1. Rambu Solo di Tana Toraja
Kalau ngomongin Tana Toraja, sudah pasti kita nggak bisa luput dari Rambu Solo atau upacara adat kematian. Ya, kematian di Tana Toraja memang “dirayakan” besar-besaran. Nggak cuma mengantarkan mayat ke lumbung-lumbung peristirahatan terakhir, ada pula proses penyembelihan kerbau.
Oh, ya, sebelum disembelih, kerbau-kerbau tersebut diadu terlebih dahulu. Kerbau yang menang adalah kerbau yang paling kuat dan dapat mengalahkan kerbau lainnya. Namun, kerbau mana pun yang menang, tetap saja disembelih. Kalau dipikir-pikir, fenomena ini cukup filosofis, mengingat sekuat apa pun manusia di dunia, tetap suatu saat akan mati, kan?
Upacara ini nggak selalu dilakukan beberapa hari setelah seseorang meninggal. Ada juga yang melakukannya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah anggota keluarganya meninggal. Kenapa? Karena untuk bikin upacara ini, butuh kurban kerbau yang harganya nggak murah. Sampai bisa membeli kerbau dan melakukan perayaan ini, mayat-mayat diperlakukan seperti orang yang tidur. Mereka digantikan baju dan lain sebagainya serta ditidurkan di rumah masing-masing keluarga. Hal ini mungkin agak mengerikan bagi kita, tetapi merupakan hal yang wajar di Tana Toraja.
2. Pemakaman Langit di Tibet
Biasanya, mayat dikuburkan entah dengan menggunakan kain kafan, peti mati, atau dikremasi dan abunya disimpan atau disebar ke laut. Hal itu nggak berlaku di Tibet. Di sana, mayat dipotong-potong dan dijadikan makanan burung bangkai!
Ritual ini kesannya seperti nggak menghormati mereka yang sudah tiada. Namun, ada filosofi tersendiri bagi orang Tibet terkait hal ini, yaitu supaya jiwa mereka yang sudah meninggal terangkat ke langit bersama burung-burung bangkai.
Usai pemberkatan, mayat-mayat ini ditelungkupkan di puncak gunung kemudian dipotong-potong. Hal ini bertujuan mengundang burung bangkai agar memakan mayat itu. Memang, sih, buat yang nggak terbiasa, pasti nggak kuat melihat prosesi ini karena cukup menjijikkan. Namun, bagaimana pun ini adalah tradisi yang sudah mengakar kuat sejak lama di tengah masyarakat Tibet.
3. Tarian kematian
Mereka yang sudah dikubur biasanya “dijenguk” dengan cara didoakan di depan makam mereka, seraya bunga ditaburkan atau ditaruh supaya makam terlihat segar. Bagi orang Malagasi, Madagaskar, nggak melakukan hal itu untuk mengenang mereka yang meninggal. Mereka bahkan mengeluarkan orang yang sudah meninggal dari kuburannya setiap tujuh tahun sekali dan mengajaknya menari!
Ritual ini bernama Famadihana dan dilakukan dengan cara mengangkat tubuh orang yang telah mati ke atas kemudian menari bersama-sama anggota keluarga lain. Ritual ini terlihat ramai dan menyenangkan, seolah bagi mereka kematian nggak perlu diratapi berlarut-larut. Hal ini bertujuan supaya semangat dan arwah para orang mati akan segera bergabung dengan para nenek moyang di surga. Saat melakukan ritual ini, mereka memang harus hati-hati, sih. Soalnya, tubuh mayat yang sudah membusuk, kan, memang rapuh banget. Salah-salah, mayat bisa jatuh dan terburai, kan?
4. Swamumifikasi ala Sokushinbutsu
Dalam proses ini, para biksu melakukan mumifikasi pada diri mereka sendiri! Ya, sebenarnya, sih, bisa aja disebut bunuh diri, tapi dibilang menyakiti diri sendiri atau putus asa juga nggak bisa. Malahan, mereka yang memutuskan untuk mati ini meninggal dalam keadaan tenang.
Setelah merasa bahwa mereka sudah mencapai ketenangan dan kedamaian serta menemukan tujuan hidup, para biksu yang menganut metode ini melakukan diet selama 1.000 hari. Pada saat itu, mereka cuma makan kacang-kacangan dan biji-bijian supaya semua lemak di tubuh hilang. 1.000 hari selanjutnya, mereka hanya makan semacam kulit akar dan minum teh beracun dari getah pohon Urushi. Getah ini memang aslinya bukan bahan buat makanan atau minuman, melainkan bahan vernis cat. Jadi, tubuh mereka pun jadi beracun dan belatung nggak akan memakan tubuh mereka.
Setelah itu, mereka akan bersemedi di sebuah kuburan batu. Ada lonceng yang dihubungkan dengan kubur batu itu. Nah, setiap hari, selama masih hidup, mereka bakal membunyikan lonceng sebagai tanda kalau mereka belum mati. Kalau lonceng sudah berhenti berbunyi, artinya mereka sudah nggak bernyawa. Para biksu yang masih hidup pun menyegel makam dan membacakan doa-doa suci selama 1.000 hari. Setelah itu, mayat mereka bakalan dipindah ke dalam kuil dan mereka pun telah dianggap menyatu bersama Sang Buddha setelah proses mumifikasi berhasil.
Prosesi ini jujur mengerikan banget dan pastinya nggak semua orang mau ngelakuinnya. Maklum, siapa, sih, di dunia ini yang sebenarnya pengen meninggal secara sukarela?
5. Memakan abu kremasi
Sebuah suku di pedalaman Amazon bernama Yanomami punya kebiasaan memakan orang. Tenang saja, bukan berarti mereka membunuh orang untuk dimakan (seperti cerita kanibal pada umumnya). Mereka memakan tumbukan abu orang yang sudah meninggal di suku mereka. Biasanya, abu ini dicampur ke makanan tertentu seperti sup pisang.
Ritual ini mungkin kedengaran menjijikkan dan nggak sehat. Jangankan abu orang meninggal, abu kayu saja nggak sehat buat dijadiin makanan. Namun, suku yang terkenal dengan ketangguhannya ini menganggap kalau dengan dimakan, arwah para orang yang meninggal bisa menyatu dengan mereka dan bisa tenang. Di antara yang lain, mungkin ini kali, ya, perayaan kematian yang paling ekstrem dan kontroversial kalau hadir di tengah masyarakat modern.
***
Meskipun kedengaran aneh bagi kita, setidaknya hal-hal di atas membukakan mata kalau ada beberapa kelompok masyarakat yang menganggap kematian adalah sesuatu yang menyenangkan, bukan menyedihkan. Mungkin kematian ibarat melepaskan anak semata wayang buat pergi kuliah ke tempat yang jauh. Bikin sedih, tapi juga bikin bangga.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.