Belakangan ini, hustle culture marak diperbincangkan oleh banyak orang, terutama generasi milenial. Menurut mereka, bekerja sekeras mungkin sepanjang hari adalah satu-satunya jalan untuk mengejar kesuksesan.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Indrayanti mengatakan hustle culture merupakan sebuah istilah yang berkembang dari workaholic.
Salah satu fenomena yang terjadi di generasi milenial ini tak menutup kemungkinan membawa dampak-dampak yang tak diinginkan. Mau tahu dampak dari hustle culture? Kira-kira ada nggak ya, solusi untuk menghadapi hustle culture? Yuk bahas bersama!
ADVERTISEMENTS
1. Kerja, kerja, dan kerja. Pokonya nggak kenal kata work-life balance!
Seseorang yang tenggelam pada hustle culture tidak merasakan work-life balance. Mereka akan terus-terusan membatu di depan tumpukan kertas, laptop, dan bekerja tanpa kenal kata ‘berhenti’ atau ‘beristirahat’
Hustle culture secara tidak langsung, menolak work-life balance. Keinginan seseorang untuk bekerja tanpa henti dialami oleh seseorang dengan hustle culture meniadakan kepentingan lainnya.
Delecta dalam Diah & Al Musadieq (2018) menambahkan bahwa work-life balance merupakan kemampuan seseorang atau individu untuk memenuhi tugas dalam pekerjaan dan (tetap) berkomitmen pada keluarga mereka, serta tanggung jawab diluar pekerjaan lainnya.
Seseorang dengan hustle culture cenderung tidak dapat membagi waktu dengan baik, seperti waktu beristirahat, bermain dengan teman, sahabat, dan keluarga.
ADVERTISEMENTS
2. Produktivitas kerja macet total, kok bisa?
Seseorang yang menerapkan hustle culture cenderung berpandangan bahwa semakin keras dirinya bekerja, semakin cepat pula menuju kesuksesan.
Seseorang yang menerapkan hustle culture cenderung berpandangan bahwa semakin keras dirinya bekerja, semakin cepat pula menuju kesuksesan.
Sehingga, waktunya dihabiskan setiap hari untuk kerja, kerja, dan kerja. Hustle culture tentunya akan memaksa otak untuk terus-terusan bekerja tanpa kenal kata lelah, letih, atau lesu. Apapun keadaannya, kalau bisa terus bekerja, mengapa berhenti?
Oleh karena itu, fokus serta konsentrasi akan terganggu, keadaan mental dan fisik akan tidak stabil.
Mengutip Dr. Jeanne Hoffman, psikolog pada Fakultas Kedokteran University of Washington, bekerja keras terlalu lama juga dapat menumpulkan kreativitas. Ia mengatakan bahwa bekerja lebih dari 50 jam per minggu justru menurunkan tingkat kreativitas.
Produktivitas kerja pun menurun drastis. Seseorang dengan hustle culture tidak dapat menampilkan performa dengan maksimal. Misalnya saja, seharusnya memberikan 100% akhirnya hanya 50%, sehingga tidak maksimal dan setengah-setengah.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”