Kamu Lektor? Pasti Mengalami 12 Hal Berikut Ini

Lektor atau pembaca sabda di gereja Katolik, adalah salah satu petugas liturgi penting dalam perayaan Ekaristi. Berdiri di depan mimbar, para lektor membacakan sabda-sabda dari Kitab Suci bagi seluruh umat. Tapi apa saja sebenarnya yang sering dialami para lektor di balik tugas pelayanannya? Cek di bawah sini ya! Selamat membaca.

 <>1. Salah baca? Sudah biasa

Pernah dengar lektor salah baca waktu Ekaristi? Nah, tahu nggak gimana perasaan kami waktu itu? Campur aduk banget. Antara malu, panik, deg-degan, dan pengen cepet-cepet turun ke Sakristi untuk menghilang sejenak dari dunia (lebay). Tapi kami berusaha untuk stay cool di atas mimbar dan mengembalikan kepercayaan diri kami dengan menghela napas. Lama-kelamaan, kami pun terbiasa dan nggak panik apabila kelemahan kami ini tiba-tiba muncul di tengah-tengah bacaan yang sedang kami baca. Asal jangan keterusan ya salahnya. Hehehe....

 

<>2. Blank di atas mimbar

Hampir mirip seperti kelemahan kami di atas, lektor pun ada kalanya ngeblank di atas mimbar. Lho kok bisa? Panik atau karena kurangnya persiapan, serta rasa gugup karena kami ditatap ratusan pasang mata (plus kamera kadang-kadang), membuat kami terkadang kehilangan fokus di atas mimbar. Terus gimana? Kami harus terus membaca dan bahkan kadang diem sejenak, mencari kata-kata yang hilang gara-gara blank tadi, supaya perayaan Ekaristi kembali berjalan.

<>3. Eh....keserimpet jubah di altar!
Keserimpet sampai terjatuh

Keserimpet sampai terjatuh via https://catatanradit.files.wordpress.com

Sama sih penyebabnya. Panik atau kurang persiapan (dan jubahnya kepanjangen gara-gara salah pilih ukuran), akhirnya ada beberapa diantara kami yang mengalami hal ini. Bayangkan coba! Ketika seluruh umat (dan Romo dan misdinar) sedang fokus sama kami yang mau naik ke mimbar atau altar, dan kami keserimpet jubah, bahkan sampai terjatuh. Hmm...tentunya pengalaman yang nggak terlupakan namun lucu untuk diingat.

 

<>4. Jadi deket sama Romo

Iya dong... Namanya lektor dan petugas liturgi lain pasti deket sama Romo-Romo di paroki. Serunya, kami bisa bercanda dan mendapatkan pengarahan dan bimbingan langsung dari Romo. Kami juga bisa curhat sama Romo layaknya curhat dengan teman sebaya.

<>5. Punya adik-adik baru

Ya, jadi lektor artinya kami punya keluarga baru. Nggak hanya dari kalangan lektor aja, kami juga dapat adik-adik baru yakni para misdinar. Mereka yang masih kecil-kecil dan imut-imut, ikut menambah keceriaan waktu latihan dan perayaan Ekaristi di gereja. Nggak jarang, kami juga ikut bercanda dengan mereka.

<>6. Harus siap jadi mentor

Jadi lektor artinya kita juga harus siap jadi mentor. Kenapa? Karena kami yang sudah jadi lektor lebih lama, pasti akan tergerak untuk membimbing lektor-lektor baru. Memang tidak sekaku seperti di sekolah atau di tempat les, kebanyakan dari kami membimbing lektor baru dengan berbagi pengalaman. Bimbingan yang diberikan pun selow karena kami saling berbincang seperti dengan teman sebaya. Oleh karenanya, dengan jadi mentor, para lektor senior pun akan belajar untuk menjadi guru dan pembimbing yang baik, sekaligus belajar bersama dengan para lektor baru.

<>7. Jadi tambah PeDe

Berdiri di hadapan ratusan umat dan belajar menjadi mentor para lektor baru, ternyata bisa menambah rasa percaya diri lho. Karena memang, berbicara di hadapan orang banyak itu membutuhkan rasa percaya diri yang besar. Dan itulah yang dapat kami peroleh dari pelayanan yang satu ini. Nah, kepercayaan diri ini juga ikut kami bawa dalam kegiatan-kegiatan lain.

<>8. Jadi rajin membaca Kitab Suci

Kalo dulu sebagai umat kami hanya sekedar mendengarkan Kitab Suci, ketika jadi lektor kami mau nggak mau harus belajar, membaca sekaligus menyerapi inti dari setiap bacaan Kitab Suci. Mulai dari kitab Deuterokanonika, surat-surat Rasul Paulus dan belajar mendongeng lewat bacaan-bacaan Perjanjian Lama, semuanya harus kami kuasai. Dan kalau kami nggak ngerti, kami pun bertanya sama lektor senior atau sama Romo.

<>9. Harus siap menerima kritik
Menerima kritikan

Menerima kritikan via https://www.google.com

Jadi lektor berarti harus siap menerima kritik dari semua kalangan. Kritikan bisa datang dari teman sesama lektor, umat atau bahkan dari petinggi gereja dan Romo sekalipun. Sakit nggak? Sakit lah pasti. Apalagi kalau pas kita jelek-jeleknya dan langsung dikritik abis. Tapi ingat, kritikan itu membangun ya guys. Jangan down karena kritikan orang lain. Justru dengan adanya kritik, kami para lektor bisa mengetahui kelemahan kami dan belajar lagi untuk memperbaiki diri.

