Masih pacaran saja sudah melakukan kekerasan, bagaimana kalau sudah menikah?
Pacaran adalah salah satu proses menuju kedewasaan pikiran, mental, argumentasi. Jika pacaran tidak sehat, dan tidak mendukung satu sama lain-maka tinggalkan saja orang bebal itu. Pacaran yang sehat salah satu cirinya adalah mendukung pacar untuk sekolah setinggi langit. Namun pacaran ada juga pacaran yang tidak sehat.
Salah satu ciri pacaran tidak sehat adalah melakukan kekerasan kepada pacar. Selain tidak sehat ini juga melanggar hukum, patut dipidana, atau diproses hukum yang sesuai, serta diberikan pengarahan atau bimbingan psikis. Bentuk kekerasan dalam pacaran bisa beraneka macam, bisa dalam bentuk verbal, mengata-ngatai pacar dengan kata binatang, bodoh, dan sebagainya. Serta, yang paling kelihatan adalah kekerasan fisik, pacar ditampar, ditendang, disundut rokok dan sebagainya.
Jika melakukan kekerasan, apakah ada sanksi hukumnya?
1. Tujuan Pacaran
Apa sih tujuan pacaran? Tujuan pacaran sudah jelas, ingin membangun, membina hubungan yang lebih mendalam, mengenal satu sama lain secara mendalam sebelum memutuskan ke jenjang pernikahan. Ya, goal pacaran adalah menikah. Namun, masih sangat wajar jika dalam pacaran ditemukan ketidakcocokan, saling cemburu, saling curiga, menurut penulis itu adalah hal wajar, dan bumbu-bumbu pacaran selama gak berlebihan. Kalau gagal ke KUA atau Capil, berarti tidak jodoh. It's simple.
Kalau sudah berlebihan, adalah wajar, jika pacarnya dihukum dengan cara diputusin, dicuekin, tapi bukan berarti gak sayang. Cuma, kalau berlebihannya menggunakan kekerasan fisik, tangan melayang ke pipi sang pacar secara keras, dan mulut mengeluarkan kata-kata setajam pisau. Hal tersebut sangat melawan hukum, kasih pelajaran si cowok karena biasanya cowok yang melakukan kekerasan kepada perempuan dengan cara melaporkannya kepada polisi, dan juga orangtuanya.
2. Apa sanksi hukumnya jika bertindak kasar ke pacar?
Lalu, apa hukumannya jika pacar melakukan kekerasan dalam berbagai bentuk, baik verbal, ataupun fisik? Undang-undang tentang anti kekerasan memang spesifik diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun karena statusnya masih pacaran dan belum menikah adalah tidak tepat jika menggunakan-undang tersebut, tapi bukan berarti pelaku tidak dapat dihukum.
Penulis asumsikan bahwa pasangan tersebut sudah berusia di atas 18 tahun maka hukuman yang dapat diberikan dapat bersumber misalnya pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Namun, jika pasangan tersebut masing dibawah umur 18 tahun, maka diterapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
3. Sanksi Menurut KUHP
So, sanksi hukum bagi pelaku kekerasan dalam pacaran menurut KUHP, seperti dibawah ini:
- Pasal 351 KUHP yang mengatur bahwa
Pasal 351 ayat (1) KUHP yang mengatur bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan 8 bulan ataupun pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 351 ayat (2) KUHP yang mengatur bahwa bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 351 ayat (3) KUHP yang mengatur bahwa bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Pasal 351 ayat (4) KUHP yang mengatur bahwa dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan pengainayaan.
Pasal 351 ayat (5) KUHP yang mengatur bahwa percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
- Pasal 352 KUHP terdiri dari ayat (1), dan ayat (2) yang mengatur intinya bahwa penganiyaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, diancam karena penganiayaan ringan, dan diancam pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Pasal 354 KUHP terdiri dari ayat (1), dan ayat (2) yang mengatur intinya bahwa jika penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam pidana penjara paling lama 12 tahun, namun jika mengakibatkan kematian, maka diancam pidana penjara paling lama 15 tahun.
Terkait masalah denda yang diterapkan oleh KUHP di atas, tentu nominal segitu di tahun 2017 adalah tidak masuk akal kecilnya, namun hal tersebut telah diperbaharui ketentuannya menggunakan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan, dan Jumlah Denda Dalam KUHP yang pada intinya mengatur bahwa “jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 di ayat 1, dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1,000 (seribu) kali. Jadi denda dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yakni Rp.4.500,00 x 1.000, yakni menjadi Rp. 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah).
4. Sanksi Menurut UU Pornografi
UU Pornografi memang tidak mengatur dengan tegas tentang perilaku kekerasan dalam pacaran. Namun, menurut penulis, terdapat perbuatan yang dilarang oleh UU Pornografi yang dapat memancing tindakan kekerasan dalam pacaran dan dapat dikenakan sanksi jika melakukan perbuatan tersebut
Materi pornografi yang sangat mudah dan cepat didapatkan melalui internet sangat berpengaruh terhadap gaya pacaran karena pacaran mereka hanya untuk pelampiasan nafsu birahi, dan juga akan berujung pada kekerasan dalam pacaran serta pelecehan seksual jika salah satu pasangan tidak mau melakukan adegan di film porno tersebut, namun pasangan yang satunya sudah kehilangan akal sehat.
