“Aku bahkan tidak tahu seperti apa rupa dirimu sekarang ini.
Masih adakah kumis yang tumbuh tipis di atas bibirmu?
Masih samakah potongan rambutmu seperti dulu?
Ah, indahnya masa itu,
Saat kita masih berseragam putih abu-abu dan nampak malu-malu.”
Hei, kamu, iya kamu, apa kabarmu sekarang?
Selepas kita menuntaskan pendidikan di bangku SMA, aku belum pernah lagi bersua denganmu. Aku bertanya-tanya di mana kamu berada dan bagaimana kabarmu saat ini, setelah kamu lulus dari bangku kuliah. Bukan rindu, hanya sekadar ingin tahu. Seberapa berbeda kamu yang sekarang dengan kamu yang dulu pernah membuat hatiku berdebar-debar. Apakah aku masih akan merasakan gejolak yang sama, ataukah aku hanya akan menertawakan kenangan dan kepolosanku saja?
“Masihkah kamu mempesona walau pipimu merah merona?
Dan apakah kamu sudah berhasil meraih mimpi seperti yang dulu pernah kamu cita-citakan, yang juga selalu kuamini diam-diam?”
ADVERTISEMENTS
Hei, mantan pacar pertamaku, masih ingatkah dulu waktu kita pertama kali bertemu, berkenalan, dan dengan mudahnya berkata kita saling memelihara rasa?
Apakah kamu ingat saat pertama kali kita berjumpa kemudian jatuh cinta? Ya, cinta yang tentu saja takarannya belum sedalam cinta yang sebenarnya. Waktu itu mungkin kita hanya sebatas suka dan memuja, dan dengan lugunya mengartikannya sebagai cinta. Di usia kita yang bahkan KTP saja belum punya, kita memang belum tahu apa makna cinta yang sesungguhnya. Yang kita tahu, irama debar jantung yang tak menentu saat kita berjumpa merupakan penanda sederhana bahwa kita mulai mengenal asmara.
Saat itu kita masih anak kelas satu yang lugu dan malu-malu. Kebetulan kelas kita berbeda. Aku anak kelas A di lantai dasar dan kamu anak kelas E di lantai dua. Namun, kita bergabung di organisasi sekolah yang sama. Ya, kita menggeluti OSIS dan bahkan bersedia repot-repot menjadi pengurusnya. Dengan alami, kisah kita berdua dimulai.
Waktu yang ada selalu kita habiskan dengan bercanda dan mengobrol, begitu polos kalau dipikirkan sekarang. Rasa debar yang kemudian muncul dan rona merah di pipi membuatku malu-malu diiringi dengan tingkahku yang sepertinya selalu terasa salah setiap ada kehadiranmu. Sepertinya kamu pun mengalami hal yang sama.
Karena di tanggal 14 Februari kamu menyatakan cinta dengan sebatang cokelat yang dibungkus dengan kertas merah jambu.
Begitu saja, begitu mudahnya, kita menjadi sepasang kekasih baru.
ADVERTISEMENTS
Aku juga masih ingat saat kita sama-sama dimabuk asmara. Aku dan kamu yang masih lugu pasti nampak lucu bagi orang-orang dewasa.
Duduk di bangku SMA bukan berarti kita telah dewasa, aku dan kamu masih sama-sama memasuki dunia baru. Kita masih lugu nan malu-malu. Gaya pacaran kita pun sama sekali berbeda dengan anak muda jaman sekarang. Yang hobi mengumbar ciuman dan bermesraan.
Bertukar cerita melalui gagang telepon ataupun saling mengirimkan pesan singkat melalui ponsel yang layarnya belum kaya warna adalah cara sederhana kita untuk bercengkerama dan menunjukkan rasa cinta. Membaca pesan yang berisi rentetan kata sayang dan penuh pujaan darimu sebelum berangkat tidur sudah kuanggap sebagai ciuman yang memabukkan.
Aku juga ingat dulu kita hanya berani sebatas menggenggam tangan. Yang kemudian tautannya akan mengurai ketika ada teman yang dengan isengnya meledek serta melontarkan candaan. Ah, ya, aku juga tak bisa lupa betapa rona wajah kita sama-sama memerah bak kepiting yang sedang direbus dalam belanga.
Pasti kita terlihat amat lucu. Sepasang muda mudi yang sedang dimabuk asmara namun terlalu malu dan tidak tahu harus berbuat apa.
ADVERTISEMENTS
Karena kita masih remaja dan belum dewasa, emosi dan ego lah yang selalu memenuhi udara. Akhirnya kita pun memutuskan untuk tak lagi bersama.
Jalinan asmara kita berjalan tidak terlalu lama, aku dan kamu hanya mampu merajut cerita sebatas tahun pertama kita di bangku SMA. Ya, hubungan kita memang hanya seumur bayi jagung. Aku dan kamu sama-sama belum dewasa, kita belum mampu mengolah perasaan yang berkecamuk di dalam dada.
Kita yang sama-sama malu tidak bisa saling melontarkan apa yang sebenarnya kita mau. Sehingga beradu pendapat tanpa tahu apa pangkal permasalahannya pun menjadi santapan harian. Ya, aku yang masih hijau belum mampu mengendalikan emosi dan amarah, kamu pun juga sama. Kamu yang masih lugu tidak bisa menerka apa yang aku mau.
Kita berargumen hebat hingga kata putuslah yang terlontar sebagai penanda hubungan kita yang sudah berbeda jalan. Kala itu belum ada Facebook maupun Twitter sehingga kita tidak bisa seenaknya menumpahkan perasaan ataupun mengganti status hubungan supaya dunia juga tahu. Sahabat kita masing-masing lah yang menjadi saksi dan dipaksa menjadi pendengar setia kisah kita yang telah usai. Ah, aku ingat saat itu aku menangis semalaman dengan ditemani karibku yang setia bermalam demi melipurku.
Esoknya, bisa ditebak kantung mataku membengkak dari ukuran normalnya. Ya, bahkan kantung mataku masih belum kembali ke ukurannya semula hingga hari lusa. Setelah hubungan kita usai, kita pun tak saling bertegur sapa dan menghindari untuk bersua.
Namun, curi-curi pandang ataupun sekedar ingin tahu kabar terbaru terkadang masih sering kita sempatkan di sisa hari kita di bangku SMA.
ADVERTISEMENTS
Terima kasih ya, kamu pernah mengisi hari-hariku di masa putih abu-abu. Dari kisah cinta yang seumur jagung itupun aku belajar banyak ilmu.
Selepas berpisah darimu banyak lelaki yang kemudian datang silih berganti mengisi sela hatiku. Terimakasih ku ucapkan kepadamu karena pernah menjadi yang pertama dan mengajarkanku apa makna cinta yang sebenarnya.
Ya, walaupun yang kujalani denganmu bukanlah cinta yang sebenar-benarnya, namun sekarang aku jadi lebih lihai membedakan mana cinta dan mana suka. Aku juga jadi kaya cerita untuk didongengkan kepada anak cucu kelak.
Sekali lagi terima kasih, karena kamu pernah ada untuk membuat masa mudaku terasa berwarna dan hatiku begitu berbunga.
Semoga hidupmu bahagia dimanapun kamu berada.
Dariku,
Mantan pertamamu di bangku SMA