Zaman terus berubah, manusia pun dituntut untuk menyesuaikan dengan segala perubahannya. Maraknya teknologi yang menawarkan artificial intelligent, seperti robot pintar dan berbagai macam aplikasi di smartphone, justru mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Sikap malas, manja, egois, dan perilaku serba instant merupakan beberapa sikap negatif yang melekat pada mayoritas manusia milenial. Dengan banyaknya perusahaan yang saat ini para pekerjanya berasal dari generasi milenial, tak heran jika banyak perusahaan yang mulai berfokus terhadap kinerja generasi milenial. Oleh karena itu, dibutuhkan karakter kepemimpinan yang mampu mereduksi sikap negatif di atas dan mampu mengeluarkan semua potensi positif dari kaum milenial seperti melek teknologi, cepat, haus ilmu pengetahuan, dan publikasi. Di bawah ini terdapat 6 (enam) karakter kepemimpinan yang dibutuhkan di masa milenial.
ADVERTISEMENTS
1. Digital Mindset
Dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan smartphone, maka akses komunikasi antar individu pun sudah tidak bersekat lagi. Ruang pertemuan fisik beralih ke ruang pertemuan digital. Saat ini pun sudah menjadi kewajaran jika seseorang memiliki lebih dari 1 (satu) group di aplikasi WA ataupun Telegram mereka. Pemimpin di era milenial harus bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menghadirkan proses kerja yang efisien dan efektif di lingkungan kerjanya. Misalnya dengan mengadakan rapat via WA ataupun Anywhere Pad, mengganti surat undangan tertulis dengan undangan via email ataupun Telegram, dan membagi product knowledge ke klien via WA.
Jika seorang pemimpin tidak berupaya mendigitalisasi pekerjaannya di era saat ini, maka dia akan dianggap tidak adaptif oleh kliennya dan bahkan rekan kerjanya sendiri. Seperti yang dilansir oleh DDI (Development Dimensions International) dalam penelitiannya di tahun 2016, mayoritas millenial leader menyukai sebuah perusahaan yang fleksibel terhadap jam kerja dan tempat mereka bekerja. Hal ini tentu saja disebabkan karena kecanggihan teknologi yang membuat orang bisa bekerja dimana saja dan kapan saja. Dapat disaksikan bahwa hari ini banyak sekali coffeeshop yang berfungsi sebagai co-working space bertebaran di tempat kita dan sebagian besar pengunjungnya adalah millenials.
ADVERTISEMENTS
2. Observer dan Active Listener
Pemimpin di era milenial harus bisa menjadi observer dan pendengar aktif yang baik bagi anggota timnya. Apalagi jika mayoritas timnya adalah kaum milenial. Hal ini dikarenakan kaum milenial tumbuh beriringan dengan hadirnya media sosial yang membuat mereka kecanduan untuk diperhatikan. Mereka akan sangat menghargai dan termotivasi jika diberikan kesempatan untuk berbicara, berekspresi, dan diakomodasi ide-idenya oleh perusahaan. Mereka haus akan ilmu pengetahuan, pengembangan diri dan menyukai untuk berbagi pengalaman.
Namun di sisi lain, mereka pun tidak ragu untuk menuangkan kekesalannya terhadap perusahaan ke dalam media sosialnya. Oleh karena itu, jangan terburu-buru untuk menghakimi kinerja buruk mereka tanpa kita tahu alasan sebenarnya. Untuk menjadi observer dan active listener yang baik, tidak ada salahnya jika pendekatan dilakukan via media sosial milik mereka seperti Facebook, Instagram, dan Path. Apabila perusahaan kita mempunyai market segment kaum milenial, maka pendekatan yang sama bisa diterapkan untuk mendapatkan insight mereka.
ADVERTISEMENTS
3. Agile
Pemimpin yang agile dapat digambarkan sebagai pemimpin yang cerdas melihat peluang, cepat dalam beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi perubahan. Seperti yang disampaikan oleh motivator Jamil Azzaini, pemimpin yang agile adalah pemimpin yang open minded dan memiliki ambiguity acceptance, yakni bersedia menerima ketidakjelasan. Ketidakjelasan ini bisa berarti ketidakjelasan dari prospek bisnis ke depan, ketidakjelasan sistem manajemen perusahaan, atau ketidakjelasan manual produk yang dikeluarkan perusahaan. Oleh pemimpin yang agile, hal ini nantinya akan disederhanakan, diperbaiki, dan disempurnakan. Pemimpin yang agile mampu mengajak organisasinya untuk dengan cepat mengakomodasi perubahan. Layaknya Pep Guardiola yang menyempurnakan Total Football dengan Tiki Taka-nya.
