#DestinasiHipwee- Cerita Traveling ke Bali Saat Pandemi, Naik Mobil Omprengan dan Hampir Ketinggalan Pesawat

Cerita traveling ke Bali saat Pandemi Corona, seru dan menegangkan!

Sebagai seorang traveler, traveling kemanapun dan kapanpun kita harus siap dengan berbagai situasi yang tidak mengenakkan, bahkan situasi terburuk sekalipun. Kita harus siap dalam menghadapi halangan dan rintangan, dan harus mencari jalan bagaimana cara mengatasinya.

Yang terpenting, kita jangan langsung down dan jadi tidak bersemangat untuk melanjutkan traveling. Jangan langsung menganggap bahwa hari itu adalah hari terburuk dan malah berhenti di tengah jalan. Show must go on, kita harus percaya bahwa apapun masalahnya, pertolongan itu selalu ada, apalagi pertolongan dari Allah SWT itu pasti.

Seperti yang saya dan seorang teman alami ketika traveling ke Bali saat pandemi. Beberapa hal yang sudah kami atur dan persiapkan dengan baik, ternyata banyak yang terjadi di luar rencana. 

ADVERTISEMENTS

1. Sudah tepat waktu, tapi mobil bandara stop beroperasi.

Ilustrasi mobil minivan bandara

Ilustrasi mobil minivan bandara via http://www.instagram.com

Saya termasuk orang yang on time, selalu datang beberapa puluh menit bahkan satu jam sebelum waktunya. Mobil minivan bandara yang biasanya lewat di halte dekat rumah pada pukul 5 dan 6 pagi, ternyata tidak kunjung datang. Panik?! Pasti. Karena dari daerah saya menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) membutuhkan waktu sekitar 3 jam.

Saya baru menyadari bahwa, penerbangan domestik (penumpang pesawat) baru saja dibuka oleh pemerintah setelah sempat ditutup beberapa saat karena untuk mencegah penyebaran Virus Corona. Mungkin ini alasan kenapa mobil bandara tersebut tidak beroperasi, karena penumpang atau peminatnya belum terlalu banyak.

Akhirnya, kami terpaksa harus naik mobil angkutan kota (angkot) menuju Terminal Pakupatan di kota Serang. Lalu, dilanjutkan naik Bus DAMRI ke bandara. Tapi, dengan memakai angkot, berarti waktu perjalanan semakin lama, apalagi kami menunggu di halte sudah lebih dari satu jam.

ADVERTISEMENTS

2. Jadwal bus bandara beroperasi 2 jam sekali, sudah pasti ketinggalan pesawat 

Ilustrasi Bus DAMRI

Ilustrasi Bus DAMRI via http://www.instagram.com

Baru menginjakkan kaki di kota Serang, suasana jalanan terlihat agak sepi. Hal yang tidak biasa untuk lalu lintas di perkotaan. Bertanya kepada pemilik warung pinggir jalan, dia lalu menjelaskan kalau Bus DAMRI bandara sekarang beroperasi setiap dua jam sekali dan bus baru saja berangkat beberapa menit yang lalu. Waduh!

Jika kami harus menunggu dua jam lagi, berarti kami baru naik bus sekitar pukul 10. Sedangkan, jadwal keberangkatan pesawat bertepatan dengan waktu kami tiba di Bandara Soetta. Itupun kalau tidak macet di jalan tol. Tidak macet saja, kami bisa saja terlambat untuk mengejar jadwal penerbangan pada pukul 11.30 WIB.

ADVERTISEMENTS

3. Mobil omprengan, keluar tol untuk hindari macet

Ilustrasi jalan tol macet

Ilustrasi jalan tol macet via http://www.instagram.com

Jarum jam menunjukkan waktu sekitar pukul 08.20an. Akhirnya, teman saya berinisiatif untuk menyewa mobil omprengan, dia menolak menggunakan aplikasi daring dengan alasannya sendiri. Saya ikut saja, karena sudah pasrah, yang penting bisa cepat sampai ke bandara, dan masih ada waktu untuk menghela napas dan boarding sekitar pukul 11.10. WIB.

Sopir mobil omprengan ini usianya mungkin sudah setengah baya. Tidak terlalu tua, tapi tidak terlalu muda juga. Sudah kebayang, kayanya dia bakal mengendarai mobilnya dengan santai dan banyak ngobrol selama di perjalanan. Saya sudah hopeless. Ya sudah, itung-itung jalan-jalan ke bandara saja, foto-foto sebentar, lalu pulang lagi.    

Tapi, ternyata tidak. Begitu masuk Gerbang Tol Serang Timur, mobil langsung tancap gas. Saya tersentak ke belakang dan harus memegang pintu dan kursi mobil selama mobil melaju di jalan tol. Satu jam berlalu, memasuki jalan tol Tangerang, ternyata benar, jalanan macet. Tapi, tiba-tiba entah pak sopir bilang apa, dia langsung banting stir ke kiri untuk keluar Gerbang Tol Karawaci.

