Stigma negatif tampaknya tidak bisa kita lepaskan begitu saja dari kehidupan kita dalam bermasyarakat. Perilaku yang cenderung destruktif tersebut tampaknya telah menjadi budaya di masyarakat kita. Stigma negatif sendiri cenderung di anut oleh orang-orang yang minim edukasi dan hanya mengedepankan persepsi. Mereka tak paham dampak apa yang mampu di timbulkan dari stigmatisasi itu sendiri.
1. Stigma perempuan dan laki-laki yang erat dengan budaya patriarki
Budaya patriarki adalah perilaku yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu, meski zaman telah mengalami perubahan dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini, tak ayal masih banyak orang yang memiliki persepsi bahwa perempuan selalu di bawah satu tingkat dari seorang laki-laki. Bekerja saat seharusnya mengurus rumah tangga, hingga di cemooh karena menduduki posisi jabatan tertinggi.
Alih-alih mengedukasi diri sendiri, masyarakat justru sibuk berspekulasi. Perempuan yang bekerja pada malam hari dikaitkan dengan perempuan malam atau pekerja komersial, padahal sebenarnya pekerjaannya memang mengharuskannya pulang malam dan itu bukan berarti dia harus dilabeli negatif oleh orang-orang, bukan?
Stigma mengenai kodrat laki-laki yang kerap kali dihadapi juga telah banyak terjadi, hal itu pun dijadikan justifikasi bahwa seorang pria yang memakai skin care setiap hari justru dilabeli sebagai pria feminim, padahal tak ada salahnya seorang pria melakukan perawatan, bukankah semata-mata untuk menjaga kebersihan dan kesehatan?
2. Menghubungkan orang berkepribadian intovert dan anti sosial tampaknya menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan
Seorang yang memiliki kepribadian introvert dan seseorang yang anti sosial sebenarnya mempunyai perbedaan yang signifikan. Introver bukanlah seorang yang anti sosial, introver cenderung akan merasa kelelahan saat terlalu lama berada di keramaian dan memilih kesendirian untuk memulihkan kekuatan sedangkan seorang anti sosial lebih kepada seorang yang benar-benar tak ingin berinterkasi dengan banyak orang.
Namun tampaknya ini menjadi habit yang sulit dihilangkan, mengingat kebiasaan masyarakat yang sering mencemooh ataupun menghakimi tanpa tahu alasan. Introver pun juga sama-sama dicemooh karena dianggap tak mampu bergaul dan berinteraksi sosial dengan baik. Namun faktanya, introver tetap mampu menjalin hubungan baik dengan seseorang sedangkan seorang anti sosial justru memiliki kesulitan untuk menjalin hubungan yang baik dan sehat dengan seseorang.
Yang perlu kita ingat, introvert adalah kepribadian sedangkan anti sosial adalah gangguan mental, introver tidak perlu disembuhkan sedangkan seorang anti sosial perlu disembuhkan. Seorang yang anti sosial menganggap semua orang seperti musuh, dengan pandai memanipulasi serta tidak memiliki empati. Sedangkan introver memilih menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat, dan melakukan hal yang disukai, introver juga memiliki kepribadian yang ramah pada siapa saja.
3. Mengaitkan pengidap gangguan mental dengan ketidakberhasilan seseorang untuk menuju kesuksesan adalah sebuah kekeliruan
Pengidap skizofrenia dan orang genius sebenarnya memiliki perbedaan yang tipis, kelebihan mereka adalah mereka memiliki kemampuan otak yang luar biasa. Tak sedikit pengidap skizofrenia yang berhasil meraih kesuksesan di bidangnya. Seniman dunia seperti Vincent Van Gogh juga mengalami skizofrenia serta gangguan bipolar, seniman impresionis yang berkecimpung di dunia melukis ini memiliki karya-karya yang tak bisa dilupakan dalam sejarah manusia pada era abad ke-19 hingga abad ke-20-an.
Mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln yang dikenal sebagai orang yang membebaskan perbudakan pun tak lepas dari gangguan mental. Demi Lovato yang berkarier di dunia musik entertainment pun juga tak lepas dari gangguan bipolar, bahkan penulis buku anak-anak terkenal “Harry Potter” pun pernah mengalami depresi berat karena dihadapkan pada kegagalan pernikahannya dan harus menjadi single parent, namun hal itu tak membuat J.K Rowling menyerah, ia tetap bertahan hingga sampai berada di puncak kesuksesan.
Sebenarnya gangguan mental tidak akan mengganggu kesuksesan seseorang selama pengidap gangguan mental mau berupaya meminta pertolongan dokter jiwa untuk membantunya melewati gangguan mental yang ia alami serta bertekad untuk sembuh dan kembali melanjutkan hidup untuk meraih kesuksesan yang selama ini diimpikan.
4. Stigma perempuan bercadar yang kerap kali dikaitkan dengan pelaku teror penganut ideologi radikalisme
Tak sedikit stigma negatif yang mengaitkan perempuan bercadar dan pelaku terorisme di sekitar kita. Pengetahuan yang awam seputar terorisme membuat masyarakat seringkali salah paham, apalagi stigma mengenai perempuan bercadar. Tujuan utama dari teroris adalah menebar ketakutan, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan, hingga menimbulkan kecurigaan dan konflik antar sesama organisasi masyarakat.
Kelompok perempuan bercadar telah menjadi korban dari kedangkalan pikiran dan didiskriminasi atas terjadinya teror bom yang terjadi disekitar. Tak dapat dipungkiri perempuan bercadar pun harus memperjuangkan hak mereka dalam berbusana, dan hak mereka sebagai kelompok kebudayaan yang patut dilindungi. Sebagai masyarakat sebaiknya kita menghargai dan menghormati perempuan bercadar untuk melaksanakan amalan dan pemahaman agama yang mereka yakini. Yang perlu kita ingat dan pahami sekali lagi adalah cadar bukanlah simbol teroris, dan cadar bukan pemecah masyarakat.
5. Pengidap depresi yang seringkali dikaitkan dengan kurangnya iman kepada Tuhan
Depresi menyebabkan hilangnya minat dan menurunnya produktivitas seseorang. Pengidap depresi juga seringkali dikaitkan dengan kurangnya iman kepada Tuhan, hal ini membuat pengidap depresi merasa ketakutan hingga hilang arah tujuan. Apalagi ketika membagi keluh kesahnya kepada seseorang, seseorang yang diharapkannya memberikan pertolongan namun justru malah memberikan putusan bahwa ia kurang iman kepada Tuhan.
Depresi tidak berkaitan dengan kurang iman, depresi justru terjadi karena lemahnya dukungan sosial di sekitar. Pengidap depresi juga sering disamakan dengan pengidap gangguan kejiwaan. Rendahnya pemahaman tersebut membuat masyarakat keliru dalam menanggapi pengidap gangguan kejiwaan, hingga membuat pengidapnya enggan berupaya mencari pertolongan.
Sebagai masyarakat sosial yang tak mampu hidup tanpa sesama manusia lainnya, sudah sepatutnya kita membantu pengidap depresi atau pengidap gangguan jiwa lainnya dengan menyarankannya untuk mendatangi dokter jiwa. Semua orang berhak memiliki jiwa yang sehat oleh karena itu mulailah peduli dengan isu kesehatan jiwa di sekitar kita. Sudah sepatutnya kita lebih peka dengan keadaan di sekitar kita dengan meninggalkan stigma negatif yang telah melekat sekian lama.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”