Kata ibuku, bulan Ramadan aladah ajang untuk panen raya pahala kebaikan. Maka dari itu, berlomba-lomba dalam beribadah adalah hal yang wajib hukumnya. Nah, untuk menjalani bulan puasa dengan maksimal dan tanpa penyesalan, menjalani program Pondok Ramadan di pesantren bisa jadi pilihan yang tepat. Merasakan serunya menikmati ibadah, pahala pun melimpah!
Tahun ini, aku dan saudaraku merencanakan untuk menghabiskan bulan Ramadan di salah satu pondok pesantren di Tegal, Jawa Tengah. Usut punya usut, pondok jawa ini juga menjalankan aliran salaf yang mana kental dengan ngaji kitab dan adab pada sang Kyai. Wah, jadi makin ga sabar untuk mencoba nyantri di tempat yang super duper desa ini.
Menjalani dinamika hidup di pondok itu seru. Ada banyak sekali hal-hal menarik yang selalu bisa untuk dipelajari. Asiknya lagi, kita juga bakal bertemu dengan banyak teman dari penjuru nusantara. Mengkaji kitab kuning, nderes Al-Qur’an, berlomba dapat shof terdepan saat solat berjamaah, hingga gokilya kemana-mana pakai sarung dan peci akan aku ceritakan di sini.
Berangkat ke Tegal dengan menaiki kereta, kisah religiku edisi tahun ini pun siap dimulai!
ADVERTISEMENTS
1. Memantaskan diri ada banyak cara, salah satunya dengan menjadi baik dan alim.
Menata hati tentu dimulai dari niat yang baik. Dengan menjadi santri, aku memantapkan niat untuk berusaha memperbaiki diri. Memakai peci, baju koko, dan sarung adalah dresscode yang selalu kami kenakan sehari-hari. Sedikit naik level, banyak juga yang kemana-mana selalu membawa tasbih, siwak, dan kitab suci Al-Qur'an. Kain surban dan sajadah juga jadi aksesoris pelengkap saat solat.
Ada kenikmatan tersendiri ketika kita mampu memakai pakaian muslim syar'i sehari-hari, di mana lingkungan tersebut juga mendukung kita untuk menjadi lebih baik. Bukan lantas memakainya kami sudah pasti alim, namun ini adalah proses belajar untuk menjadi lebih baik. Bukankah kesan seseorang pertama kali dilihat dari penampilannya?
Panas? Tidak juga. Justru, cowok yang berpakaian seperti ini jadi adem kan diliatnya? Hehe.
ADVERTISEMENTS
2. Solat adalah tiang agama. Berjamaah menjadi prioritas yang selalu kami utamakan
Namanya pondok pesantren, tentu solat awal waktu dan berjamaah tidak boleh ketinggalan. Uniknya, 15 menit sebelum adzan berkumandang pun banyak santri yang sudah siap dengan pakaian rapi dan sajadahnya. Mendapatkan barisan shof terdepan saat solat adalah kebanggaan prestise tersendiri bagi kami.
Aku? Yah, kadang di depan, kadang juga (agak) di belakang. Maklum, tidur adalah hawa nafsu duniawi yang paling susah kutaklukkan, hehe. Tapi, selalu menjadi baik pastinya harus selalu diusahakan.
ADVERTISEMENTS
3. Belajar menyukai lingkungan dan suasana baru itu asik!
Datang ke pondok sebagai seorang yang asing, tentu membutuhkan keberanian tersendiri dalam bersosialisasi. Untungnya, aku menjalani program pondok Ramadan ini bersama saudaraku. Jadi, lebih mudah bagi kami dalam membaur dengan teman-teman baru. Oiya, sebutan kami adalah 'santri pendatang'. Aku pun merasa sedikit lucu dengan istilah itu, seperti kami pendatang dari pulau antah-berantah saja, hihi.
Dan kau tahu, teman-teman di sini sangat friendly sekali. Mereka ramah dan baik pula, tidak segan untuk berbagi apa pun yang kami butuhkan. Kami bergantian piket menyapu, mengambil jatah buka puasa, hingga saling membangunkan saat jam sahur tiba. Langsung berasa seperti keluarga saja.
Ah, jadi langsung kerasan di sini.
ADVERTISEMENTS
4. Ramadan sebagai ajang untuk berburu kebaikan sebanyak-banyaknya, betul apa betul?
Sejujurnya, ini bukan pengalaman pertamaku dalam menjadi santri. Aku sudah berkeliling ke beberapa pondok pesantren di Jawa dan Madura, mulai dari yang salaf hingga pondok modern. Yah namanya juga cari ilmu, gak boleh takut untuk berhijrah bukan?
Yang namanya santri, banyak juga aksesorisnya yang untuk dibawa kemana-mana. Mulai dari Al-Qur'an, kitab, buku dzikir, tasbih, hingga siwak, masing-masing bisa digunakan untuk menuai pahala tentunya. Aku kasih tahu satu nih ya, siwak misalnya. Dalam sebuah hadits shahih, dikatakan bahwa sholat 2 rakaat dengan memakai siwak itu lebih utama dibanding 70 rakaat tanpa memakainya. Luar biasa, bukan?
