Judul di atas mungkin terlalu berat untuk beberapa dari kamu. Term ‘Feminisme’ adalah suatu term yang sangat familiar sekaligus sangat asing bagi kebanyakan orang.
Apa sih Feminisme?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan ratusan ribu jurnal, buku dan tulisan tentang Feminisme yang bertebaran di internet. Tapi tentu, ain’t nobody got time for that.
Secara singkat, feminisme bisa dipahami sebagai paham yang mendorong adanya kesetaraan gender dan persamaan hak. Pada awalnya, paham ini hanya berfokus pada hak-hak wanita saja, namun seiring berjalannya waktu Feminisme juga mendorong persamaan hak bagi kaum-kaum marginal lainnya seperti disabilitas dan bahkan kaum LGBTQ.
Dari sini kita dapat memahami bahwa seorang ‘Feminis’ adalah seseorang yang menganut paham-paham di atas. Perkembangan jaman dan maraknya isu kesetaraan hak terhadap kaum marjinal membuat kalimat ‘Aku ini seorang Feminis, lho’ menjadi kalimat yang cukup banyak terdengar, terutama dari para perempuan. Namun apakah kita –yang mengaku sebagai Feminis– sudah benar-benar menerapkan nilai-nilai Feminisme dalam kehidupan sehari-hari kita?
Dan masih dalam rangka memperingati Hari Kartini dan mengenang perjuangannya untuk kesetaraan hak perempuan di Indonesia, berikut beberapa hal yang sebaiknya tidak kamu lakukan jika kamu mengaku sebagai seorang ‘Feminis’.
ADVERTISEMENTS
1. Beralasan ‘Aku ‘kan perempuan!’ dalam Situasi yang Tidak Tepat
Hayo ngaku, kalimat di atas pasti sering terlontar secara tidak sadar dari beberapa dari kita. Saat berada dalam situas-situasi tertentu yang tidak menguntungkan, berlindung di balik argumen 'Ya aku kan perempuan' terdengar sangat menyamankan.
Well, kalau kamu memang seorang perempuan maka benar tidak ada yang salah dengan kalimat di atas. Kita memang perempuan.
Tapi apakah itu membuat kita lebih tinggi -atau lebih rendah- daripada orang lain?
Saya pernah berada di KRL Jakarta-Bogor di jam pulang kantor ketika seorang perempuan muda yang sepertinya seorang pekerja kantoran –seperti 90% penumpang di gerbong tersebut– berargumen dengan seorang bapak-bapak setengah baya dan bersikukuh bahwa dia harus diberikan tempat duduk.
Dengan lantang perempuan yang jauh lebih muda dari bapak-bapak di depannya ini berargumen bahwa dia harus diberikan tempat duduk karena dia adalah perempuan. Bapak yang umurnya sekitar 60an tahun itu pun pada akhirnya harus mengalah dan berdiri sepanjang perjalanan; sementara di perempuan muda tadi duduk dengan tenang dan segera memasang headset di telinga untuk meredam sindiran para penumpang lain yang tidak setuju dengan sikapnya.
Semua orang tentu tidak akan melayangkan sindiran dan serempak bersuara 'Huuuu' pada si perempuan ini jika memang dia melakukannya di gerbong perempuan; tempat di mana penumpang laki-laki seharusnya tidak ada. Namun saat itu dia berada di gerbong umum dan ini menjelaskan mengapa semua setuju bahwa tindakan perempuan ini memang kurang benar.
Feminisme bukan tentang perempuan boleh secara struktural 'menggagahi' laki-laki dan berada di level yang lebih tinggi.
Banyak yang mengira bahwa misi utama Feminisme adalah untuk menggantikan dominasi laki-laki dalam tatanan sosial dan politik di masyarakat; NO! Feminisme itu simply tentang kesetaraan hak antar gender, kok.
ADVERTISEMENTS
2. Merendahkan Perempuan Lain yang Punya Pilihan ‘Berbeda’ dengan Kamu
Pada suatu hari di kamar mandi kantor, saya secara tidak sengaja mendengar teman kantor berceletuk ria mengenai salah satu teman kantor lain yang baru saja resign dari kantor karena ingin fokus mengurus anak dan keluarga.