<>10. Dapet teman dari berbagai kalangan profesi dan usia
Banyak teman dengan berbagai latar belakang

Banyak teman dengan berbagai latar belakang via http://1.bp.blogspot.com

Bergabung dalam organisasi lektor membuka peluang untuk berkenalan dengan banyak orang, termasuk dari beragam kalangan usia dan profesi. Ya, sebagai satu-satunya petugas liturgi yang tidak dibatasi usia dan jenis kelamin tertentu, lektor membuka kesempatan bagi siapa saja yang bersedia melayani dan mau berlatih untuk membaca Kitab Suci. Dari sini juga kami bisa saling berbagi pengalaman dan sekaligus menjalin relasi dengan banyak orang yang tergabung dalam organisasi lektor.

<>11. Jadi tahu seluk beluk Ekaristi dan liturgi

Ini nih salah satu keuntungan lektor yang lain. Kami bisa belajar dan lebih mendalami agungnya perayaan Ekaristi. Kok bisa? Dengan menjadi bagian dari perayaan Ekaristi itu secara langsung, kami bisa lebih menghargai dan menjalaninya, bahkan ketika kami sedang tidak bertugas sekalipun. Saat gladi bersih untuk misa besar pun, kami secara nggak langsung juga belajar tata cara liturgi yang benar.

<>12. Harus menjaga suara

Karena suara menjadi faktor penting dalam tugas pelayanan lektor, maka setiap lektor harus menjaga kualitas suaranya. Caranya adalah dengan tidak terlalu sering makan gorengan dan minum es serta menjaga daya tahan tubuh. Apalagi sebelum tugas besar pada hari-hari raya, lektor harus benar-benar menjaga kesehatan dan suaranya agar bisa membaca dengan baik pada hari H.

Ya, menjadi lektor memang memberikan banyak sekali pengalaman yang luar biasa. Namun sama seperti pelayanan lain, satu hal yang terpenting adalah kami harus tetap menjaga hati dan etika, agar pelayanan kami tidak terhenti dalam perayaan Ekaristi di gereja kami masing-masing, namun juga menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kami. Akhir kata, selamat melayani dan Tuhan memberkati! (cyn)

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Call me Cynthia Tee An ordinary girl from Solo, Central Java who writes perfect moments at perfect time Thank you for reading my article! ^.^

39 Comments

  1. Yosephine Helen Sihotang berkata:

    Trimakasih buat artikelnya mbak irene chyntia hadi

  2. Stephen Vincent Siswandi berkata:

    setuju bgt, justru di sini lah seninya menjadi seorang lektor ?

  3. Petrus Suprapto berkata:

    Bagus sekali. Terima kasih atas sharing pengalamannya. 🙂

  4. Susana Jiu Hong berkata:

    Amin.. di daerah km blum terbentuk perkumpulan lektor. Jd petugas berdasarkan penunjukkan dr ketua ling tp kl kbtlan dpt tugas n dpt melaksanakan dg baik rasax sng/ bahagia banget

  5. Erwin Adinegara berkata:

    alangkah lebih baik kalo jabatan lektor itu dipegang pria….dan bagi wanita, kalau terpaksa harus wanita yang jadi lektor….apalagi lektor harian yang ‘tidak mewajibkan’ memakai jubah…diusahakan memakai rok panjang semata kaki dan kemeja panjang….jangan memakai celana panjang apalagi jeans…sangat tidak sopan

  6. Steph KCmoon berkata:

    Menjadi lektor tentu tdk mudah dan tdk asal berani tampil tepapi memerlukan persiapan, karena lektor adalah petugas liturgi yg menyampaikan sabda Tuhan saat perayaan ekaristi, jatuh bangun terjadi kesalahan itu hal yg wajar, tetapi membiasakan diri menjadi lektor adalah keuntungan yg luar biasa lebih dari poin2, 4 – 12 belajar berorganisasi dan belajar menjadi pemimpin. Sayangnya anak muda OMK sekarang jarang dan enggan untuk menjadi lektor

  7. Sugimin Tukijan Gregorius berkata:

    Pelajari dulu nama2 kota yang mungkin asing bagi kita dan nama orang yang ada bacaan.

  8. Sumiati berkata:

    Bagus sebagai masukan utk kami petugas Lektor….tks.

  9. Andi Tri Atmojo berkata:

    alasannya apa om kok lebih baik pria?

  10. Wah…. semua jabatan itu memang awalnya dipegang pria…. dari imam, prodiakon, lektor, misdinar…. tapi kok makin lama makin sedikit ya jumlah pria di dalam gereja? Sementara pria mulai mundur dalam pelayanan, para wanita tetap berkobar-kobar. Jadilah gereja kita yang makin warna warni pria dan wanitanya. Mengenai harus pakai rok panjang…. mungkin sudah jadul ya…. rok itu tidak praktis dan sering kali selesai misa harian langsung kerja. Jadi untuk norma pakaian sudah harus lebih disesuaikan. Kalau memaksakan wanita pakai rok panjang, coba tanyakan diri sendiri, mau enggak kalau disuruh pakai dasi pas lektor? Sama-sama enggak enaknya soalnya buat beberapa orang.