Cobalah saja membawa satu atau dua aksesoris penghasil kebaikan ini di tasmu. Rasakan serunya mencari pahala yang tak pernah semudah ini.
ADVERTISEMENTS
5. Mengkaji kitab kuning, kolaborasi sempurna antara sastra Arab dan budaya Jawa
Bayangkan saja tulisan arab tanpa harakat, gimana bacanya?
Bayangkan saja tulisan arab tanpa harakat, gimana bacanya?
Nah, itulah asiknya ngaji kitab kuning. Kita seakan-akan masuk dalam dunia teka-teki untuk memecahkan sebuah enkripsi kode rumit. Petunjuk berbahasa Arab, translator bahasa Jawa, dan aku harus memahaminya pakai bahasa Indonesia. Mirip-mirip kode di James Bond gitulah, tapi ini versi islaminya.
Menarik untuk diketahui, setiap pondok punya kekhasannya sendiri-sendiri. Di sini, mengaji kitab kuning adalah yang ditonjolkan. Bayangkan saja, ngaji kitab mulai dari habis tarawih hingga jam satu malam. Iya, jam satu dini hari. Wah, punggungku sering pegal-pegal dan mata ini seringkali menahan kantuk, walau tak jarang ketiduran saat ngaji. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa. Dan aku pun bisa menikmati pengajian kitab ini, sepeti kita diajak menyelam ke lautan ilmu agama yang sangat luas.
ADVERTISEMENTS
6. Layaknya agama, mari belajar taat tanpa tapi.
Ada sebuah cerita menarik yang aku dapat dari sini.
Suatu sore cerah, aku berjalan-jalan di lingkungan pondok. Kuamati, dalam komplek pondok ini bisa dikatakan lumayan rimbun akan pepohonan yang berbuah. Sebut saja belimbing, mangga, jambu, nangka, kelapa, hingga jeruk bali semuanya ada. Yang namanya sore hari saat puasa, melihat buah-buahan segar yang ranum matang di pohon, siapa yang gak ngiler? Bayangan menggigit belimbing matang pohon yang penuh air dan manis, menjadi godaan tersendiri.
Namun apa kau tahu? Dari semua pohon yang berbuah lebat tersebut, tak ada satu pun yang dipetik atau ingin memetiknya. Semuanya dibiarkan matang dan jatuh membusuk, lalu berakhir di tempat sampah. Aku pun melongo terheran-heran. Dan setelah kutanya, ternyata tak ada santri yang berani mengambilnya. Sebagian mereka beranggapan bahwa semua buah ini milik sang Kyai, ada juga yang berpendapat pohon-pohon ini termasuk dalam wakaf. Intinya, tak ada satu pun yang mengambilnya agar tidak masuk dalam golongan su'ul adab alias tidak beradab.
Wah, menurutku ini level taat yang sangat keren. Seperti dalam agama, kita taat tanpa bertanya ini dan itu.
7. Hanya di Indonesia masyarakat muslim pakai sarung. Yuk bangga!
Suatu ketika, ngaji kitab di pondokku diliburkan. Beruntungnya, di sini tidak terlalu ketat jadi aku masih bisa ke luar pondok. Yeaay, aku bisa ngabuburit. Namun, bukan berarti aku bisa semena-mena berganti celana jeans dan kemeja biar necis, pakaian ala santri pun tetap harus dipakai.
Bersama ortu dan saudaraku, kami berkeliling Kota Tegal menggunakan becak dan angkot. Karena rumah makan yang kami tuju penuh dengan reservasi, akhirnya kami memutuskan ke mall di kota ini. Dan jadilah outfit of the day kali ini aku dan saudaraku masuk mall menggunakan sarung dan baju koko. Yap, beda tipis dengan jamaah mau berangkat solat tarawih. Rasanya? Gokil abis. Sempet dilihatin sama orang-orang, tapi kami pasang muka tebel aja.
Tenang pak satpam, kita bukan anak buah Amrozi cs kok,
8. Buahnya ilmu adalah amal. Yuk, mengamalkannya dengan baik
Belajar dan mencari ilmu itu menyenangkan, apalagi mendapat pengalaman dan teman-teman baru. Di sini aku juga berkenalan dengan guru dan ustadz yang baru, yang mana ilmunya bisa aku petik dan pelajari.
Selalu banyak pelajaran yang bisa kita ambil saat memutuskan berani berhijrah untuk belajar dan mencari ilmu. Ada hikmah di setiap kisah.
Itulah pengalamanku di bulan Ramadan tahun ini. Asik, menyenangkan, dan bermakna tentunya.
Ini #KenanganRamadanku, bagaimana denganmu?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Boleh tanya pesantren kilatnya dmn dan apa nmnya ya