Saat ini, banyak orang yang justru terjebak di gaya hidup konsumerisme dan maksimalis. Kita mengoleksi banyak barang tanpa tujuan pasti dan bukan karena tujuan yang penting. Nah, di antara orang-orang yang menjalankan gaya hidup maksimalis, ada sebagian yang memilih untuk hidup dengan barang yang mereka butuhkan aja. Gaya hidup ini disebut gaya hidup minimalisme. Banyak orang yang mulai tertarik dan terpapar informasi soal minimalisme. Informasi dari Youtube, buku-buku, film-film, dan sumber lainnya. Biar nggak bingung dan salah langkah, berikut lima hal yang bisa diperhatikan sebelum atau saat mau menjalankan gaya hidup minimalisme. Yuk cek!
ADVERTISEMENTS
1. Nggak ada satu cara yang pasti untuk menjalankan hidup minimalis
Kalau kita cari referensi soal minimalisme, pasti ada banyak cara yang akan kita temui. Mulai yang ekstrem sampai yang lebih santai. Tapi, yang harus diingat adalah, nggak ada satu cara pasti buat memulai dan menjalani gaya hidup ini. What works for them might not work for us. Terus cara terbaiknya apa? Kita harus menyesuaikan sama kebutuhan dan kondisi kita. Cara yang dipilih harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan. Aspek yang dimulai pun bisa disesuaikan. Bisa mulai dari pakaian, barang-barang, buku, kertas, mainan, dan lain-lain. Jadi jangan khawatir kalau cara yang kita pakai berbeda dengan yang lain.
ADVERTISEMENTS
2. Ini bukan perlombaan, jadi tenang aja kalau proses kita berbeda sama yang lain
Kalau kita sudah paham bahwa cara pendekatan orang dengan gaya hidup ini berbeda, kita juga harus ingat bahwa ini bukan lomba atau kompetisi. Ini bukan soal cepet-cepetan atau banyak-banyakan mengeliminasi barang. Hal yang paling penting itu adalah kita jalan sesuai kemampuan. Cepat atau lambatnya proses bukan jadi tolak ukur keberhasilan, kok. Percuma kan kalau kita selesainya cepat tapi hasilnya nggak maksimal?
ADVERTISEMENTS
3. Kalau di perjalanan kita justru jadi susah, berarti ada yang salah tuh
Satu hal yang dijelasin soal minimalisme ini: kalau kita merasa menderita saat menjalani gaya hidup ini, itu tandanya kita melakukan hal yang salah. Biasanya karena kita nggak memperhatikan pentingnya nilai suatu barang. Kita justru membuang barang yang kita butuhkan. Bukan cuma barang yang dibutuhkan, tapi juga barang yang buat kita senang dan menambah nilai. Jadi, kita harus benar-benar mendengarkan diri kita sendiri. Kalau mengikuti pendekatannya Marie Kondo, kita harus tanya ke diri sendiri, “does this thing spark joy?” Apakah barang ini membuat kita bahagia? Kalau jawabannya, “Ya,” maka simpan barangnya.
ADVERTISEMENTS
4. Minimalisme bukan berarti buang semua barang lho!
Masih nyambung sama poin sebelumnya, minimalisme bukan berarti kita buang semua barang sekaligus. Ada beberapa cara yang memang bisa dilakukan buat mulai. Sama seperti poin sebelumnya: sesuaikan sama kemampuan dan kondisi diri kita sendiri. Satu hal yang harus diingat, minimalisme tidak sama dengan buang semua barang.
Cara yang paling populer digunakan adalah KonMari Method. Gaya bersih-bersih dan decluttering yang dipopulerkan oleh Marie Kondo. Marie Kondo adalah ahli bersih-bersih (yep! ada ahli bersih-bersih di dunia ini) asal Jepang yang sudah mengembangkan metode ini bertahun-tahun. Tata cara dan prosesnya sudah banyak didokumentasikan di YouTube bahkan ada serialnya di Netflix! Silakan tonton buat yang ingin tahu.
Minimalis lain yang sering jadi rujukan adalah Fumio Sasaki. Seorang pelaku gaya hidup minimalis asal Jepang dan penulis buku Goodbye, Things, yang bisa dibilang lebih ekstrem. Kalau Metode KonMari masih memungkinkan kita hidup dengan beberapa barang (asal sparks joy, ya), Fumio Sasaki justru membuang barang dalam waktu singkat dan kadang tanpa filter.
ADVERTISEMENTS
5. Semua kembali ke diri kita. Kita yang bisa menentukan nilai suatu barang
Dalam film Minimalism: A Documentary About the Important Things (Netflix, 2015) dijelaskan kalau kita masih bisa menyimpan barang yang bikin kita senang dan masih ada nilai yang bisa diambil. Misalnya, kebiasaan mengoleksi buku. Kalau kita masih aktif membaca dan mengunjungi buku-buku itu maka simpan aja bukunya. Kalau kita suka diskusi soal buku, saling pinjam-meminjam buku, suka sama aroma dari kertas-kertasnya, simpan buku-bukunya.
Ceritanya akan lain kalau kita cuma beli buku dengan alasan, “Buat dibaca kapan-kapan”. Daripada menumpuk buku dan menambah panjang daftar bacaan, mending kita fokus dulu dan menelaah mana buku yang memang dibeli karena benar-benar ingin dibaca dan mana yang dibeli karena gabut atau bosen.
Nah, walaupun masalahnya sama: mengoleksi buku, tapi nilai dari hubungan dengan buku bisa aja berbeda. Ada yang sangat suka dan bahagia dengan buku yang ada, tapi di satu sisi ada yang malah jadi masalah. Tidak terbaca, tidak terawat, rusak, dan lain-lain.
Nilai suatu barang itu sifatnya sangat individual. Cuma yang memiliki barang yang tahu dan bisa menentukan. Jadi, sediakan waktu sejenak untuk menganalisa apakah ada nilai yang bisa diambil dan apakah kita memang perlu barang-barang tersebut,
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”