"Perempuan jaman sekarang kok mau-maunya cuma di rumah dan jadi babu. Nggak feminis banget sih,"
Itulah salah satu dari sekian banyak kalimat merendahkan yang ia lontarkan untuk mengomentari keputusan teman kantor tersebut. Beberapa teman yang lain ada yang mengiyakan dan beberapa ada yang diam saja, tapi tentu hal seperti ini sebenarnya banyak terjadi dalam kehidupan keseharian kita.
Satu hal yang sepertinya luput dari pikiran si teman kantor tukang tubir ini adalah bahwa Feminisme itu juga tentang saling men-support antara satu sama lain.
Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga untuk mendedikasikan hidupnya mengurus keluarga bukan berarti ia tidak berpendidikan, tidak punya keahlian dan hanya 'numpang hidup' kepada suami.
Sebagai sesama perempuan harusnya kita menyadari bahwa setiap manusia punya pilihan hidup yang dipilih melalui banyak pertimbangan. Jika ada perempuan lain yang merasa senang dan terberdayakan dengan menjadi seorang ibu rumah tangga, kenapa tidak mensupportnya dan membantunya untuk menjadi ibu rumah tangga yang terbaik?
ADVERTISEMENTS
3. Merendahkan Laki-Laki karena Hal-Hal yang Sifatnya Stereotyping
"Cowok kan harusnya macho…"
"Wah, dia banci banget, ya!"
"Dia tu nggak manly banget, masa cowok nggak bayarin makan waktu nge-date."
"Cowok kan harusnya macho…"
"Wah, dia banci banget, ya!"
"Dia tu nggak manly banget, masa cowok nggak bayarin makan waktu nge-date."
Sadar atau tidak, banyak dari kita yang sering secara tidak sadar memikirkan –atau bahkan mengatakan– hal-hal di atas dalam kehidupan sehari-hari. Betapa seringnya kita merendahkan orang lain –baik yang berjenis kelamin sama ataupun berbeda dengan kita– karena ia tidak bersikap seperti stereotype yang melekat pada jenis kelaminnya.
Bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis,
Bahwa seorang laki-laki tidak pantas mengurus anak,
Bahwa seorang laki-laki tidak pantas membantu pekerjaan rumah,
dan masih banyak lagi.
Perlu dipahami bahwa kesetaraan gender dan persamaan hak juga milik para kaum adam. Paham ini tidak hanya milik para wanita semata, namun juga milik para laki-laki yang secara tidak sadar sering pula menjadi korban dari ketidaksetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari.
Perlu kita pahami bahwa maskulinitas dan femininitas harusnya tidak melekat pada jenis kelamin seseorang. Seseorang bisa saja maskulin padahal ia perempuan, begitu juga sebaliknya. Hal yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana memperlakukan semua orang secara sama rata tanpa membedakan jenis kelamin ataupun gender yang dimilikinya.
ADVERTISEMENTS
4. Beranggapan bahwa Perempuan yang Memukul Laki-Laki itu ‘Keren’
Saya sedang berada di suatu pusat perbelanjaan di Jakarta ketika ada suatu keributan dan ada cukup banyak orang yang berkerubut mengelilinginya. Setelah mendekat, terlihat bahwa seorang wanita sedang memukuli seorang laki-laki yang terlihat helpless dan sama sekali tidak memberikan perlawanan dengan memukul balik. Saat saya bertanya pada satpam mengenai apa yang sedang terjadi, Pak Satpam menjawab,
"Itu ada ibu-ibu mukulin suaminya ketahuan ngeliatin cewe lain yang lagi lewat, Mbak. Berani banget ibunya bisa mukulin cowok gitu,"
Well, satu hal yang sangat mengganggu saya adalah bagaimana satpam ini –dan mungkin juga sebagian besar orang yang berkerumun– melihat aksi wanita tersebut sebagai aksi yang heroik, ketimbang sebagai aksi kriminal. Beberapa dari kerumuman tersebut bahkan menyoraki dan memberi semangat si wanita untuk memukul lebih keras lagi.
Ini adalah hal yang sangat salah kaprah dari women empowerment. Feminisme bukan berarti perempuan boleh menindas laki-laki, dan perempuan yang melakukan aksi kekerasan –baik terhadap lawan jenis atau terhadap sesama perempuan– bukanlah bentuk ungkapan keberanian.
