Ramadan tinggal menghitung hari. Banyak orang bersuka cita menyambut bulan penuh rahmat ini. Begitu pula dengan saya. Rasanya tak sabar menjalankan ibadah puasa dan menanti waktu berbuka dengan keluarga. Namun semua itu sirna saat ekspektasi tak seindah realita.
Ya, ramadan ini saya (lagi-lagi) belum bisa kembali ke kampung nun jauh di sana. Ramadan saja belum bisa pulang, apalagi lebaran. Sudah pasti saya akan menikmati lebaran sendirian di perantauan.
ADVERTISEMENTS
1. Bukan, bukan. Bukan karena menghindari pertanyaan soal pasangan, tapi ini murni karena keadaan
Mengambil keputusan untuk tidak pulang saat ramadan dan lebaran bukanlah hal yang mudah. Ada malam-malam yang dijalani tanpa tidur. Ada kepentingan-kepentingan yang memang harus lebih dulu dikorbankan. Dan tahun ini, kepentingan itu bernama kepulangan. Dengan berat hati saya mengorbankan pulang ke kampung halaman. Bukannya tak mau pulang karena ingin menghindari pertanyaan sialan soal pasangan, tapi memang keadaannya tidak memungkinkan.
ADVERTISEMENTS
2. Apalagi sebagai anak rantau baru yang masih minim penghasilan. Malu rasanya kalau pulang tak membawa banyak buah tangan
“Pulang ya kak. Nggak perlu bawa apa-apa. Kalau tiketnya kemahalan, nanti ibu bantu belikan.”
“Pulang ya kak. Nggak perlu bawa apa-apa. Kalau tiketnya kemahalan, nanti ibu bantu belikan.”
Hati siapa yang tidak mencelus mendengar ibu berkata demikian? Tapi bu, sekali lagi mohon maaf. Lebih baik saya menunda kepulangan dan mengirimkan sedikit rupiah demi adik-adik di rumah, daripada masih harus merepotkan ibu untuk hal-hal seperti itu.
ADVERTISEMENTS
3. Maaf bu, bukannya menolak pulang. Namun inilah saatnya saya menantang diri untuk lebih keras berjuang
Kata orang, merasakan ramadan dan lebaran di perantauan itu menyedihkan. Menyedihkan karena harus mencari pundi sekaligus menahan rindu dalam diri. Namun bagi saya, inilah saat yang tepat untuk menantang diri sendiri. Menantang diri untuk berjuang lebih keras lagi. Toh jika semesta mengizinkan, di ramadan berikutnya saya pasti akan pulang. Tentu dengan diri yang sudah punya banyak pengalaman dan cerita untuk dibagikan.
ADVERTISEMENTS
4. Kini giliran ibu, bapak, dan adik-adik di rumah mengikhlaskan. Toh kita bisa saling memaafkan lewat untaian doa, bukan?
Sebaik-baiknya anak adalah ia yang berbakti dengan kedua orangtuanya. Dan inilah salah satu cara yang bisa saya lakukan. Menunda kepulangan demi tegakkan pilar keluarga di kampung halaman. Kini saatnya yang di rumah mengikhlaskan kealpaan saya. Urusan maaf memaafkan, tak perlu dipermasalahkan. Toh ada media berupa untaian doa, bukan?
Perihal peluk dan rindu, mohon ditahan dulu. Agar kelak ibu, bapak dan adik-adik punya cukup alasan untuk menghamburkan pelukan saat saya pulang.
ADVERTISEMENTS
5. Dear ibu, bapak, dan adik-adik…
…selamat menyambut bulan ramadan yang penuh berkah. Meski berjauhan, ketahuilah kita hanya sejauh Isya ke Subuh yang satukan malam.