“Tau ga? Ternyata si A itu orangnya suka gaul, lho. Pinter ngomong dan terbuka. Berarti dia itu ekstrovert, ya.”
“Masa? Kalau menurutku malah dia itu introvert. Orangnya agak diem. Senengnya di rumah doang. Suka privasi, deh, pokoknya.”
Hingga saat ini, banyak tulisan yang telah mengulas tentang dua kutub kepribadian ini: ekstrovert dan introvert. Dua istilah klasifikasi kepribadian ini pertama kali dipopulerkan oleh Carl Jung. Pengukuran kepribadian ini seringkali dilakukan secara kaku. Mereka yang suka bergaul masuk ke dalam kutub ekstrovert. Dan mereka yang senang menyendiri masuk ke dalam kutub introvert. Titik. Tanpa koma.
Padahal sesungguhnya, pengukuran ekstrovert-introvert itu seperti sebuah spektrum. Kalau diibaratkan, si ekstrovert berada di sebelah kanan dan si introvert berada di sebelah kiri. Lalu, bagaimana dengan mereka yang berada di antara kedua kutub tersebut? Mereka yang masuk ke dalam zona tengah ini dikenal dengan sebutan ambivert, seperti yang dibahas dalam The Wall Street Journal.
Nah, si ambivert ini seringkali terlupakan. Di saat banyak orang mendiskusikan si ekstrovert dan si introvert, mereka yang ambivert merasa bingung. Karena mereka tidak merasa benar-benar ekstrovert dan tidak sepenuhnya introvert. Banyak dari mereka, para ambivert, mengalami pergumulan batin seperti yang terpapar di bawah ini.
Mereka yang introvert biasanya akan merasa tidak nyaman dan membuat barikade pengaman jika harus berada di tengah sebuah kerumunan. Sedangkan kamu, sama seperti ekstrovert, tidak merasa gelisah bila harus berada di suatu tempat yang dipadati oleh khalayak ramai.
Hanya saja, kalau orang ekstrovert biasanya menikmati situasi tersebut dengan memulai percakapan dengan orang baru. Kamu justru menikmatinya dengan hanya sekadar mengamati sekitarmu saja. Kamu, sama seperti introvert, tidak berinisiatif untuk melakukan interaksi terlebih dahulu.
<>2. Kamu bisa merasa lelah setelah banyak bersosialisasi. Dan juga merasa gerah bila terlalu lama menyendiri.>Orang ekstrovert akan merasa hidup dan bersemangat apabila mereka bertemu dan berkomunikasi dengan orang lain. Dan akan merasa sangat suntuk jika mereka hanya berdiam diri sendirian. Sebaliknya, orang introvert justru mendapatkan energinya dari kesendirian dimana mereka bisa asyik bergelut dengan pikiran mereka sendiri.
Kamu yang ambivert, berdiri di antara keduanya. Kamu akan merasa jengah bila terlalu lama sendirian. Karena kamu juga membutuhkan adanya komunikasi dengan orang lain. Tapi, bersosialisasi dengan orang lain dalam kurun waktu yang lama juga bisa membuatmu merasa lelah dan kehabisan energi.
Kalau kamu sudah merasa seperti ini, berarti sudah waktunya bagimu untuk kembali ke duniamu sendiri dan mengecas ulang bateraimu yang sudah hampir mati.
<>3. Kepribadianmu bisa berubah tergantung dengan siapa kamu bicara.>Orang ambivert itu fleksibel. Kamu mampu menggeser kepribadianmu sesuai dengan siapa kamu bertukar kata. Kalau kamu sedang berbicara dengan si ekstrovert, maka kamu akan lebih berperan sebagai lawan bicara yang introvert. Kamu akan membiarkan mereka bercerita dan kamu akan lebih mendengarkan dengan setia.
Sedangkan jika kamu berhadapan dengan si introvert, maka kamu akan melakoni si pribadi yang ekstrovert. Kamu akan mengambil posisi yang lebih banyak berbicara, sementara mereka akan duduk manis dan menyediakan telinga. Dalam peran yang manapun, kamu si ambivert tidak akan merasa janggal.
<>4. Kamu bisa berkompromi dengan pembicaraan ringan dan basa-basi. Namun, kamu akan lebih tertarik ketika terlibat dalam percakapan yang mendalam dan spesifik.>Kamu yang ambivert tidak merasa malas meladeni sebuah pembicaraan kecil dan ringan, yang mungkin hanyalah sebuah basa-basi. Apa yang sedang terjadi di dalam dunia musik sekarang ini? Apa drama Korea yang lagi hits akhir-akhir ini? Kamu bisa ikut berbincang dan menikmati soal semua itu.
Tapi, kamu akan merasa jauh lebih bersemangat ketika percakapan tersebut mulai merujuk pada sebuah topik yang spesifik. Topik yang lebih mendalam dan sesuai dengan minatmu. Kamu lebih tertarik pada percakapan yang berbau filosofi. Sebuah percakapan yang membahas tentang kehidupan. Orang ambivert itu, seperti si introvert, biasanya adalah seorang deep conversationalist.
