Artikel kali ini dipersembahkan oleh Makanluar, aplikasi yang menawarkan pilihan restoran berkualitas dan cara nyaman untuk reservasi online — demi pengalaman makan yang layak dikenang
“Eh, bayinya Ratih sebentar lagi lahir nih… kita iuran yuk buat stroller!”
“Boleh… Berapa?”
“100.000 gimana? Ini semuanya mau ikut nyumbang ‘kan?”
“Okee, aku transfer sekarang yaa…”
“Transfer? Nggak sekalian ketemu aja, gitu? Buka puasa bareng nanti sore atau weekend, gimana?”
“Maauuu 🙁 Tapi gue lagi sibuk ngejar setoran 🙁 🙁 Kerjaan kantor numpuuuk…”
“Oh, ya udah deh. Hehe. Ditunggu transferannya ya. Kecups!”
Teman-temanku sayang,
Kapankah terakhir kali kita duduk bersama dan berbagi tawa? Bukan hanya dengan bertukar stiker dan meme saja, atau mengetik huruf “H” dan “A” di layar ponsel kita. Aku ingin menatap langsung wajah kalian, melempar ledekan atau komentar atas perubahan yang dipatri oleh waktu pada dirimu. Aku ingin berbagi banyak tentang hidupku: tentang orang-orang rumah, tentang hal-hal yang selalu kusimpan sendiri soal pekerjaanku saat ini, atau apa yang terjadi sejak hubungan terakhirku diakhiri.
Kalian pun berhak mengomentari ceritaku dengan kalimat apa saja. Asal yang kalian katakan pada ajakanku untuk bertemu adalah “ya”.
Aku tahu, kesempatan yang kita punya untuk saling bertatap muka tak sebanyak dulu. Deadline dan target hidup telah mengejar kita dari segala penjuru.
Namun aku percaya, bukan hanya aku di antara kalian yang menyimpan rindu.
Bukankah ada hal-hal yang tak bisa tersampaikan lewat ketikan jari? Satu tahun punya lebih dari 300 hari. Tidak adakah yang bisa dikonservasi untuk kita bertemu kembali?
ADVERTISEMENTS
Sebenarnya aku bangga, kita masih sering bertukar cerita. Banyak sahabat yang membiarkan waktu memutus hubungan mereka begitu saja
“‘Best Friends Forever’ itu mitos, lah ya? Mana ada sih di dunia ini yang selamanya?”
Tetapi yang disebut “mitos” itu terbukti nyata ketika aku mengenal kalian semua. Aku ingat, di hari wisuda, diam-diam kutatap kalian yang sedang sibuk berfoto mengenakan jubah toga. “Setelah ini, apa?” tanyaku waktu itu. “Apa ini momen terakhir yang kami habiskan bersama?”
Namun sampai sekarang, ketakutanku belum terbukti. Kita toh masih saling menyapa lewat foto-foto dan meme hampir setiap hari. Undangan pernikahan dan berbagai kabar penting tak pernah terlewatkan. Di waktu senggang, ada saja salah satu dari kita yang menyapa kawan-kawan lainnya di grup, bertanya
Dalam hati, sebenarnya aku bangga bahwa hingga sekarang kita masih sering bertukar cerita. Aku tahu Angga akan menikah sebulan lagi, Ratih baru saja punya anak pertama, Nadia dan Icha sedang bertarung untuk bertahan hidup di luar negeri. Tidak mudah mempertahankan komunikasi ketika masing-masing dari kita sudah punya jalan sendiri-sendiri. Karena itulah, banyak sahabat yang membiarkan waktu memutus hubungan mereka. Tak ada yang salah dengan mereka — hidup hanya terus berjalan, itu saja.
ADVERTISEMENTS
Namun kita begitu jarang bertemu di dunia nyata. Lupa bahwa ada yang hanya bisa kita lakukan saat bertatap muka
Walaupun masih sering bertegur sapa, harus diakui. Interaksi kita terbatas, sekadar tawa virtual dan ketikan jari. Jarang sekali kita sengaja meluangkan waktu untuk duduk dan makan bersama. Terakhir kali kita menghabiskan sore dengan tatap muka adalah nyaris setahun lalu, saat buka puasa bersama di Anatolia, sebuah restoran Turki di Kemang. Semalaman kita saling melempar ledekan dan membandingkan diri kita yang dulu dengan yang sekarang.
“Emang sekarang ada cewek yang mau sama lo? Inget gak, pas kuliah dulu lo ditolak siapa… Hahahaha.”
“Eh, sial. Gue abisin kebab lo nih kalo lo ngungkit-ngungkit lagi.”
