Keluarga merupakan miniatur dari kehidupan masyarakat yang begitu luas. Di dalam keluarga, kita bisa belajar tentang sosialisasi, berinteraksi, saling menghargai, dan bisa mengembangkan kemampuan diri yang tentunya sangat berguna untuk menunjang kehidupan seorang individu di usia yang kelak dewasa. Keluarga yang memberikan perlakuan atau treatment baik kepada seorang anak, tentu ini akan berdampak baik kepada perilaku dan psikis anak.
Berbeda hal dengan keluarga yang memberikan perlakuan yang buruk, maka hal itu dapat mempengaruhi sikap dan psikis seorang anak menjadi pemurung, tidak percaya diri, dan bahkan tidak mempunyai harapan. Maka dari itu, peran keluarga sangatlah penting untuk membentuk individu seperti yang diharapkan, terlepas menjadi individu yang baik atau buruk dan tak mempunyai harapan.
Di dalam keluarga ada kedua sosok yang berperan sebagai penyayang dan sang bijaksana, yaitu ibu dan ayah. Ibu yang digambarkan sebagai sosok penyayang, lemah lembut, penuh perhatian, dapat membantu seorang anak menjadi individu yang penyayang juga terhadap orang lain. Peran seorang ayah pun tak kalah penting dari seorang ibu, dimana peran ayah sebagai peran yang bijaksana, pengambil keputusan, dan diibaratkan seorang kapten laut yang memiliki tujuan hendak membawa kemana perahu dan isi muatannya tersebut. Berikut hal yang bisa dibiasakan dalam mendidik anak.
ADVERTISEMENTS
1. Didiklah menjadi seorang humanis
Sudah semestinya manusia memiliki jiwa humanis pada dirinya masing-masing. Jiwa humanis memiliki arti, bahwa seseorang paham akan pentingnya peran manusia dalam keberlangsungan dalam kehidupan umat manusia lainnya. Mendidik menjadi humanis dalam keluarga, ambil contoh keserakahan.
Dalam perannya, orang tua dapat membiasakan agar anak tidak serakah, misalnya saja ketika anak sudah makan makanan yang menjadi bagiannya, anak semestinya paham, bahwa makanan yang lain itu bukan miliknya dan anak tidak berhak untuk memakannya apalagi jika anak sudah dalam keadaan kenyang.
Ketika anak sudah paham, bahwa anak memiliki bagian yang diperuntukkan untuk dirinya, anak tidak akan serta merta mengambil bahkan mencuri yang menjadi bagian orang lain. Tentu kita tidak menginginkan anak kita di masa depan, misalnya menjadi seseorang yang tamak, dan tidak memperdulikan hak orang lain, bukan?
ADVERTISEMENTS
2. Menyuruh anak membaca, orang tua pun harus turut serta membaca
Jadi teringat pribahasa “buah jatuh tidak akan jauh dari pohon”. Mungkin dengan pribahasa itulah cukup menggambarkan, bahwa semuanya yang kita hendak tularkan pada anak itu berasal dari kita. Kita dapat analogikan, bagaimana mungkin seseorang akan tertular batuk, jika orang di sekitarnya tidak mengidap batuk. Tentu dengan analogi tersebut, kita mendapat gambaran, bagaimana mungkin anak akan memiliki hasrat baca sedangkan orangtua hanya asyik menyaksikan sinetron yang jelas-jelas tidak bermanfaat?
Jadi, jelaslah bahwa peran orangtua itu tidak hanya sebagai tontonan bagi anak, melainkan sebagai tuntunan. Kita dapat lihat dari seorang anak bernama Hawkeye Huey, yaitu seorang fotografer alam cilik. Setelah disinyalir, seorang Hawkeye Huey bisa menjadi fotografer alam, karena seorang ayah yang berprofesi sebagai fotografer profesional Aaron Huey sering mengajak anaknya jalan-jalan untuk menangkap peristiwa melalui lensanya.
Jadi jelas kan, bahwa anak itu meniru dan memperhatikan dengan rinci kegiatan yang dilakukan oleh orangtua.
ADVERTISEMENTS
3. Ceritakan kepada anak tentang berkelanamu, bukan melulu prestasimu
Tak ada salahnya, ketika kita di masa muda mengisi waktu untuk berkelana, entah itu ke gunung, hutan, laut dan tempat lainnya. Selagi muda, tentu kita akan bersemangat untuk berkelana. Hal tersebut berbeda dengan ketika kita sudah menginjak usia yang tua – sudah malas kemana-mana. Suatu ketika ayah saya bercerita,
“Ini waktu ayah muda,” sambil memegang foto ayah yang istirahat menggunakan sepeda.
Tentu dari hal itu kita akan mendapatkan banyak informasi, misalnya, “Itu waktu ayah mau pergi kemana? Sepeda ayah merk apa?”
Dibandingkan dengan cerita yang mengagung-agungkan prestasi kepada anak,
“Dulu ayah juara ini, itu, bla bla…”
“Iya aku tahu. Aku tidak seperti ayah..”
Tentu dengan menceritakan tentang prestasi, anak akan merasa minder atau merasa rendah diri apabila prestasi anak tidak seperti ayahnya yang serba juara dalam berbagai kompetisi.