ADVERTISEMENTS

4. Jason Statham di dunia nyata, syukurlah!

Jason Statham - The Transporter

Jason Statham – The Transporter via http://www.republika.co.id

Saya protes kenapa tidak lewat tol saja, nanti malah semakin terlambat. Tapi, pak sopir menjawab lewat jalur ini lebih baik daripada bermacet-macetan di jalan tol. Malah, dia meminta saya untuk menunjukkan jalan lain kalau dirasa jalan ini tidak sesuai keinginan saya.

Saya tidak menjawab, cuma pura-pura main Hp. Tapi, memang dipikir-pikir dari awal berangkat. Pak sopir ini terlihat profesional, dia tidak banyak bicara. Tidak banyak mengajak ngobrol hal yang tidak penting, dan ditanya pun dia menjawabnya dengan singkat. Sesekali dia ngomel jika ada kendaraan lain yang tidak mengikuti rambu-rambu lalu lintas, atau yang asal-asalan menyetir mobil. Bisa membahayakan orang, katanya.

Dia memang ngebut, tapi tidak ugal-ugalan. Di jalan dalam kota Tangerang juga seperti itu, selalu ngegas terus. Tapi, laju mobilnya masih disesuaikan dengan ramainya kendaraan. Kalau jalanan terlihat ramai, dia juga sangat hati-hati sekali. Cara dia menyetir mobil, hematnya berbicara, dan rambutnya yang sedikit botak, malah mirip dengan Jason Statham di film The Transporter.

Sebagai penumpang, akhirnya kami hanya mengikuti saja kemana dia membawa kami, yang penting bisa sampai bandara jauh sebelum jadwal keberangkatan pesawat.

ADVERTISEMENTS

5. Bongkar backpack, baju lecek dan berantakan

Loket cek kesehatan di bandara

Loket cek kesehatan di bandara via http://www.instagram.com

Lucunya, setelah sampai di Bandara Soetta, kami disarankan untuk bersalaman dan terlihat akrab dengannya, seperti saudara atau ayah dan anak. Entah kenapa. Mungkin, karena dia takut ketahuan kalau dia bawa mobil omprengan. Saya dengan ikhlasnya bersalaman sambil mencium telapak tangannya sebagai tanda terima kasih karena sudah mengantarkan kami dengan selamat dan tepat waktu juga.

Oleh petugas bandara, kami diarahkan menuju loket pemeriksaan kesehatan. Di depan loket, ternyata berkas-berkas seperti surat tes antigen dan KTP malah saya simpan rapi terselip di dalam baju, tidak dipisahkan di kantong paling luar. Karena, saya takut surat penting malah hilang di perjalanan. Teman saya juga sama, suratnya di simpan jauh di dalam backpack-nya. 

Di jalur antrian saya mengaduk-aduk baju, gak peduli bajunya jadi lecek dan isinya berantakan, yang terpenting KTP dan Surat Kesehatan segera ketemu. Alhamdulillah, cek kesehatan sudah beres. Tinggal menunggu waktu boarding. Kami bisa minum dan menghela napas panjang. Akhirnya, kami tidak terlambat dan masih bisa melanjutkan perjalanan ke Bali. 

ADVERTISEMENTS

6. Baru tiba di bandara Bali, ditagih e-HAC

Petugas bandara Bali

Petugas bandara Bali via http://www.instagram.com

Selama dalam penerbangan, tidak ada masalah yang berarti, semua berjalan sangat lancar. Saya tinggal duduk manis di dalam pesawat dan menikmati pemandangan.

Tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai – Bali, begitu turun dari pesawat, saya mendengar penumpang dan petugas ribut-ribut masalah e-HAC (Electronic – Health Alert Card). Iya, sudah saya mengunduhnya jauh-jauh hari, walaupun belum tahu akan digunakan untuk apa. Kartu ini menjadi syarat utama penerbangan selain surat keterangan sehat dari covid-19. 

Ternyata, di bandara tujuan, yaitu di Bali, kartu ini ditanyakan, mau di-scan oleh petugas bandara. Saya teringat belum mengisi formulirnya dengan lengkap, dan teman saya malah belum mengunduhnya. Padahal sudah saya kasih tahu dan tinggal unduh di play store. Haduh!

Akhirnya, kami mundur beberapa langkah dan duduk di kursi agak belakang. Saya cepat-cepat mengisi formulirnya secara daring, isinya adalah tentang data diri,  riwayat kesehatan, asal daerah dan kota tujuan, serta segala informasi tentang covid-19. Setelah selesai, baru saya mengajari teman cara mengisinya. Aman, e-HAC kami sudah di-scan dan diperbolehkan melanjutkan perjalanan. 

Ya itulah, cerita saya dan seorang teman ketika pertama kali traveling ke Bali di saat Pandemi. Cukup membingungkan karena kami harus beradaptasi dengan era New Normal, dengan peraturan-peraturan di era Kebiasaan Baru. Hal-hal yang sudah biasa kami lakukan dulu saat traveling, ternyata menjadi berbeda sekarang.

Tapi, tentunya hal ini tidak jadi masalah. Yang penting adalah kita harus siap menghadapi segala situasi yang tidak kita rencanakan sebelumnya dengan tetap tenang dan sabar. #DestinasiHipwee 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang backpacker yang ingin keliling Indonesia by motorbiking