Aku ingin sekali mengucapkan terimakasih kepadamu yang telah mendampingi dan mencintaiku dengan hati penuh. Walaupun aku memiliki kekurangan di sana-sini, kau masih tetap menyayangi. Hingga kita diombang-ambingkan badai, kaupun kian tegar di sisi.
Tahukah kau hatiku selalu meremang tiap kali mengingat cerita kita berdua? Bibirku juga tak berhenti merapal kata syukur ketika menyadari betapa dirimu masih teguh mendampingi hingga detik ini? Ya, aku ingin sekali berterimakasih kepadamu yang tetap memiliki cinta dalam bentuk yang utuh.
“Meski mungkin sebenarnya, aku tak lagi pantas menerima cinta yang kau berikan padaku seperti tak ada habisnya…”
ADVERTISEMENTS
Kita pernah mengikat janji sehidup semati. Pendampinganmu membuatku merasa cukup – tak perlu selainnya lagi.
Kisah kita memang bukan cerita roman murahan dengan alur yang biasa terjadi seperti di layar kaca. Kisah kita sudah naik tahta dan beda dari biasanya. Aku dan kamu sudah saling mengenal lama. Tepatnya tiga tahun lalu kita mengucap janji untuk menjadi sepasang suami istri.
Kehidupan bahagia kita lalui dengan bergandengan. Rumah kecil kita rakit bersama hingga benar-benar nyaman. Bahkan, aku sudah siap berperan sebagai istri yang mengayomi dan kamu pun memainkan peran sebagai suami yang selalu melindungi.
Banyak yang menduga bahwa kisah kita berakhir bahagia dan sempurna. Namun, aku, kamu, dan mereka sama-sama belum tahu apa yang sebenarnya dimainkan Sang Sutradara.
ADVERTISEMENTS
Hidup terasa sempurna, hingga suatu ketika Sang Pencipta memberikan cobaan di luar perkiraan kita sebelumnya.
Pagi itu, aku masih terbangun dengan hati bahagia, seperti biasanya. Tak lupa untuk sejenak memandangimu yang masih bergelung di bawah selimut karena itu merupakan momen istimewa. Tidurmu lelap, tampangmu sangat lucu seperti bayi tanpa dosa. Kukecup dahimu pelan, enggan mengusikmu yang sedang tidur dengan tenang.
Aku beranjak mandi dan membuatkan sarapan kesukaan. Ya, sarapan kegemaranmu adalah telur dadar yang diisi dengan segala rupa sayuran. Kau memang suami pengertian, tidak pernah menuntut ini itu pada istrimu yang masih belum lihai membuat kudapan. Kau juga selalu menghadiahi sebuah kecupan tiap kali aku sedang memasak, tanda dukungan sekaligus ucapan selamat pagi.
Setelah menghabiskan sarapan, kita pun beranjak. Di depan pintu rumah kita berpisah. Kita memang menaiki bis dengan jalur berbeda untuk bisa sampai ke tempat kerja. Di sinilah semuanya berawal, setelah turun dari bis dan menyeberangi jalan menuju kantor, mendadak tubuhku limbung. Tidak, kepalaku tidak pening, namun ada sesuatu yang salah pada penglihatanku. Seperti ada yang mengurangi tingkat kecerahan di layar mataku.
Tanpa berpikir panjang aku bergegas memeriksakan kesehatan mataku ke dokter. Hatiku seperti melonjak keluar dari tempatnya ketika dokter mengatakan apa penyakitku. Penyakit yang bahkan namanya tak bisa kueja dengan benar karena terlalu panjang itu akan mengakibatkan kebutaan total pada kedua mataku.
Ya, pijakanku runtuh, duniaku tersedot ke dalam lubang hitam dan kehilangan porosnya saat itu juga.
ADVERTISEMENTS
Terlintas dipikiranku untuk lebih baik pergi dari kehidupanmu. Aku merasa tak lagi layak jika harus bersanding di sisimu.
