Untukmu, punggung yang selalu kunikmati dari kejauhan.
Dulu sekali, rasa cinta memang sangat akrab dan sering bergelayut manja di rongga hatiku. Selalu berhasil membuatku meremang ketika sosokmu tak sengaja tertangkap oleh mata. Ya, hanya mataku memang yang bisa menikmatimu. Sementara tangan dan bibirku harus rela meredam keinginannya untuk mengecup serta mendekap. Namun tak mengapa, toh aku masih bisa menikmati punggungmu dari kejauhan.
Asal kau tahu, mendoakanmu diam-diam juga selalu menjadi ritual wajibku tiap petang. Walau kemudian kini telah ada sosok manusia lain di sisimu yang juga turut serta aku doakan.
ADVERTISEMENTS
Kabar bahwa kamu tidak lagi sendiri sampai di telingaku. Jujur, aku sempat menerka-nerka bagaimana sempurnanya dia yang ada di sisimu
Lama memang aku tak bersua dengan dirimu. Selepas kita tak menuntut ilmu di gedung yang sama, aku pun sempat kehilangan rekam jejakmu. Aku menyukaimu memang, tapi tak menjadikanku sosok yang gemar menguntit karena ingin tahu keseharian dirimu. Sesekali, harus kuakui, aku sengaja menyasarkan diri ke beberapa akun media sosial milikmu. Sekedar mengintip apa kegiatan atau curahan hati yang kau tuliskan di sana. Ah, dan tentu saja sekaligus mengobati rindu yang entah sudah sedalam apa guratannya.
Walau jarang melihatmu namun aku tetap mengencangkan sinyal di kepalaku supaya bisa menangkap berita apapun seputar dirimu. Pada akhirnya, kabar yang enggan kudengar sampai juga. Kata suara-suara yang dihembuskan oleh angin dan hinggap di telingaku, dirimu tak lagi sendiri karena telah ada sosok yang mendampingi. Ada tangan manusia lain yang mengisi kekosongan di antara jemarimu.
Banyak tanya sering beterbangan di dalam rongga dadaku,
“Bahagiakah dirimu bersama dengannya? Sempurnakah sosoknya yang kini mengisi hari-harimu?”
ADVERTISEMENTS
Pertemuan kembali denganmu memang tak pernah kuduga, perjumpaan yang membuatku kembali dilumat kenangan lama
Entah mimpi apa aku semalam, bertemu denganmu merupakan hal terindah yang kubayangkan saja aku tak punya cukup nyali. Kau masih nampak seperti dulu, rupawan tanpa perlu banyak hiasan. Kau melihatku yang sedang duduk diam di pojokan, aku yang tentu saja sedang terpana melihat keajaiban Tuhan. Kau melambaikan tangan dan mempersembahkan senyum untukku. Selanjutnya kau pun melangkahkan kaki ke arahku, membuka obrolan ringan mengenai kabar, pekerjaan, dan entah apa. Aku tak ingat benar, aku hanya mampu menjawab ‘ya’ dan ‘tidak’ selebihnya perhatianku tersedot habis pada sosokmu, pada senyummu.
Pertemuan singkat di kedai kopi senja hari itu kembali lagi membuka kenangan yang sudah kusimpan rapat. Walau kita tak terlalu akrab, kau mengetahui sosokku dengan baik, walau tentu saja tak sebaik aku mengenalmu. Aku selalu hapal senyuman manis yang tersungging di bibirmu. Hapal pula pada setiap hal yang kau suka dan kau benci. Tahu benar segala bahasa tubuhmu.
Kita memang saling mengenal, tentu saja, namun hubungan yang terjalin di antara kita tak terlalu lekat. Ya, bagaimana bisa aku mengakrabkan diri padamu jika melihatmu dalam jarak dekat saja jantungku sudah meronta ingin keluar dari tempatnya? Kaki ini pun tak bisa diajak berkompromi karena mendadak lemas dan tak mampu menopang bobot tubuhku. Aku pun tak bisa berhenti melakukan kebodohan karena dilanda kecanggungan. Mungkin itulah alasannya mengapa aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan dan kita hanyalah sebatas teman.
ADVERTISEMENTS
Tak pernah aku menyalahkan maupun mengutuki keadaan. Aku percaya kita tak bisa bersama karena suatu alasan
Aku paham benar kau dan aku memang diciptakan untuk tak menjadi satu. Oleh karena itulah, aku pun tak pernah menyalahkan Tuhan maupun keadaan. Aku percaya selalu ada beribu alasan baik di baliknya. Menikmatimu dari kejauhan saja sudah membuatku mengucap syukur dalam-dalam. Tentu aku tak akan menjadi hamba yang tak baik pada Tuhan dengan memaksa memintamu untuk menjadi milikku.
Kata sinetron layar kaca dan buku roman yang pernah kubaca, jika memang kau mencintai orang itu benar-benar maka kau harus merelakannya. Membiarkannya berbahagia dengan orang pilihannya. Ah, sebut saja aku tolol dan melankolis, tapi memang sepertinya itulah yang akan kulakukan. Menjagamu dari jauh, mengirimkanmu doa yang tak putus.
ADVERTISEMENTS
Hingga kini kamu memang tak pernah berhasil kumiliki. Namun lewat cara itu aku jadi belajar bagaimana cara melapangkan hati
Hingga detik ini ada dan tulisan ini selesai kubuat, kau memang tak pernah menjadi milikku. Kita hanya sebatas teman, itupun tak begitu lekat. Namun justru dengan itulah aku bisa memetik dan mengunyah ilmu baru. Aku belajar bagaimana cara melapangkan hati. Bagaimana mengikhlaskan orang yang dikasihi pergi. Sungguh, walau dulu aku pernah begitu memujamu, namun kini telah kurelakan dirimu bersanding dengan yang lainnya.
“Akan selalu ada setangkup doa untukmu di tiap senja. Dimanapun dirimu berada, semoga kau tidak lupa untuk bahagia.”