Menjadi seorang ibu baru adalah hal yang seharusnya membahagiakan. Namun itu sepenuhnya tidak terjadi padaku di awal kelahiran anakku. Ya, aku mengalami masa-masa yang berat ketika baru melahirkan anakku. Bukan karena aku tidak mencintai anakku, justru karena aku merasa sangat mencintainya, aku merasa tidak pantas dan cukup baik untuk menjadi ibunya. Bukan juga karena aku tidak mendapat dukungan dari pasanganku, beruntunglah aku memiliki pasangan yang panjang sabar dan mau membantuku menjalankan peranku menjadi seorang ibu.
Jika kalian tahu istilah tentang baby blues, ya itu mungkin yang aku rasakan di awal. Sungguh salah rasanya saat mempersiapkan kelahiran anak, aku lebih berfokus pada cara melahirkan yang seperti apa yang aku inginkan. Ternyata proses hamil dan melahirkan menurutku adalah the easiest part dari perjalanan hidup baru menjadi sosok ibu. Aku pikir mengurus anak adalah hal yang secara natural akan mudah dipelajari dan aku bisa segera beradaptasi.
Tetapi ternyata semua sungguh berat. Mulai dari jam tidur yang sangat kurang, bayi yang masih harus selalu disusui, perubahan fisik tubuhku yang membuatku ingin buang muka ketika melihat kaca, dan juga faktor eksternal seperti kurangnya support luar.
Ya, karena aku melahirkan dimasa pandemi, otomatis, semuanya hanya kulalui bersama dengan suamiku dan anakku. Aku juga memutuskan untuk berhenti bekerja untuk fokus mengurus anak dengan berbagai pertimbangan. Karena itulah pula aku merasa asing dengan dunia baruku, yang saat itu hanya ada bayi dan suamiku. Jauh dari hingar bingar kesibukan pekerjaan, ataupun canda tawa teman-teman yang menyenangkan.
Perlahan-lahan aku mulai merasa kehilangan diriku. Hidupku seperti zombie. Aku hanya mengerjakan semua rutinitas dan kewajibanku untuk mengurus anakku, seperti menyusui, memandikannya, membersihkannya, berinteraksi dengannya. Aku bahkan tidak melakukan pekerjaan rumah tangga, semua dicicil dilakukan oleh suamiku yang dia lakukan setelah semua pekerjaan formalnya selesai. Komunikasiku juga memburuk dengan teman-temanku.
Aku seperti menarik diri dari kehidupan. Aku tidak lagi melakukan hal-hal yang aku sukai seperti menulis, bernyanyi, atau sekedar bercerita pada teman. Aku merasa sangat kesulitan menjalani tugas baruku, setiap anakku menangis, aku merasa aku tidak becus menjadi seorang ibu. Aku takut melewati malam-malam yang terasa panjang. Aku hanya terus bertanya dalam diriku, Kapan ini semua akan berakhir? Saat itulah aku merasa memang ada yang salah dalam diriku dan merasa aku harus mencari tahu apa yang terjadi padaku.
ADVERTISEMENTS
4. Asking for Professional Help
Ketika sudah merasa melakukan semua yang bisa kulakukan tapi keadaan belum membaik sepenuhnya, aku mulai membuka diri untuk sharing kepada profesional. Dan itu sangat membantu. Ternyata memang segala hal yang terjadi saat itu mewakili inner child aku yang memiliki luka yang belum sembuh.
Di situ aku semakin sadar bahwa jika aku tidak sembuh aku mungkin juga akan memberikan luka pada anakku yang bisa terbawa hingga dia dewasa. Karena itu aku belajar untuk menerima, memaafkan, dan bangkit.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”