<>5. Dalam sebuah komunikasi, kamu tak selalu diam dan tak senantiasa bersuara. Kamu hanya menunggu waktu yang tepat saja.>Kamu tidak selalu diam seperti si introvert. Tapi, tidak juga senantiasa bersuara seperti si ekstrovert. Orang ambivert umumnya intuitif. Jadi kamu, si ambivert, tahu kapan saatnya harus angkat bicara dan kapan saatnya harus diam dan mendengarkan. Kamu akan melakukan keduanya secara bergantian di waktu yang tepat.
<>6. Bagimu, berkenalan dengan orang baru itu boleh-boleh saja. Berada di tempat baru juga baik-baik saja. Tapi, berkenalan dengan orang baru di tempat yang baru itu baru luar biasa.>Kamu itu seperti si ekstrovert yang suka dengan suasana baru. Tapi, juga seperti si introvert yang butuh sesuatu yang familiar. Makanya ketika kamu ingin pergi ke suatu tempat yang baru, kamu akan lebih suka pergi dengan orang yang sudah kamu kenal.
Dan jika kamu harus berkenalan dengan orang baru, kamu akan memilih untuk bertemu di tempat yang kamu sudah akrab. Berkenalan dengan orang baru di tempat yang baru akan terasa berlebihan dan membuatmu merasa kurang nyaman.
<>7. Kamu agak sulit memilih rencana akhir pekan. Pergi ke sebuah pesta mewah atau bergelut sendiri di rumah. Di antara keduanya, tidak ada masalah.>Sekali lagi, kamu bisa menjadi si ekstrovert yang terangsang oleh stimulasi dari luar. Dan juga bisa menjadi si introvert yang terangsang oleh stimulasi dari dalam. Jadi untuk urusan memutuskan rencana di akhir pekan, kamu akan merasa cukup kesulitan.
Pergi bersosialisasi ke luar atau bermalas-malasan di rumah, kamu suka dengan dua-duanya. Jadi ujung-ujungnya, kamu biasanya akan memutuskan berdasarkan pada mood yang sedang kamu rasakan. Tapi biasanya kalau kamu ingin pergi, kamu akan melontarkan pertanyaan ini: “Nanti yang datang ada siapa saja?”
<>8. Kadang kamu terlihat ambigu. Bergaul dengan mereka yang ekstrovert dan menepi bersama mereka yang introvert. Kamu bisa menyesuaikan diri.>Kamu bisa berbaur dengan para introvert dalam sebuah klub pecinta buku. Kamu juga begitu leluasa bercengkerama dengan para ekstrovert dari jurusan ilmu komunikasi. Kamu para ambivert mampu beradaptasi dengan mudahnya di setiap komunitas. Bukannya tidak konsisten, melainkan kamu bisa memahami masing-masing dari mereka. Jadi, tidak heran kalau teman-temanmu tidak hanya terpaku pada salah satu kubu.
<>9. Soal pekerjaan, kamu juga tidak begitu ambil pusing. Buat kamu, pengerjaan proyek secara berkelompok atau individu itu tidak ada bedanya.>Para ambivert tidak memiliki preferensi tersendiri mengenai cara penyelesaian sebuah proyek. Kalau orang ekstrovert biasanya lebih memilih untuk mengerjakannya secara berkelompok. Sedangkan orang introvert cenderung lebih suka untuk menyelesaikannya secara individu.
Tapi buat kamu yang ambivert, dua opsi ini tidak memberikan dampak yang berbeda. Bukannya bersikap apatis. Tapi, berkelompok ataupun individu, kamu tetap dapat mengerjakannya secara optimal.
<>10. Kesimpulan dari semua itu, kamu bingung menentukan apakah kamu termasuk ekstrovert atau introvert. Karena sesungguhnya, kamu memang dua-duanya.>Ini merupakan pergumulan batin yang paling signifikan. Kamu, dan juga teman-temanmu, bingung menentukan apakah kamu ekstrovert atau introvert. Kamu mempunyai kualitas si ekstrovert. Tapi, kamu juga memiliki ciri-ciri si introvert. Kadang kamu menjadi si ekstrovert yang senang sosialisasi. Kadang kamu adalah si introvert yang suka dengan privasi. Tenang saja! Kamu tidak labil, kok. Karena kamu memang dua-duanya.
Kamu = si ambivert
Meskipun berada di antara dua ‘label’ kepribadian dan kadang terlihat ambigu, seorang ambivert tetap mempunyai keunggulan. Berdasarkan Journal of Psychological Science, penelitian yang dilakukan oleh Adam Grant menyimpulkan bahwa orang-orang ambivert merupakan sales people yang handal dan sukses.
Jadi untuk urusan jual-menjual, kamu para ambivert terbukti mempunyai keahlian yang lebih mumpuni dibandingkan mereka yang ekstrovert dan introvert. Karena kamu yang ambivert tahu pentingnya keseimbangan antara berbicara dan mendengarkan. Kamu paham dengan benar kapan harus maju dan melakukan persuasi, serta kapan harus berhenti dan mendengarkan dengan teliti.
Artikel ini terinspirasi dari laman Lifehack. Artikel aslinya dapat dilihat di sini dan di sini.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Kayak pH…bukan basa, bukan juga asam. Tapi netral…��
sering di katain tidak konsisten karna memang aku seorang ambivert