“All that I am, or hope to be, I owe to my angel mother.”- Abraham Lincoln
Ibu. Satu kata tiga huruf ini sanggup membuat semua yang gaduh menjadi teduh. Ketika ibu kita sudah tiada, mengingat akan hal itu membuat hati kita luluh…dan luruh. Tak terkecuali aku. Bahkan ketika aku mengetik bagian ini, air mataku jatuh membasahi pipiku yang tidak lagi sekencang dulu.
Kenangan bersama ibuku terpatri amat dalam di setiap relung hatiku. Meskipun aku bukan anak mama, namun sebagai anak bungsu, aku menjadi limpahan kasih sayang ibu. 5 kenangan inilah yang membuatku masih meneteskan air mata saat mengingat apa yang ibuku lakukan untukku.
ADVERTISEMENTS
1. Tetap Menggendongku Walau Terjatuh ke Sungai
Di depan rumahku, di Blitar, dulu ada sebuah sungai kecil—orang Surabaya menyebutnya ‘got’—yang airnya lebih bersih dibandingkan air got di depan rumahku yang sekarang. Seperti biasa, saat pagi hari, ibuku selalu menggendongku di pagi hari agar tubuhku terpapar sinar mentari pagi. Vitamin D bukan hanya terbentuk dari ikan, susu dan makanan lain, namun membutuhkan sinar matahari di dalam proses pembentukannya. “Biar kulitnya tidak kuning,” begitu alasan orang zaman old.
“Saat menggendongmu, aku tidak sadar bahwa kakiku sudah di ujung batas beton sehingga terjatuh. Anehnya, aku jatuh dalam posisi berdiri dan masih menggendongmu,” ujar ibu dengan senyum manisnya. Kecelakaan yang bisa saja membuatnya terluka ternyata justru menjadi memori yang indah di benaknya karena sedang menggendong anak bungsunya.
ADVERTISEMENTS
2. Menyisihkan Lauk Kegemaranku Agar Tidak Dihabiskan Kakak-kakakku
Serpihan ingatan masa laluku membuatku terharu. Ada dua orang yang selalu menyisihkan—sengaja menyimpan atau menyembunyikan—lauk kegemaranku agar tidak habis: ibuku dan nenekku. Sebagai bungsu dari 9 bersaudara, lauk di meja atau lemari makan memang cepat sekali habis. Namun, setiap kali makan, lauk kegemaranku selalu ada. Belakangan aku tahu ternyata ibuku memang menyembunyikan sebagian lauk itu untukku.
ADVERTISEMENTS
3. Menyelimutiku Saat Udara Dingin
Sejak remaja, aku menderita penyakit tulang semacam rematik. Nama persisnya aku sudah lupa. Seperti radang sendi begitu. Setiap malam, terutama menjelang pagi, saat udara paling dingin, tulang-tulangku terasa nyeri. Ibulah dan kadang-kadang ayah yang menyelimutiku agar tulangku tidak semakin nyeri. Kadang aku terbangun oleh ungkapan kasih sayang mereka, kadang tetap pulas. Ibuku menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari dan orang terakhir yang memejamkan mata di malam hari. Satu kebiasaan baik yang belum tentu dilakukan oleh ibu-ibu zaman now yang punya satu atau lebih asisten rumah tangga.
ADVERTISEMENTS
4. Memelukku Saat Aku Sakit
Setiap kali aku batuk-batuk atau menunjukkan gejala sakit seperti flu, ibuku spontan memelukku dan memberiku kehangatan. Ibuku tidak lagi memikirikan dirinya sendiri bahwa dalam kondisi tubuh yang lelah karena membesarkan kami bersembilan, dia gampang tertular. Peristiwa ini mengingatkanku akan seorang ibu yang dilarang dokter mendekati anaknya yang terkena penyakit menular. Namun, saat anaknya minta dipeluk, tanpa ragu dia memeluk dan mencium anak kesayangannya itu. Akibatnya fatal. Dia meninggal tidak lama setelah anak kesayangannya dipanggil Tuhan. Ibu, di mana pun, selalu menempatkan kepentingan anaknya di atas kepentingannya sendiri.
ADVERTISEMENTS
5. Masih Memberiku Uang Meskipun Aku Sudah Bekerja
“Jangan kerja jauh-jauh,” ucapan itulah yang sering aku dengar ketika aku pulang ke rumah, entah untuk mudik lebaran atau liburan Natal. Begitu lulus kuliah, aku sempat kerja di luar pulau tanpa seizin ibuku. Mengapa? Apa aku kurang ajar? Seingatku, kakakku berkata, “Kalau kamu bilang kerja di luar pulau, bisa jadi mama tidak mengizinkan. Sudah nanti aku saja yang memberitahu.” Aku lupa persisnya. Saat mengais memori masa lalu, hanya itu yang aku ingat.
Ketika aku pindah kerja ke Jogja pun, ibuku tidak terlalu merestui. Apalagi saat aku bertugas di Australia, ibuku selalu berkata, “Kerja itu yang dekat-dekat saja.”
Setiap kali aku pulang ke rumah dan mau kembali ke tempat kerjaku, ibuku masih saja memaksaku menerima sejumlah uang. Meskipun jumlahnya tidak besar, namun sebesar apa pun kita, anak tetap anak di mata ibu. Uang saku dari ibu tak lekang dimakan waktu.
Kini ibuku sudah pulang lebih dulu di usia 93 tahun. Aku masih sempat memeluk ibuku sesaat sebelum Tuhan memanggilnya pulang. Sampai bertemu, Ibu. Aku rindu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”