Pernah menonton film Joker? Apa yang selalu dia lakukan? Tersenyum. Kamu tahu apa yang terjadi di balik senyumannya? Luka. Luka yang teramat dalam dan menyedihkan.
Fenomena smiling depression sebenarnya sudah ada sejak lama dan mungkin ada sebagian orang terdekat kita melakukan hal semacam itu. Apa tujuannya? Menyembunyikan luka. Tentu saja, barangkali dia enggak ingin ada orang tahu masalah yang sedang dihadapinya dan menganggap dirinya hanya sebagai beban. Maka dari itu, si pemilik depresi memilih memanipulasi situasi dengan selalu tersenyum. Padahal, senyuman itu sangat mengerikan bagi kesehatannya.
Untuk lebih jauh mengenal fenomena smiling depression, berikut sekelumit rangkumannya.
ADVERTISEMENTS
1. Apa itu smiling depression?
Depresi biasanya dikaitkan dengan kesedihan, ketidakberdayaan, keputusasaan atau ketidakpercayaan yang membuat pengidapnya kesulitan dalam memulai dan menjalani kehidupan. Oleh karena itu, muncullah fenomena smiling depression atau depresi yang tersenyum-senyum depresi. Apa itu? Sebuah fenomena di mana seorang pengidap depresi mengekspresikan senyuman di wajahnya agar selalu tampak bahagia.
Sehingga, orang lain akan mengira dia baik-baik saja. Padahal, di balik topeng senyumnya itu, menyimpan segudang kesedihan, kepedihan, atau ketidakberdayaan. Mereka berjuang mati-matian untuk melanjutkan hidup dalam keadaan keputusasaan, gelisah, dan ketakutan.
Di sisi lain, mereka juga takut menerima diskriminasi dari orang lain yang menilainya berbeda, sehingga smiling depression menjadi pilihannya untuk terlihat baik-baik saja.
ADVERTISEMENTS
2. Mengapa fenomena ini bisa terjadi?
Fenomena smiling depression terjadi akibat adanya benturan di dalam hati seorang pengidap depresi agar orang lain tidak mengetahui keadaannya. Selain itu, pengidap takut menerima perlakuan berbeda–dikucilkan atau dijauhi saat ketahuan menderita depresi.
Sehingga, pengidap depresi seolah memanipulasi keadaannya sendiri dengan cara tampak tersenyum dan orang yang melihatnya akan menganggap dirinya baik-baik saja. Pengidap depresi sedikit banyak merasa puas terhadap topeng yang dikenakannya, tapi ada risiko berbahaya jika terus menerus dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang.
ADVERTISEMENTS
3. Faktor pemicu smilling depression
Perlu diketahui, seorang pengidap smiling depression enggak serta-merta tersenyum begitu saja, ada hal-hal yang menjadi faktor pemicu mengapa dia sampai seperti itu. Di antaranya
1. Perubahan besar dalam hidup
Setiap manusia pasti pernah mengalami perubahan dalam hidupnya, hanya saja ada orang yang sanggup menerima, ada pula yang denial. Seperti contoh perceraian orangtua. Tidak semua anak mampu menanggung beban yang diakibatkan dari perpisahan kedua orangtuanya. Bahkan ada sebagian anak menganggap perceraian orangtuanya adalah salah mereka. Ketika anggapan itu tidak mendapatkan konseling yang tepat, maka tidak menutup kemungkinan sang anak mengalami depresi dan melakukan smiling depression.
2. Gejolak batin
Dalam beberapa budaya, ada sebagian keluarga atau masyarakat yang menyikapi depresi secara berbeda, seperti menganggap depresi adalah aib. Sehingga, orang-orang yang mengidap depresi lebih memilih menyembunyikan kesedihannya karena takut dihakimi karena depresi yang diderita. Sehingga, memungkinkan mereka untuk menunjukkan smiling depression.
3. Pengalaman traumatis
Adanya pengalaman traumatis bukanlah hal yang menyenangkan. Misalnya pengalaman menerima kekerasan fisik, psikis maupun perbuatan tidak senonoh. Tentu saja itu akan meninggalkan luka dalam dan mengakibatkan perasaan traumatis yang berujung depresi. Namun, demi memudarkan kecemasan orang lain dan membangun anggapan ‘tidak apa-apa’, ‘aku baik-baik saja’, pengidap depresi akan mengenakan topeng smiling depression meski sebenarnya hati dan jiwanya sangat hancur.
4. Media sosial
Kecanggihan teknologi tidak selalu membawa dampak positif bagi sebagian orang. Nyatanya, dengan banyaknya bermunculan platform media sosial, makin banyak pula kasus ujaran kebencian alias bully atau hate speech dari orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya. Seperti sudah mengenal jauh, orang-orang tersebut secara bebas mengeluarkan kalimat makian, kebencian bahkan sumpah serapah.
Sementara penerima kalimat-kalimat tersebut belum tentu mampu legowo menerima—ada sebagian yang menyangkut di hati, ada yang dijadikan pikiran, ada pula yang terbebankan sehingga menyebabkan depresi. Perlahan-lahan, muncul kesempatan di mana smiling depression tumbuh dengan subur dalam diri orang-orang yang menerima bully maupun hate speech di media sosial.
ADVERTISEMENTS
4. Risiko yang dihadapi
Ada sebab ada akibat. Seseorang yang mengalami smiling depression akan lebih rentan merasakan risiko yang menyerang kondisi fisik maupun perubahan kebiasaan seperti sering merasa lemas dan lesu yang ekstrem setelah berkegiatan maupun ketika sedang sendirian, pusing berkepanjangan tanpa diketahui penyebabnya, nafsu makan turun, jadwal makan dan tidur yang berantakan, cenderung menjaga jarak dari lingkungan di mana dia berada, mengkonsumsi alkohol, merokok, dan kecanduan obat-obatan. Risiko yang lebih berbahaya adalah suicide.
ADVERTISEMENTS
5. Pencegahan yang bisa kamu lakukan
Smiling depression memang sebuah keadaan yang mampu memengaruhi keadaan mental seseorang. Namun bukan berarti tidak dapat ditangani. Cobalah pergi dan konsultasikan pada ahli, psikolog ataupun psikiater, untuk mendapatkan bantuan dan solusi.
Jika kamu malu untuk datang ke psikolog atau psikiater karena anggapan bahwa orang-orang yang pergi ke dua ahli tersebut pastilah orang gila, maka coba untuk terbuka pada orang yang sangat kamu percaya. Ceritakan kesedihanmu, barangkali bisa membantu melegakan hati dan meringankan beban hidupmu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”