Violence is violence, regardless what gender the perpetrator is.
ADVERTISEMENTS
5. Sering Melakukan ‘Victim Blaming’ Terhadap Korban Kekerasan
"Ya pantes kalo dia diperkosa, pakaiannya kaya penyanyi dangdut Pantura begitu"
"Kamu sih pake rok mini segala"
"Dia sih pake marah-marah ke suaminya, jadi sampe dibunuh gitu"
"Ya pantes kalo dia diperkosa, pakaiannya kaya penyanyi dangdut Pantura begitu"
"Kamu sih pake rok mini segala"
"Dia sih pake marah-marah ke suaminya, jadi sampe dibunuh gitu"
Mungkin kata-kata yang terlontar secara langsung tidak sama persis dengan contoh di atas, tapi dalam banyak kesempatan kita tentu sering berpikir dengan pola pikir di atas dalam menanggapi kasus-kasus kekerasan yang ada di sekitar kita. Ada banyak kesempatan di mana korban perkosaan dipersalahkan atas apa yang dia pakai pada saat kejadian, ada banyak kesempatan di mana korban pembunuhan disalahkan atas apa yang ia perbuat sehingga sang pelaku membunuhnya, dan ada banyak kesempatan di mana kita mengamini bahwa pasti ada kontribusi dari si korban dalam terjadinya suatu tindak kekerasan.
Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa tidak ada seorang manusia pun yang pantas menerima tindak kekerasan dari orang lain; apapun alasannya.
Seorang korban perkosaan tidak lantas pantas diperkosa karena dia perempuan yang memakai rok mini dan keluar malam-malam. Seorang korban pembunuhan juga tidak lantas pantas dibunuh karena dia adalah istri yang sering gelisah karena sang suami tidak cukup memberikan nafkah kepadanya. Tidak ada seorang pun yang pantas menerima tindak kekerasan dalam bentuk apapun; apapun alasannya.
Feminisme menjunjung tinggi kesetaraan hak asasi manusia, dan hal ini tercermin salah satunya dari pengakuan terhadap hak kita sebagai seorang manusia untuk diperlakukan dengan layak dan baik oleh manusia lainnya.
ADVERTISEMENTS
6. Beranggapan Bahwa Perempuan Tidak Bisa Melakukan Pelecehan Seksual
"Masa laki-laki diperkosa malah ngelapor sih, bukannya enak ya?
"Masa laki-laki diperkosa malah ngelapor sih, bukannya enak ya?
Mungkin kasus pemerkosaan terhadap laki-laki belum banyak terjadi di Indonesia –atau setidaknya belum banyak yang terekspose media-. Namun bukan berarti hal ini tidak terjadi. Kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang artis dangdut ternama terhadap beberapa lelaki di bawah umur yang terjadi baru-baru ini menjadi bukti bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan seksual.
Anggapan bahwa perempuan tidak bisa dan tidak akan melakukan pelecehan seksual juga menjadi suatu anggapan yang cukup umum bagi sebagian besar orang di Indonesia; bahwa tindak pemerkosaan selalu dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan; tidak mungkin sebaliknya. Namun kenyataannya, pelecehan seksual terhadap laki-laki oleh perempuan merupakan fenomena yang nyata.
Dan tentu, pelecehan adalah pelecehan; siapapun pelakunya. Ada banyak kasus di mana laki-laki yang diperkosa oleh perempuan dianggap sebagai kasus yang lucu karena mereka seharusnya bersyukur karena mendapat kenikmatan secara cuma-cuma.
Tidak semua laki-laki 'menikmati' seks, apalagi yang dipaksakan
Perlu diperhatikan bahwa tindak pemerkosaan bisa dilakukan oleh siapapun –baik laki-laki maupun perempuan– dan keduanya sama-sama merupakan tindak kriminal yang tidak boleh dilakukan kepada siapapun. Feminisme menjunjung tinggi kesetaraan hak antar gender, dan ini sama sekali bukan tentang saling mendominasi satu sama lain.
Nah, jadi gimana? Apakah kamu sudah cukup feminis?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Baru tau di hipwee ada tulisan keren dan macan kaya begini… Terus nulis yang kayak gini, Kak…
manteppp