Cara untuk menjadi pemimpin yang agile diantaranya adalah memperbanyak membaca buku, mengobservasi peristiwa dan silaturrahim.
ADVERTISEMENTS
4. Inclusive
Di dalam bahasa Inggris, inclusive diartikan "termasuk di dalamnya". Secara istilah, inclusive diartikan sebagai memasuki cara berpikir orang lain dalam melihat suatu masalah. Pemimpin yang inclusive dibutuhkan di era milenial dikarenakan perbedaan cara pandang antar individu yang semakin komplek. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya informasi yang semakin mudah diakses oleh siapapun, dimanapun, dan kapapnpun sehingga membentuk pola pikir yang berbeda antar individunya. Pemimpin yang inclusive diharapkan dapat menghargai setiap pemikiran yang ada dan menggunakannya untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin juga harus memberikan pemahaman akan pentingnya nilai, budaya, dan visi organisasi kepada anggota timnya secara paripurna karena kaum milenial akan bertindak secara antusias jika tindakannya memiliki meaning.
Agar menjadi pemimpin yang inclusive, pemimpin juga tidak boleh lagi bertindak sebagai boss, melainkan leader, mentor, dan sahabat bagi anggota timnya. Hal ini disebabkan sebagian besar kaum milenial menganut nilai-nilai seperti transparansi dan kolaborasi dalam hidup mereka. DDI dalam penelitiannya di tahun 2016, menyampaikan bahwa millenials menyukai perusahaan yang memberikan frekuensi lebih banyak untuk mendapatkan mentoring dan training dari para manajer di atasnya atau para expert.
ADVERTISEMENTS
5. Brave to be Different
Di zaman sekarang, ternyata masih banyak orang yang tidak berani untuk mengambil sebuah langkah atau keputusan penting dalam pencapaian cita-citanya karena hal tersebut bertentangan dengan kebiasaan orang-orang di sekitarnya. Hal semacam ini jika dibiarkan, akan menjadi hambatan seseorang bahkan sebuah perusahaan untuk lebih maju. Acapkali tradisi di sebuah perusahaan membuat orang lebih suka membenarkan yang biasa daripada membiasakan yang benar. Ini adalah tantangan bagi para pemimpin milenial dalam mengubah kondisi tersebut dan menanamkan nilai bahwa berbeda itu boleh asalkan dengan perencanaan dan tujuan yang jelas.
Oleh karena itu, untuk memberi contoh, pemimpin harus berani berbeda, baik dari cara berpikir, kebijakan, maupun penampilannya. Tentu berbedanya untuk kebaikan tim dan perusahaan, misalnya membebaskan pakaian kerja tim yang semula berseragam menjadi pakaian semi formal agar menambah semangat bekerja mereka karena tampil keren di hadapan teman kantornya. Menekankan kepada tim bahwa setiap orang memiliki keunikannya masing-masing dan diberdayagunakan untuk kepentingan organisasi juga salah satu tugas dari pemimpin.
ADVERTISEMENTS
6. Unbeatable (pantang menyerah)
Mindset pantang menyerah tentu harus dimiliki oleh semua pemimpin. Apalagi memimpin anak-anak di era milenial yang lekat dengan sikap malas, manja, dan merasa paling benar sendiri. Pemimpin milenial wajib memiliki sikap positive thinking dan semangat tinggi dalam mengejar goals-nya. Hambatan yang muncul seperti kurangnya respect dari pegawai senior maupun junior harus bisa diatasi dengan sikap ulet dan menunjukkan kualitas diri. Kondisi persaingan kerja di era globalisasi harus memicu pemimpin untuk meningkatkan soft skills misalnya kemampuan bernegosiasi, menginspirasi, dan critical thinking, dan hardskills-nya seperti membuat desain grafis dan berbahasa asing. Maka dari itu, wajib bagi pemimpin untuk menjadi sosok yang unbeatable yang memiliki kemampuan bangkit dari kegagalan dengan cepat dan pantang menyerah dalam menggapai tujuannya.
Itulah keenam karakter yang seharusnya melekat kepada pemimpin milenial. Secara sengaja, penulis menyingkat enam karakter di atas menjadi D.O.A.I.B.U yang menandakan bahwa pemimpin harus tetap berbakti kepada ibunya ataupun orang tuanya agar mendapatkan restunya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”