“Dulu, Mama jadi satu-satunya yang kusebut sebagai orangtua. Lama kami hidup berdua, hingga kau datang dan menjadikan “kita” lengkap sebagai sebuah keluarga.
Engkau, orang yang tak kukenal sebelumnya. Kau yang kupanggil Ayah sekalipun aku sudah punya Papa.”
ADVERTISEMENTS
Untuk Ayah yang setiap akhir hari masih bisa kutemui, sengaja kutulis surat ini demi mengungkapkan isi hati
“Halo Ayah, sedang apa di sana?”
Awalnya aku sedikit ragu menulis surat ini. Pikirku, tak akan ada gunanya karena hampir setiap hari kita masih bisa bertemu. Meskipun Ayah selalu bangun dan pergi kerja lebih dulu, di akhir hari kita biasa ngobrol atau nonton TV bersama untuk sejenak membunuh waktu.
Tapi Ayah, sepertinya aku terlalu canggung jika harus bicara secara langsung. Perihal perasaan yang selama ini kupendam, mungkin lebih baik jika kucurahkan saja lewat tulisan. Menulis bisa jadi cara paling mudah demi menguraikan isi kepalaku, yang selama ini riuh mencerap kehadiran Ayah dalam hidupku.
“Sejenak ingatanku mengabur ke masa lalu. Ketika aku mengenal Ayah sebagai orang asing yang tiba-tiba muncul dalam hidupku.”
ADVERTISEMENTS
Kau datang di saat yang paling tepat. Kehadiranmu yang menggantikan sosok Papa menjadikan hidupku terasa lengkap
Ketika itu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang dewasa. Aku tak penasaran atau mencoba bertanya ketika ada pria yang sering terlihat bersama Mama. Bagiku, pertemuan pertama kita cukup berkesan. Kedatanganmu ke rumah kami pun jadi momen yang menyenangkan.
Aku ingat, kau dulu sering memberiku mainan. Sesekali membawakanku permen, es krim, hingga boneka yang sampai hari ini masih kusimpan. Di akhir pekan, kau pun dengan senang hati mengajak aku dan Mama pergi jalan-jalan. Kita biasa pergi ke pusat-pusat hiburan atau sengaja keliling kota berburu pasar malam.
Seiring waktu berjalan, banyak hal yang membuatku semakin nyaman. Aku mulai terbiasa berkunjung ke rumahmu. Bertemu wajah-wajah baru yang terlihat sumringah menyambut kehadiranku. Memanggil ibumu dengan sebutan nenek. Bermain dengan keponakan-keponakanmu, lalu ikut-ikutan mereka memanggilmu dengan sebutan “Om”.
“Aku lupa kapan tepatnya, kau dan Mama akhirnya menikah. Kata Ibu, aku harus mulai memanggilmu ‘Ayah’.
Anehnya, aku tak merasa keberatan. Tak ada rasa canggung atau enggan, setelah sekian kebaikan yang sudah kau berikan.”
ADVERTISEMENTS
Aku tak bisa membuktikan perkataan teman-temanku. Kata mereka, ayah itu galak dan kaku. Tapi aku tak melihat hal itu dalam dirimu
Temanku bilang, ayahnya adalah makhluk paling galak dan menyebalkan di rumah. Perkara lupa mengerjakan PR atau main hujan-hujanan bisa membuatnya kena marah habis-habisan. Ayahnya pun tak segan memberi hukuman; dilarang ke luar rumah, tidak boleh nonton TV, hingga tidak diberi uang saku.
Pikirku, apa iya seorang ayah bisa segalak itu? Kenapa aku tak merasakan hal yang sama dengan ayah baruku? Ayah bahkan hampir selalu mau menuruti permintaanku; beli sepeda baru, nonton atraksi lumba-lumba, atau saat aku minta izin pergi main ke rumah teman. Sama sekali tak ada ingatan bahwa Ayah pernah melarang atau memarahiku. Senakal apapun aku, hanya Ibu yang akan ringan mengomel atau mencubit lenganku – bukan ayahku.
“Apa karena aku bukan anak kandung Ayah, lalu Ayah tak mau memarahiku? Ayah tak peduli, atau takut ketegasan Ayah akan membuatku sakit hati?”
Entah harus cemburu dengan teman-temanku, atau justru bersyukur karena sikap itu. Bagiku, Ayah tetaplah seorang Ayah yang memang pantas aku hormati. Jika definisi Ayah atau Papa adalah orang tua laki-laki yang bertugas mencari nafkah dan melindungi keluarga, maka Ayah pantas jadi juaranya.
ADVERTISEMENTS
Tak ada yang berbeda saat adik kecilku lahir ke dunia. Bukannya mengabaikan, Ayah justru membagi perhatian dan kasih sayangnya jadi dua dengan porsi yang sama
Aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar ketika Ayah dan Mama memberiku hadiah seorang adik. Ya, aku bilang adik itu hadiah karena dulu aku memang begitu kesepian. Tanpa adik atau kakak, aku jadi sering main sendirian di rumah. Meskipun aku selalu jadi prioritas utama, ingin rasanya punya saudara yang bisa diajak bermain sepuasnya.
Ketika itu, aku masih terlalu kecil untuk mengenal kata “iri” atau “cemburu”. Sekalipun Mama selalu sibuk mengurus adik kecilku, aku tak pernah keberatan. Saat Mama mulai sering mengabaikanku, tak sedikit pun aku merasa marah atau kesal. Justru akulah yang akan menawarkan diri menjaga adik kecilku saat Mama sedang kerepotan di dapur. Aku yang akan merengek demi diizinkan menggendong atau menyuapi adik kecilku makan.