Lidahku kelu, aku tak bisa mengucapkan sepatah kata saat kau melontarkan pertanyaan ada apa dengan nada cemas. Aku berulang kali ingin mundur teratur dari kisah kita. Ya, aku merasa tak layak mendampingimu lagi. Kisah kita tak akan lagi sama seperti sedia kala. Porsi kita menjadi beda, aku yang akan lebih banyak membutuhkan dan merepotkan.
Aku ingin dirimu bertemu wanita sempurna yang tentu akan membuatmu lebih bahagia. Apa yang bisa kau harapkan dariku? Aku bukan lagi istri sempurna yang bisa dengan mudah menghidangkan sarapan hingga makan malam. Aku akan selalu membutuhkan kesediaanmu untuk membantuku. Menggantungkan hidupku sepenuhnya kepadamu. Membuat bebanmu dua kali lebih berat dari yang sudah-sudah. Bahkan untuk menatap parasmu saja aku tak lagi mampu.
Namun, kau bergeming. Kau lebih memilih memiliki istri tak sempurna sepertiku.
ADVERTISEMENTS
Aku tak pernah meminta atau bahkan sekadar mengira. Aku bersyukur ketika menyadari kau punya cinta yang begitu besarnya.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku sudah kehilangan kemampuan melihatku, aku pun menjadi pribadi yang sedikit berbeda. Aku lebih senang murung, menutup diri, dan gemar menangis sendirian. Kamu lah yang selama ini berusaha kuat dan tegar di sampingku. Kita memang kemudian tidak berpisah. Kau begitu keras kepala untuk tetap menjadi suamiku. Kuiyakan kemauanmu dengan satu syarat bahwa kau tetap akan memperlakukanku seperti manusia normal lainnya.
Aku akan tetap membuatkanmu sarapan telur sayuran dan aku tetap akan tetap meniti rute ke kantor seorang diri. Ya, aku sudah memutuskan untuk tidak merepotkanmu dan akan menjalani hari seperti biasanya. Kaupun menyetujuinya asal aku tetap menjadi istrimu karena kau bertutur bahwa kau begitu mencintaiku.
Bertahun-tahun kita lalui hari seperti biasanya, tak ada yang berubah juga pada kebiasaan kita. Sampai suatu ketika, Pak Sopir yang bisnya selalu kutumpangi berkata betapa beruntungnya aku, karena aku memiliki malaikat penjaga. Ada pria yang selalu mengikuti dan berjaga di belakangku. Ya, dia yang akan menghentikan laju kendaraan saat diriku akan menyebrang jalan. Dia juga yang akan mengawasiku selama di dalam bis supaya tak ada penumpang iseng yang akan mencuri dompetku. Bahkan, ia mengantarku hingga aku masuk ke dalam gedung kantor.
Tahukah kau bagaimana perasaanku mendengar tuturnya? Rasa haru, sedih, cinta bercampur menjadi satu dan menghimpit dadaku. Sekarang semuanya terasa masuk akal bagiku. Pantas saja aku selalu bisa pulang pergi dari tempat kerja dengan utuh. Bahkan, saat aku memasak dan tak bisa menemukan bumbu yang kubutuhkan, pasti kau yang akan menyorongkannya ke jangkauanku, supaya tergapai tanganku.
Betapa bodoh dan egoisnya aku. Mengira diriku kuat dan sanggup menjalani segalanya seorang diri. Aku juga tidak menyadari bahwa cintamu padaku sangat besar takarannya.
Terimakasih priaku, sudah begitu mencintaiku dengan segala kekuranganku. Cintamu tidak sebatas pada kata-kata yang kau tuturkan, kau juga menunjukkannya. Kau menjagaku di saat terpurukku, kau benar-benar mengamalkan janji suci yang pernah kita ucapkan di hari bahagia kita berdua.
Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu yang sudah mencintaiku dengan hati penuh.