Artikel kali ini terinspirasi dari @swidianingrum, pemenang hari ke-12 #30HariTerimaKasih Challenge dari Hipwee. Hayo, sudahkah kamu berterima kasih hari ini?
Bumi selalu melipat siang dengan rapi. Dikatakannya pada matahari: petang sebentar lagi datang, maka tenggelamlah kau perlahan. Dan matahari pun menuruti. Seiring perginya ia, langit berubah jadi sayup-sayup jingga. Manusia menamakannya, “senja”.
Kau dan aku selalu menikmati pemandangan ini. Awalnya via atap bangunan kost-mu saja, yang harus kita “daki” dulu sambil berharap-harap agar tak jatuh — dan tak terlalu menimbulkan suara mengganggu saat kaki kita menginjak atap-atap merahnya. Namun ternyata, kita semakin sering duduk bersama hanya untuk menikmati senja. Hingga suatu hari, kita sepakat meluangkan waktu seminggu sekali. Demi berburu senja — dari tempat-tempat yang berbeda tiap minggunya.
Aku selalu menyukai perburuan itu. Tak seperti memburu hewan, saat memburu senja tak ada peluru yang perlu ditembakkan. Tak ada pula yang perlu mati untuk dibawa pulang. Cukup keindahan angkasa yang terekam dalam kenangan. Cukup kehangatan yang terasa setiap kali kau tersenyum dan tertawa.
“Jangan senyum,” katamu, mengambil kamera poket dari tas dan membidikkannya ke wajahku. Ada senja yang jingga sebagai latar belakangnya
“Tapi kalau aku mau senyum?” tanyaku. Aku tak biasa. Difoto sambil tak tersenyum? Seperti model-model di majalah saja.
“Pakai saja matamu untuk tersenyum.”
Dalam hitungan kurang dari tiga, jarimu menjepretkan kamera.
Kau menyengir puas, menunjukkan hasilnya. “Bagus ya?” katamu, lalu tertawa.
Mungkin saat itu aku sadar untuk pertama kalinya. Aku menginginkanmu bukan hanya sebagai teman menikmati senja hari. Namun juga teman menghabiskan hari senja — saat usia kita tua nanti.
Kita bukan anak kemarin sore yang baru kasmaran. Aku dan kau telah khatam melalui jalan yang berliku panjang
“Oh, lihatlah. Satu lagi anak manusia yang sedang berdoa — mau menghabiskan hari tua dengan anak lelaki yang sekarang ada di sampingnya.”
Kalau para malaikat di atas sana adalah kumpulan makhluk-makhluk sinis, mungkin itulah yang mereka pikirkan saat melihatku menengadahkan tangan dan melayangkan doa. Ketika aku mulai melafalkan asa, mungkin mereka akan memutar kedua bola mata. Satu lagi anak manusia, berdoa ingin menghabiskan masa tua dengan kekasihnya yang saat ini. Tidak adakah doa yang lebih penting?
Dengan hormat pada para malaikat: aku bukan cuma gadis kemarin sore yang sedang kasmaran dan lupa daratan. Aku dan dia pun bukan hanya dua anak muda yang baru saja menjalin kedekatan. Sebaliknya, kami berdua sudah kenyang makan asam garam yang hidup tawarkan. Bersamanya, aku telah mencicip setiap inci kebahagiaan. Sudah pula aku khatam meraba rasa sakit dengan tangan telanjang.
Intinya, Sayang, kau dan aku sudah melalui jalan yang berliku dan panjang. Itulah mengapa aku paham: hanya denganmulah, aku ingin meniti sisa perjalanan. Hingga kerut sudah tercetak jelas di pipi. Hingga kita berdua tua nanti.
Hubungan tak selalu harus penuh drama. Kita toh mampu bahagia dengan hal-hal yang sederhana saja — hal-hal seperti senja.
Hei,
Terima kasih telah memperkenalkanku pada kebahagiaan yang begitu sederhana. Yang bisa dinikmati hanya dengan memanjat atap rumah, berkendara 1/2 sampai 2 jam ke lepas pantai, naik sedikit ke puncak bukit, atau sekadar duduk di rumput dan mendongakkan kepala. Terima kasih telah memperkenalkanku pada cantiknya senja.
“Mengapa senja?”
Tanyaku dulu. Aku terheran-heran mengapa kau terlihat begitu memujanya. Mungkin karena golden hour, jawabmu. Waktu yang bagus untuk mengambil gambar di alam terbuka. Atau mungkin karena senja memang punya daya magisnya sendiri. Langit lembayung menggelayut, petang khusyuk yang diselimuti kabut.
Aku dan kau duduk bersisian, minum kopi hangat dan gorengan yang kita beli di perjalanan. Kita berdua di atas bukit — setengah jam perjalanan dari kota — bintang putih mulai berpijar di angkasa dan lampu kota berkelap-kelip di bawahnya. Ah, cukuplah sebuah perburuan senja seperti ini untuk membuatku bahagia. Kita tak butuh hubungan yang fantastis dan penuh pengorbanan dramatis. Aku berterima kasih, karena telah memperkenalkanku pada kebahagiaan dalam sebuah kesederhanaan.
Duduklah denganku, nikmati tiap detik yang kita punya. Suatu hari nanti, aku pun ingin ada senja di angkasa sana untuk anak-anak kita.
Duduklah di sini dengan tenang. Nikmati tiap detik yang kita punya sebelum kesibukan dan realita kembali menghadang. Tidakkah kau merasakan kehangatan yang sama dengan yang aku rasa sekarang?
Dan lihatlah betapa indahnya langit jingga yang dengan anggun menggelar singgasananya. Suatu hari nanti, aku ingin bisa ada setangkup senja untuk anak-anak kita. Agar keindahannya tak hanya berhenti di kita saja, namun juga bisa direcapi oleh mereka.
Kau tersenyum kembali. Betapa itu adalah senyuman yang selalu ingin kusaksikan lagi dan lagi.
Sayang, semoga kita bisa terus menikmati senja hari. Hingga hari senja kita nanti.