“Aku masih terlalu lugu. Tak pernah terbersit di kepalaku bahwa mungkin saja Mama hanya akan peduli pada adik kecilku. Jika aku harus beradu memenangkan perhatian Ayah, bukankah adikku yang pasti jadi pemenangnya?”
Aku bersyukur karena nyatanya tak ada yang berubah. Mama masih demikian peduli perkara hasil belajarku di sekolah. Mama juga masih rajin mengomel jika mainanku berantakan atau ketika aku malas-malasan disuruh makan dan tidur siang.
Sementara Ayah, tak sedikitpun aku merasakan sikap dan perilakunya berubah. Semua masih sama seperti dulu, Ayah masih sering menggendongku atau sesekali menyisir rambutku. Hanya saja, perhatian dan kasih sayang Ayah seperti terbagi dua, tapi dengan porsi yang sama.
ADVERTISEMENTS
Bagiku, Ayah adalah seorang pahlawan. Sosok orang tua yang selalu bisa diandalkan dan mengajariku tentang kebebasan menentukan pilihan
Ketika aku menjejak usia remaja, banyak hal yang berubah. Aku tak lagi sedekat dulu dengan Mama ataupun Ayah. Aku bukan gadis kecil yang asyik main di rumah sepulang sekolah. Aku kian sibuk dengan duniaku sendiri; ikut tambahan pelajaran, ikut ekstrakulikuler, hingga pergi main bersama teman-teman sepulang sekolah.
Di fase ini pula aku jadi lebih sering cekcok dengan Mama. Hasrat remaja membuatku tak lagi ringan bilang “iya” ketika Mama memberi perintah. Aku dan Mama sering sengit berdebat perkara ingin ambil ekstrakulikuler apa atau ikut tambahan les dimana.
“Di saat-saat seperti inilah, peran Ayah kian kentara. Ayah akan jadi pihak netral, pun tak keberatan membela jika aku memang ada di pihak yang benar. Ayah adalah pahlawanku, yang selalu bisa meredam emosi Mama saat jengah dengan ulahku.”
Hubunganku dengan Ayah sedikit berbeda. Meski tak lagi sering bicara, tapi diam-nya kita bukan lantaran ada masalah atau sesuatu yang mengganjal. Seperti saat kecil dulu, Ayah memang lebih memberi kebebasan untukku memilih atau mengutarakan keinginan. Berbeda dengan Mama, Ayah tak mau banyak melarang atau memaksaku menuruti kehendaknya.
ADVERTISEMENTS
Aku pernah merasa kecewa, mengingat Papa yang tak lunas menuntaskan kewajibannya. Tapi, kehadiran Ayah justru menjadikan hidupku lebih sempurna
Kadang, aku suka menghabiskan waktu untuk diam dan meremang. Merenungi kenyataan ketika Papa memang tak lunas memenuhi tanggung jawabnya. Ketidakhadiran Papa yang seringkali membuatku merasa berbeda dari teman-temanku lainnya. Mereka yang keluarganya masih utuh, yang bisa tinggal dengan Papa dan Mama kandungnya.
Tapi, kedewasaan menuntunku untuk ikhlas menerima. Dengan segala yang sudah aku punya, bukankah tak ada yang harus dirisaukan? Aku pun tak harus menyalahkan diri sendiri, Mama, atau keadaan yang membuatnya seperti sekarang? Bukankah ketidakhadiran Papa tak perlu dipermasalahkan ketika sudah ada Ayah yang bisa menggantikan?
Selain Mama, Ayah adalah manusia yang hampir layak disebut “sempurna”. Ayah yang telah merawat dan membesarkanku, sekalipun aku bukan anak kandungnya. Ayah pula yang mau berjuang demi bisa mewujudkan keinginanku, meskipun sebenarnya aku bukan tanggung jawabnya.
“Tuhan memang sutradara paling hebat. Di antara kemalangan yang kudapat, sengaja Dia kirimkan seseorang yang boleh kusebut sebagai malaikat penyelamat.”
Terima kasih Ayah, aku mungkin tak bisa lunas membayar semua kebaikanmu. Namun, izinkan aku merawat dan menjaga Ayah hingga di akhir usia
Sekalipun jutaan ucapan terima kasih aku kirimkan, kebaikan Ayah jelas tak sanggup aku bayar. Sejak aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak hingga sekarang sudah jadi sarjana, pendampingan Ayah tak sekalipun alpa. Kehadiran Ayah pula yang yang menjadikan pertumbuhanku lebih sempurna. Aku punya Mama yang hebat, pun seorang Ayah yang luar biasa.
Yang pasti, kebaikan Ayah tak akan kubayar dengan uang atau semacamnya. Jika prestasi dan pencapaianku saat ini sudah membuat Ayah bangga, aku pun bersyukur dan bahagia. Tapi, aku punya waktu seumur hidup untuk membalas jasa-jasa Ayah. Aku yang akan mengabdikan hidupku dan mengambil alih tugas-tugas Ayah dulu. Tak perlu merisaukan masa tua, karena ada aku yang siap merawat Ayah hingga kelak akhir usia.
“Keriput di wajah Ayah sepertinya kian kentara. Ayah tak lagi muda, jadi semoga tak makin keras kepala. Dan semoga Ayah mulai berhenti minum kopi yang banyak gulanya.”
Dari anak tirimu,
Yang berhutang jutaan kebaikan padamu