Hai, kamu, apa kabarmu?
“Apakah kamu baik-baik saja hari ini?
Apa hatimu sama berlubangnya seperti milikku?
Dan, apa kamu juga sedang berjuang menata hati dan hidup dari titik terendah seperti yang sedang kulakukan saat ini?
Jika iya, kenapa kau lontarkan kata putus kemarin lusa?”
Kemarin kita bertengkar hebat. Pertengkaran yang tak ada ujung dan kita pun tak ingat apa pangkalnya. Tidak seperti pertengkaran yang sudah-sudah, dimana kita akan saling diam kemudian memaafkan. Kemarin kamu terlihat begitu murka, akupun juga tak bisa mengendalikan amarah.
Tak disangka dan diduga kamu melontarkan kata putus dengan raut muka serius. Tahukah kamu seperti apa rasanya mendengarkan kata itu terlontar dari mulutmu? Sakit? Ya, hatiku terbelah menjadi dua saat itu juga. Hatiku kemudian pecah berkeping-keping ketika kamu pergi meninggalkanku. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya ketika nyeri dan pedih melebur menjadi satu?
Esok harinya, kamu masih memilih diam dan tidak mengangkat teleponku. Aku tidak habis akal, aku mengirimkan puluhan pesan singkat untuk mengajakmu bertemu kembali demi membahas hubungan kita. Namun satu pesan singkat yang kuterima justru telak menohok ulu hatiku. Menggilas kepingan hatiku menjadi serpihan. Mengubah asa yang masih terselip rapi menguap menjadi udara yang menyesakkan hati.
“Kita benar-benar sudah selesai. Tidak ada lagi kita, hanya ada aku dan kamu yang kini sudah berada di jalan yang berbeda.”
ADVERTISEMENTS
Masih segar di kepala bagaimana kali pertama pertemuan kita. Dari diperkenalkan seorang teman secara seadanya, kita semakin nyaman bersama
Ya, cerita kita memang sudah berakhir, tapi ijinkanlah aku untuk terakhir kalinya mengenang masa indah ketika kita masih bersama. Pertemuan pertama kita terjadi lima tahun yang lalu. Semuanya berawal berkat perkenalan dari seorang teman. Aku masih ingat, belum ada rasa suka di hatiku. Semuanya biasa saja, berdebar atau meremang pun tidak kurasa.
Waktu demi waktu berlalu, kita semakin menunjukkan ketertarikan dalam porsi yang sama. Aku dan kamu sering menghabiskan waktu untuk berbincang serta bercengkerama. Jalan pikiran kita yang berbeda memang bagaikan magnet yang kuat untuk saling menyelami isi kepala. Aku ingin menengok segala hal dari sudut pandangmu, begitu juga kamu, ingin melihat segala sesuatunya dari sisiku.
Kita semakin nyaman bersama. Bahkan, kita memutuskan untuk saling menautkan jemari dan menjalin cerita asmara. Kita masih tidak menyadari bahwa jalan pikiran kita yang berbeda bisa menjadi jurang pemisah di suatu hari nanti. Kita sama-sama berpikir bahwa toh perbedaan jalan pikiran akan menemukan titik tengahnya. Ya, aku dan kamu sama-sama dibutakan oleh cinta.
Namun, kita sering lupa bahwa manusia memang memiliki ego yang tingginya mampu menjadikan kita menjadi aku dan kamu.
ADVERTISEMENTS
Sesekali kau dan aku bertengkar. Tapi saat itu hubungan kita kian tegar. Masa depan bersama pun semakin jelas tergambar
Hubungan kita berlangsung mulus, yah walaupun diselingi dengan beberapa pertengkaran yang kita pikir wajar saja. Bahkan, kita sudah memetakan masa depan bersama. Aku dan kamu sudah saling serius menapaki hubungan ini. Kita sama-sama berharap akan akhir indah untuk kisah kita. Perbedaan pola pikir masih belum menunjukkan tajinya, kita masih baik-baik saja bersama.
Ya, bahkan kita sudah berangan-angan jauh tentang masa depan. Akan seperti apa rumah kita nanti. Kita juga mempertimbangkan apakah akan memelihara anjing atau tidak demi teman buah hati masa depan kita. Anganmu dan anganku memang sudah terlalu jauh. Kita berusaha merenda angan demi masa depan dan hari tua. Aku dan kamu mencoba baik-baik saja dengan segala perbedaan jalan pikiran yang kita miliki.
Kita tidak menyadari, pertengkaran kecil kita merupakan duri di dalam daging. Masalah kecil yang ada juga kemudian terlupa, kita sama-sama tidak tahu bahwa hal itu justru akan tertimbun dan nantinya akan menjadi tembok pemisah besar di antara kita.
ADVERTISEMENTS
Seiring waktu, cinta yang tumbuh ternyata tak semudah itu melunakkan dua kepala batu. Ego yang tinggi memaksa kita tak bisa bersatu
Ya, kemarin lusa merupakan puncak dari pertengkaran kita selama ini. Akhirnya masalah kecil yang selama ini tertimbun dan terlupa, tumpah ruah ke permukaan. Ego yang selama ini bersembunyi keluar dan menunjukan taji. Kata kita berubah menjadi aku dan kamu. Pun kata panggilan sayang berganti menjadi nama panggilan yang kita serukan dengan lantang. Kita bagaikan dua orang asing yang baru saja bertemu untuk kemudian berseteru.
Kita sama-sama menyadari bahwa kita memang tidak diperuntukkan menjadi satu. Pola pikir kita yang berbeda memang tidak ingin disatukan. Dibantu dengan ego masing-masing, keduanya menjadi sama tinggi. Kita pun gemar menyakiti demi pemuasan ego dua kepala.
Mungkin kamulah yang cukup berani mengambil keputusan itu. Bahwa kamu menyerah dan mundur dari medan perseteruan pun dari hubungan. Kamulah yang menyadarkanku bahwa kita memang tidak seharusnya bersama.
Ya, keputusan beranimu yang dibarengi dengan hancurnya hatiku menjadi puluhan juta keping.
ADVERTISEMENTS
Berpisah denganmu jelas menyisakan sepi. Tapi apa yang harus disesali jika semesta memang tak mengamini? Sekarang akan kubangun lagi hidup yang sempat porak-poranda ini. Sendiri
Mungkin memang kita ditakdirkan untuk tidak bersama. Satu masa memang sudah direncanakan oleh Sang Maha Pencipta, dimana kita bertemu untuk kemudian berpisah. Semesta pun turut mengamininya.
Kini doakan aku semoga mampu bergulat dengan sepi dan pekatnya rindu yang kurasakan di dalam hati. Semoga aku mampu bangkit lagi untuk merangkai kepingan hatiku yang kini sedang berserakan wujudnya. Semoga kita mampu menapaki masa depan yang sama indahnya walaupun di jalan yang berbeda.
Ya, aku sedang berusaha untuk baik-baik saja. Semoga kamupun juga sama.
Dariku,
yang hatinya sudah kau patahkan dan sedang mencoba untuk baik-baik saja