“Aaaah emang kebab Turkinya enak, kali. Lo cuma mau alasan aja buat makan punya gue!”
Sejak pertemuan itu, kita nyaris tak pernah menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama lagi. Padahal aku ingat, kita tertawa-tawa sampai perut sakit, bercanda dan terpesona melihat para belly dancer di Anatolia. Sore itu sore yang menyenangkan.
Tapi karena kesibukan yang terus menghajar, nampaknya kita lupa bahwa ada hal-hal yang bisa tersampaikan sempurna hanya jika kita bertatap muka. Jari tak harus letih mengetik kata-kata karena bibir sudah mampu menyampaikannya. Tak perlu ada emoji atau stiker-stiker lucu ketika ekspresi wajah dan bahasa tubuh sudah jauh lebih baik menyampaikannya.
Dan aku rindu percakapan-percakapan kita yang selalu tak jelas juntrungannya, tak menarik bagi orang lain yang mendengarkannya, namun selalu menyimpan kesan bagi kita hingga bertahun-tahun setelahnya.
ADVERTISEMENTS
Kadang aku merasa cuma kalian yang bisa mendengar keluhanku dan memahami. Tapi sulit menyampaikan isi hati jika kalian tak ada di sisi
Mungkin memang aku manja. Sedikit-sedikit punya masalah, rasanya langsung ingin bercerita. Namun memang sudah cukup lama kita tak bertatap muka. Tentu saja, rinduku sudah menjalar ke seluruh bagian kepala.
Di antara teman-temanku yang lain kalian selalu kuanggap spesial. Beberapa cerita sengaja aku simpan karena ingin bercerita lebih dulu pada kalian. Hanya kalian yang kuandalkan untuk mengerti. Bisa mendengar keluhan-keluhanku tanpa menghakimi, atau memberikan saran sembarangan yang justru menyakiti hati.
Kalian tahu kapan harus mendengar, kapan harus berbicara.
Kapan harus mengintervensi, kapan harus menerima.
Perpisahan dengan kalian adalah saat-saat yang paling tak kuinginkan. Kuharap, bukan aku saja yang saat ini menginginkan sebuah pertemuan.
ADVERTISEMENTS
Teman-teman terbaik adalah yang selalu melowongkan waktu untuk pertemuan. Aku tahu, aku memiliki kalian
Aku ingin menghabiskan satu sore bersama kalian lagi. Dengan canda-tawa, menapaki jalan penuh memori. Siapa sih yang dulu pernah menangis karena dapat 0 di ujian Kalkulus Dasar? Siapa yang harus mengulang Kimia Dasar sampai tiga kali? Siapa yang dulu harus menyusul KKN tahun depan cuma karena telat mendaftar?
Aku ingin mendengar cerita-cerita kalian lagi. Pasti sudah banyak hal yang berubah selama setahun kita tak bertemu ini.
Kita bisa mengobrol ditemani ayam mentega, chicken tikka, atau hidangan-hidangan ala Maroko dan Timur Tengah lainnya dari Maroush di Crowne Plaza. Mungkin ada dari kalian yang lebih ingin menghabiskan waktu di Colonial, menyantap lasagna mereka yang spesial sambil menikmati atmosfer restoran yang rileks dan menyenangkan. Dengan Rp200.000 pun kita sudah bisa mendapat tiga set menu yang bisa disantap bareng bersama teman-teman.
“Gimana kalau kita ke Entrada aja? Waiters-nya ramah banget, tempatnya cozy. Ada sea mocktail sama churros juga. Pada bisa gak kalau besok?”
Seseorang di grup akhirnya membalas tawaranku untuk bertemu. Tak hanya itu saja, ia pun menawarkan tempatnya.
“Di SCBD ‘kan ya? Ada diskon 20% juga kalau reservasi dulu lewat Makanluar.”
“Atau Anatolia lagi aja kayak tahun laluu… Ada free ta’jil sama mint tea yang enak dulu itu lho.”
Ah, kalian berbalasan.
“Duuh… pengen sih… Tapi udah janji mau buka puasa bareng bini.”
“Ya udah deh, minggu depan gimana? Pada gak kangen nih cerita-cerita?”
“Ya kangen lah kalo lo nanya gitu.”
“Sekalian aja kita kasih baby stroller-nya ke Ratih deh. Daripada dipaketin, ngapain juga? Sama-sama satu kota ini.”
Aku mengulas senyum senang. Akhirnya, setelah hampir satu tahun lamanya, kita sepakat untuk kembali mengadakan pertemuan.
“Sampai ketemu, teman-teman! <3”
Teman-teman terbaik adalah yang selalu melowongkan waktu untuk pertemuan.
Aku tahu, aku memiliki kalian.