Negeri Sakura, Jepang, adalah negara yang dikenal karena teknologinya dan karena kedisiplinan warganya, dan merupakan salah satu negara maju di Benua Asia. Saya tiba di Jepang tepatnya di Fukuoka, pulau Kyushu pada tanggal 27 September 2016, dengan status sebagai mahasiswa S2 di Kyushu University. Negara Jepang yang mayoritas memeluk Agama Budha dan Shinto menjadikan saya dan beberapa teman muslim kelompok minoritas.
“Apakah susah untuk kami hidup sebagai minoritas?” Jawabnya, iya. Tapi justru kesulitan-kesulitan yang kami jumpai menjadi tantangan tersendiri dan menjadi cerita yang bisa disampaikan ke teman atau keluarga di Indonesia. Berikut adalah “keseruan” menurut saya menjadi seorang minoritas di Fukuoka.
ADVERTISEMENTS
1. Untuk urusan shalat, warga muslim di Jepang sudah akrab dengan aplikasi pengingat shalat
Berbeda dengan ketika di Indonesia, di mana kita dapat mendengar adzan dari speaker masjid sebanyak 5 kali sehari. Di Jepang dan beberapa negara non-muslim lainnya kita tidak akan mendengar adzan, biasanya adzan hanya dikumandangkan di dalam masjid dan suaranya tidak terdengar hingga luar.
Oleh karena itu, warga muslim di sana biasa menggunakan aplikasi yang tersedia untuk mengetahui jadwal shalat atau minta ke masjid jika tempat tinggalnya dekat dengan masjid. Seru bukan menemukan pengalaman baru seperti itu?
ADVERTISEMENTS
2. Bukan shalat, arah kiblat pun memakai bantuan aplikasi. Tantangan sih, tapi seru banget!
Arah kiblat yang berbeda dengan Indonesia membuat kami harus menentukan arah kiblat lagi, dan lagi-lagi aplikasi menjadi andalan.
Ketika pertama kali datang saya selama seminggu gonta-ganti arah kiblat karena selalu salah. Kalau di Indonesia kiblat kita menuju arah barat, berbeda dengan di Fukuoka, arah kiblatnya ke arah barat laut. Aplikasi juga berfungsi ketika kita sedang berada di tempat umum dan ingin shalat, karena tidak ada masjid atau orang yang bisa ditanya arah kiblat. Asyik nih! Kayak main kompas gitu.
ADVERTISEMENTS
3. Meski menjadi minoritas, kaum muslim di sana bisa shalat di manapun, jika kebetulan jauh dari masjid
Ini adalah keseruan yang lain. Kalau di Indonesia kita bisa dengan mudah menemukan masjid untuk shalat ketika di luar rumah, tidak halnya ketika di negara nonmuslim. Tidak adanya masjid dan adzan bukan alasan kita untuk tidak shalat saat di luar, justru hal seperti ini menjadi ujian keimanan kita.
Ketika sedang berada di tempat umum dan sudah memasuki waktu shalat biasanya kami sudah mulai berpikir untuk mencari tempat shalat agar tidak mengganggu orang lain. Saya sendiri sudah pernah shalat di tengah taman ketika sedang jalan-jalan, sudah pernah shalat di pojokan tempat parkir di salah satu mall, pernah juga shalat di pojokan tangga darurat yang jarang orang lewat, dan pernah shalat di lantai paling atas sebuah gedung.
Biasanya shalat di tempat umum dilakukan di lokasi yang jarang dilewati orang karena kami juga tidak mau mengganggu orang sekitar. Wudhu pun biasanya dilakukan di toilet umum atau kalau waktu shalatnya berdekatan bisa berusaha menjaga wudhu agar tidak repot wudhu lagi.
ADVERTISEMENTS
4. Serunya lagi, kita di tuntut untuk jeli membedakan makanan mana yang tidak dan mengandung babi
Tidak seperti di Indonesia yang mayoritas muslim kita akan dengan mudah menemukan makanan halal. Di Jepang kami para muslim harus lebih berhati-hati untuk membeli makanan karena bukan hanya menghindari aabi atau alkohol, tetapi kami harus melihat lebih jauh lagi. Seperti daging ayam atau sapi apakah cara menyembelihnya sesuai syariat Islam, kalau tidak diketahui kami lebih memilih tidak membeli.
Alhamdulillah di Fukuoka masih terdapat toko yang menjual daging halal. Bukan cuma daging, bahkan roti, minuman teh atau kopi yang menurut muslim halal bisa jadi tidak halal karena dicampur dengan shortening hewani yang dilarang untuk muslim.
Lalu bagaimana cara mengetahui kandungan makanan tersebut halal atau tidak, mau tidak mau kami harus menghafal huruf Jepang yang memiliki arti daging babi. Saya sendiri ketika pertama kali datang salah membeli roti yang ternyata mengandung shortening hewani dan sudah saya makan 3 buah. Tapi justru itu keseruannya, proses belajar mengenali mana makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi.
ADVERTISEMENTS
5. Nggak sedikit warga Jepang yang takjub dengan gerakan-gerakan sholat, hingga mereka pun mengabadikannya
Saya sendiri belum pernah mengalaminya, tapi teman saya pernah ketika sedang shalat ditunggu oleh satpam dan dikira sedang sakit perut. Hahaha. Hal seperti itu wajar terjadi di negara nonmuslim, karena ketidaktahuan orang-orang tentang Islam dan tata cara shalat.
Saya sendiri pernah ditanya oleh orang tua ketika sedang berwudhu di toilet umum, karena wudhu harus membasuh kaki, orang tua tersebut bertanya,
"Kamu nggak apa-apa?"
"Oh, tidak apa-apa", jawab saya
Pastinya mereka bingung kenapa saya membasuh seluruh bagian tangan, wajah, sebagian kepala dan sampai kaki.
Oke. Itulah beberapa hal yang menurut saya "seru" dan "menarik" menjadi minoritas. Menjadi minoritas di Jepang bukanlah hal yang buruk, apalagi jika kita tinggal di negara yang memiliki toleransi tinggi seperti Jepang. Di sini ada yang berencana mau Jepang?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Saya tertarik dengan tulisan anda.
Dengan membaca artikel anda, pemahaman saya tentang komputerisasi menjadi bertambah.
Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai Lembaga Pengembangan Komputerisasi yang bisa anda kunjungi di Komputerisasi
Ser juga ya