Alasan lain, mengapa cerita tentang perjalanan lebih disimak anak, karena anak akan merasa bertambah pengetahuan tanpa harus belajar di ruang kelas yang belum tentu gurunya piawai bercerita tentang suatu perjalanan ketika di masa mudanya.
ADVERTISEMENTS
4. Sediakan buku-buku atau alat musik di rumah
Hal ini menuntut kita untuk kembali ketika kita masa muda, apakah kita lebih sering mengumpulkan uang untuk membeli buku-buku atau kita lebih sering mengumpulkan uang untuk sekedar hura-hura ketika masa muda? Tak dapat dipungkiri, ketika kita masa muda, kita merasa sulit merogoh kocek untuk membeli buku, ketimbang sekedar makan-makan di restoran mahal, yang sebenarnya tidak benar-benar membuat kita kenyang. Buku adalah investasi masa depan.
Jika tak punya harta yang berlimpah untuk diwariskan kepada anak, warisilah berita (buku-buku) yang harus kau baca.
Selain daripada buku, ada hal lain yang dapat kita wariskan kepada anak, ya alat musik. Memang, tak semua manusia diberkati memiliki bakat untuk bermusik, tapi ingat bakat tidak akan berguna jika tidak ditopang oleh minat. Jadi, sebagai calon orangtua di masa depan, tak ada salahnya kita memiliki minat keras untuk belajar alat musik – tak harus semua alat musik.
Selain alat musik dapat menjadi sarana hiburan di saat penat, kita bisa sekaligus mengajarkan anak untuk bermusik. Karena dengan belajar alat musik, anak dapat mempelajari tentang disiplin, proses, tekad yang kuat dan totalitas untuk mencapi sebuah impian.
ADVERTISEMENTS
5. Pak, Bu, anakmu bukan robot berdarah
Tak dapat dipungkiri bekembangnya zaman, berkembang pula tantangan dan tingkat kesulitan dalam persaingan, baik itu pekerjaan dan keahlian antara satu individu dengan individu lainnya. Banyak orangtua yang menganggap dengan banyaknya kegiatan yang diikuti oleh anak akan berdampak baik bagi kehidupan si anak – belum tentu.
Beberapa orangtua rela merogoh kocek demi mendaftarkan anaknya untuk mengikuti segalam macam kursus matematika, mendaftarkan ke sekolah akademi sepakbola, tanpa mempertimbangkan perasaan si anak.
Ingat Pak, Bu, anakmu bukan robot berdarah yang hanya bisa diperintah, serta memanipulasi keinginan orangtua menjadi “Ini semua demi kebaikanmu nak..”
Tentu, yang namanya manusia memiliki perasaan terhadap sesuatu. Sebagai orangtua, hendaknya kita mempertimbangkan perasaan anak, jangan sampai ketika kita sudah mendaftarkan anak di sekolah musik, kemudian anak merasa tidak nyaman, berhenti, alih-alih berontak terhadap keinginan orangtua yang selalu mendikte dirinya. Dan kacaunya kita sebagai orangtua, akan cenderung menyalahkan sikap anak kita yang seperti itu, tanpa kita menyadari bahwa yang sudah dilakukan dengan cara memforsir anak bak robot merupakan kesalahan yang amat fatal.
ADVERTISEMENTS
6. Pahami gaya belajar anak
Setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda. Tipe atau gaya belajar ini telah kita ketahui, yakni audio, audio visual, dan kinestetik. Kemudian, mungkin kita pun telah mengetahui secara umum tiga tipe pembelajaran itu. Sebelum kepada orang lain, cobalah kepada diri sendiri, jadi termasuk yang mana kah tipe pembelajaran mu?
Jika kita sudah memiliki buah hati, kita bisa melihat dari cara mereka belajar. Ketika si buah hati belajar, namun tetap diiringi dengan suara musik, kita dapat mengambil kesimpulan secara umum bahwa dia memiliki tipe audio. Itu merupakan hal sederhana yang bisa diketahui. Biasanya untuk mereka yang bertipe audio ini, mereka memiliki kecendrungan untuk belajar alat musik lainnya. Hal ini merupakan nilai plus, karena mereka akan mempelajari musik dengan cepat.
Tentu hal-hal di atas ini sangat lah penting untuk kita yang berperan sebagai orang tua di masa depan. Tak harus menjadi guru seperti di sekolah untuk kita dapat mendidik anak dengan benar dan baik. Saya yakin, jika kita sering membaca buku parenting, berbagi cerita dengan orang lain, atau bahkan tergabung dengan komunitas parenting (walaupun kita belum menikah).
Zaman kita kecil, tentu berbeda dengan zaman sekarang. Pola asuh pun sudah tentu berbeda. Ambil pola asuh yang benar ketika kita masa kecil, yang buruk kita coba jauhkan untuk diterapkan pada anak kita kelak. Selagi muda, masih banyak waktu untuk menggapai jam terbang, kita harus mempersiapkan semuanya. Tentu kita tidak ingin, melihat semasa perkembangannya mengalami gangguan yang berasal dari kita, hanya karena pola asuh yang kita terapkan itu salah.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”