tidak pernah bisa mencapainya. Jadi, bagi seorang karyawan yang sudah berkeluarga, pasangan tidak bekerja, dan berpenghasilan 5 juta per bulan, resolusi “memiliki tabungan 15 juta di akhir tahun” akan lebih realistis daripada “memiliki tabungan 30 juta”.
ADVERTISEMENTS
6. Target yang tepat
Target dari menetapkan target dan resolusi awal tahun perlu dibuat bukan untuk mengalahkan orang lain, tetapi untuk mengembangkan diri. Dengan demikian, komitmen yang dibangun untuk menyusun resolusi awal tahun didasari dengan suatu dorongan yang positif untuk mengembangkan diri, bukan dilakukan dalam atmosfir kompetitif. Selain ketiga hal di atas, resolusi yang dibuat juga perlu diarahkan agar dapat semakin mendekatkan diri pada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup. Dengan demikian, resolusi dapat menjadi ‘checkpoint’ dari perjalanan hidup hingga kepada titik akhir.
“Year’s end is neither an end nor a beginning but a going on, with all the wisdom that experience can instill in us.”
– Hal Borland
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”