Memasuki era generasi Z dan penerusnya, atau kelompok masyarakat yang lahir di tahun 1995 ke atas, disebut sebagai digital native. Sering sekali kita merasakan gatal jika kita tidak membuka media sosial secara berkala. Walaupun banyak faktor-faktor pendukung mengapa seseorang suka sekali membaca postingan dunia maya. Menurut Tim Wu, seorang profesor dari Columbia Law School, menyikapi salah satu alasan terjadinya kecanduan sosmed, yakni kita akan menemukan sebuah informasi yang mungkin tidak terlalu berkesan. Misalkan ada jokes, meme, foto teman, dan quote.
Lebih parahnya lagi, kita tahu tujuan lama membuka media sosial demi kepuasan harga diri. Mempertahankan egosentrisme dengan baik. Memamerkan kita sedang apa, dimana, bagaimana, mengapa, sambil menunjukkan foto selfie kita ke layar maya publik. Bahkan kita juga pasti mengerti konsukuensi apa yang diterima alhasil memposting status ataupun foto.
Itulah standard yang banyak diterapkan orang tua zaman sekarang. Saat mereka begitu melekat terhadap internet dengan jangkauan yang begitu meluas, tidak serta merta orang tua memahami arti kesadaran macam apa yang sedang dijelajahi. Lagi-lagi, aksi mengunggah memori anaknya ke dalam sosial media tanpa memperhatikan keadaan yang ada. Merekam digital anaknya hanya untuk mengekspresikan perasaan kedua orang tua. Padahal, di hari-hari sekarang sudah banyak predator nakal pelaku kejahatan anak menanti disana. Apalagi penuh dengan orang asing yang tak terduga, melihat aksi tingkah lucu anak di sosial media.
Untuk orang tua yang telah memiliki anak maupun ingin memiliki anak, waspadalah. Kita tidak tahu siapa saja yang ada di dalamnya, karena berbagai karakter dan perilaku ada di media sosial. Semua status dan postingan data Anda merupakan informasi berharga bagi para pembaca status seperti pengiklan atau sekedar tahu saja. Walaupun media sosial tidak pernah melarang kita untuk memposting sesuatu yang anggap buat kita senang dan cepat puas.
Tapi tahukah Anda? Di bawah hukum negara Perancis, siapapun yang mempublikasikan foto anak tanpa seizin apapun, bisa dikenakan denda 45.000 euro atau hukuman penjara selama satu tahun. Nah, balik lagi ke kita. Sanggupkah kita terus-terusan hidup di negara berkembang dan tidak mengikuti arah tujuan benar seperti negara Perancis? Ini demi keselamatan anak kita, bukan anak orang lain saja.
Berikut cara mengantisipasi orang tua saat mengunggah foto atau video anak tanpa perlu khawatir akan hal dampak yang merugikan anak. Yuk, disimak!
ADVERTISEMENTS
1. Unggahlah hal yang positif
Media sosial sebaiknya digunakan untuk pencitraan anak, sehingga anak bisa senang, termotivasi, dan merasa bangga. Unggahan hal positif bisa dengan hal sederhana, seperti saat ia bisa tengkurap sendiri atau duduk sendiri.
ADVERTISEMENTS
2. Batasi hanya momen yang spesial
Hal ini demi menghindari kesan berlebihan yang biasanya kurang enak dilihat oleh teman-teman di media sosial. Dari profesor di University of Florida Levin College of Law bernama Stacey Steinbarg, menyatakan setiap kali mengunggah foto anak, coba pikirkan anak sebagai seseorang yang berhak atas perlindungan.
ADVERTISEMENTS
3. Jangan terlalu sering mengunggah aksi si anak
Memang, tak ada batasan baku untuk mengukur seberapa sering orang tua boleh mengunggah foto atau video anak ke medsos. Namun orang tua perlu mengatur waktu agar kegiatan foto tidak mengganggu kebersamaan dengan anak. Supaya orang tua tidak menyakiti perasaan buah hatinya. Kasihan juga kan si anak kalau sering suka melihat orang tuanya terus bermain ponselnya masing-masing.
Anda paling tidak dapat memaksimalkan berapa foto atau video anak per minggunya. Semakin sedikit, semakin baik. Setidaknya Anda tidak memusingkan gejala-gejala dampaknya setelah mengumbar ekspresi si anak.
ADVERTISEMENTS
4. Tidak menekan anak untuk tampil sempurna di depan kamera
Orang tua jangan memaksa anak dengan selalu mengarahkan untuk tampil sempurna mengikuti standar dewasa, tampak mandiri, disiplin, berani, kreatif, atau tertib, demi mengumbar aksi anak ke medsos.
ADVERTISEMENTS
5. Hargai privasi anak yang paling utama
Bila anak menolak direkam, sebaiknya dengarkanlah dia dan tidak memaksakan kehendak sendiri. Semakin dipaksa, anak akan semakin menolak. Selain itu, anak akan memprotes rekaman yang ditampilkan. Sang anak bisa juga berpikir akan keselamatan dan perlindungan mereka selama lagi menjejaki hidup.
Contoh dari Steinberg kembali, sang anak sadar ketika dia sudah bertumbuh besar atau telah berumur dewasa, sang anak pasti merasa malu ketika melihat dia yang dahulu masih berumur bayi lalu diunggah orang tuanya ke medsos. Bisa saja ini menjadi bahan tawaan orang tua teman-temannya atau teman-teman sekolah suatu hari nanti.
Seiring dengan hal perkembangan isu ini, Dhyta menyampaikan, “Di saat kita berfokus pada bagaimana mengajarkan anak dan remaja untuk mampu menghargai dan menjaga privasi mereka, kita tidak boleh melupakan pentingnya literasi digital bagi orangtua atau orang dewasa. Sering kali pelanggaran privasi terjadi ketika orangtua mengunggah foto atau video anak tanpa berpikir risiko yang bisa terjadi.”
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”