Misalnya pertama, si cowok yang sudah berumur diatas 18tahun, dan si cewek juga telah berumur 18tahun, suatu saat menonton atau mendownload film porno, dimana terdapat adegan ciuman yang hot hingga berujung pada hubungan badan yang sewajibnya baru boleh dilakukan jika sudah menjadi suami-isteri. Setelah menonton itu, si cowok mengajak pacarnya untuk menonton juga di kamar kos atau di rumah si cowok yang lagi sepi, namun jika si cewek tidak mau dan melawan, alhasil si cowok menggunakan kekuatan fisiknya seperti menampar si cewek, membentak, ataupun mengancam si cewek untuk merayu, membujuk agar si cewek menonton, dan si cowok mengajak secara paksa si cewek untuk melakukan hal senonoh seperti di film porno tersebut.
Perbuatan si cowok mengajak pacarnya untuk menggunakan film tersebut dapat dikenakan Pasal 32 UU Pornografi yang pada intinya jika seseorang memperdengarkan, mempertotonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi maka dapat dipenjara paling lama 4 (empat tahun) dan dipidana denda paling banyak dua miliar rupiah;
Perbuatan si cowok yang memiliki film dengan cara mengunduh maka dapat dikenakan Pasal 31 UU Pornografi yang pada intinya mengatur bahwa jika setiap orang meminjamkan atau mengunduh pornografi maka dapat dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, dan atau dipidana denda paling banyak dua miliar rupiah.
Perbuatan si cowok mengajak secara paksa untuk melakukan hal serupa di film pornografi dapat dikategorikan sebagai pemerkosaan, dan dapat dikenakan sanksi Pasal 285 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.
Menurut penulis, perilaku di atas dapat terjadi di kala orang muda menikmati masa muda pacaran secara tidak benar ataupun kebablasan tanpa akal sehat, sehingga diperlukan upaya dari berbagai pihak agar perbuatan tersebut tidak terjadi misalnya dengan pendekatan keluarga, pendekatan melalui tokoh agama, atau pun sekolah.
5. Pengadilan Anak Harus Ramah Anak-Jika Pelaku Kekerasan Berkategori Umur Anak
Jika pasangan pacaran masih dikategorikan anak atau salah satu pasanganya masih berusia dibawah 18 tahun dan menjadi pelaku kekerasan dalam pacaran, sanksi yang diberikan salah satunya berdasarkan Pasal 71 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Beberapa sanksi atau hukuman tersebut.
Hukuman tersebut diberikan oleh Hakim atas pertimbangan matang, dan sanksi tersebut dijatuhkan, namun sanksi tersebut tidak boleh melanggar harkat dan martabat serta masa depan anak. Hakim bebas memutuskan anak yang menjadi pelaku kekerasan tersebut mau diberikan hukuman yang mana.
6. Bagaimana Peraturan Bekerja?
Lalu, bagaimana agar Pasal-Pasal tersebut bekerja? Memang tidak ada keharusan agar terlebih dahulu ada laporan dari korban, namun agar lebih membantu dan memudakan proses hukum, sebaiknya korban melapor.
Caranya adalah sang korban harus berani mengadu ke Polisi terdekat, ataupun lembaga-lembaga terkait, misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat tentang pemberdayaan perempuan, ataupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Pelaporan tersebut adalah lebih baik jika korban sudah membawa bukti. Namun, saya yakin, korban pasti masih trauma akan kekerasan tersebut sehingga jikalau tidak membawa bukti, hal tersebut tidak menjadi masalah karena bisa dicari tahu kemudian melalui pendekatan personal agar korban mau cerita, atau mau divisum.
Jika si korban takut, maka diperlukan pendekatan personal oleh keluarga, teman terdekat, guru. Mereka harus peka, dan aware terhadap perubahan yang terjadi pada anak, baik perubahan fisik, perilaku, atau psikologi. Menurut penulis, korban kekerasan dalam pacaran pasti memiliki ciri yang terlihat, misalnya dia mudah dan seringkali bengong jika diajak ngobrol oleh temanya, orangtuanya.
7. Sanksi Penjara, Terapi Bagi Pelaku dan Terapi Penyembuhan Bagi Korban
Jadi kesimpulannya, sanksi hukum yang dapat diberikan bagi pelaku kekerasan dalam pacaran adalah sanksi pidana penjara dalam waktu tertentu yang ditentukan oleh Undang-undang, ataupun pidana denda. Namun menurut penulis, selain sanksi hukum, pelaku kekerasan ini harus diberikan bimbingan rohani atau keagamaan, terapi kejiwaan, misalkan diberi motivasi, bagaimana jika anak perempuan, atau adik kamu yang menjadi korban kekerasan? Dan korban diberikan terapi yang tepat agar cepat pulih dan mengampuni pelaku walau hal tersebut pasti akan sulit.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
bertindak abusif ternyata juga bisa dihukum
yup
Bingung nih cari-cari informasi menarik seputar bola yang terkini ?
kunjungi www(.)d-ew-a168(.)com.
Tuch nay Annie
Dee Rinie baca ?