Artikel ini terinspirasi oleh pemenang hari ke-17 #30HariTerimaKasih Challenge, @hanihandaaa. Hayo, sudahkah kamu bersyukur hari ini?
“Hei… kamu masih ingat aku nggak?”
Sebuah suara menyapaku dari belakang. Aku terkesiap, perlu berpikir sebentar sebelum menyadari siapa yang tadi memanggilku dan telah berdiri di depanku sekarang.
“Mbak Ratih?”
Wanita di depanku tersenyum cengengesan. Ia menjulurkan tangan ingin menyalim, namun aku bergerak memeluknya. Sudah lama kami tak bersua — mungkin genap dua tahun lamanya. Ia tampak lebih berisi, dan lebih bahagia. Mungkin sudah menikah dan berkeluarga.
“Hehe… Dari tadi aku panggil-panggil, kamu nggak denger. Kirain udah lupa sama aku.”
Ah, Mbak Ratih. Kakak kost yang dulu pernah membantu merapikan kamarku dan memapahku ke kamar mandi, saat aku jatuh sakit dan belum sempat dijenguk keluargaku. Kakak kost yang pernah meminjamiku uang darurat saat dompetku hilang karena kecopetan di bus perkotaan. Orang yang rela meminjamkan laptopnya padaku untuk sementara, saat komputerku mendadak rusak sementara deadline penyerahan skripsi sudah menanti.
Mana mungkin aku bisa lupa padanya, pada teman-teman kost yang jadi keluarga pengganti bagiku di masa rantau dulu?
ADVERTISEMENTS
Kami tinggal satu atap, di kamar petak sederhana. Aku beruntung — menemukan keluarga kedua di hati mereka
Kehidupan sebagai anak kost tak melulu menyenangkan. Jauh dari keluarga, uang kiriman dari rumah tak selalu bisa menutupi pengeluaran hingga akhir bulan. Apalagi jika ditimpa musibah kecil seperti sakit atau kecopetan. Di sinilah, peran keluarga kedua begitu diperlukan.
Aku beruntung menemukan keluarga kedua itu di hati teman-teman satu kostku. Tak hanya rela meminjamkan barang-barang atau sedikit uang saat aku benar-benar membutuhkannya. Mereka juga menjadi teman belajar dan begadang, kawan berbelanja dan berburu kebutuhan. Kami saling curhat dan mendengarkan keluhan, sambil memasang masker atau bermain game semalaman. Di tengah-tengah liburan semester, kami pun sempat bermain bersama di kampung halaman salah satu anak kost yang terkenal indahnya.
Banyak teman kuliahku yang kurang beruntung. Mereka tinggal di kost yang bisa dibilang cuek; nama tetangganya saja masih misteri bagi mereka. Berbeda denganku. Bukan hanya nama dan jurusan mereka saja yang aku tahu, namun juga ketulusan mereka untuk membantu. Di tengah kekosongan yang kurasa karena harus berpisah dari keluarga, mereka rela mengambil peran sebagai saudara.
ADVERTISEMENTS
Tak ada hari tanpa bercanda dan berbagi. Makan di warung tenda, melempar tepung untuk kejutan ulang tahun, sampai karaoke dan cari jodoh — semua dilakoni
Bermain dengan anak-anak kost seperti kembali menyelami indahnya masa kecil. Meski di perantauan kita dituntut bertanggung jawab dan dewasa, tak ada hari yang terlewati di rumah kost kita tanpa cerita lucu dan canda. Berbagai hal sederhana jadi terasa istimewa hanya karena kita melakukannya bersama.
Karaoke lagu dangdut sampai malu sendiri, makan di warung tenda sampai seluruh pengunjung warung memperhatikan kita yang sejak tadi ribut dan tertawa, menyiapkan kejutan ulang tahun sampai 2-3 malam sebelumnya: siapa lagi yang bisa mengajakmu melakukan ini selain anak kost, keluarga di tanah rantau? Dengan mereka, hal sehari-hari pun bisa terus diingat sampai waktu-waktu berikutnya. Sampai ke tahapan hidup yang lebih dewasa.
ADVERTISEMENTS
Tiap perpisahan di rumah itu selalu menimbulkan rasa haru. Aku tak akan lupa saat akhirnya tiba giliranku.
Sejak dulu, aku memang selalu bercita-cita lulus cepat. Bukan karena gengsi, namun sesederhana tak ingin merepotkan orangtua lama-lama. Keinginanku itu pun terwujud setelah perjuangan menuntaskan tugas akhir berbulan-bulan lamanya. Akhirnya, aku akan diwisuda.
Aku tahu itulah akhir tempat tinggalku di rumah kost itu. Mata beberapa anak berkaca-kaca ketika aku mengumumkannya. Ada rasa bahagia karena akhirnya “anak ini wisuda juga”. Namun, ada rasa kehilangan karena si anak tentu akan pergi dari rumah itu untuk selamanya.
Semalaman kami berkumpul di kamarku. Ada yang menangis karena perpisahan di rumah itu selalu menimbulkan rasa haru. Mbak Ratih, yang masih harus meneruskan pendidikan profesinya dan masih tinggal di kamarnya yang lama, memelukku erat-erat. Ia berkata, “Jangan lupa dengan kami, ya.”
Dan kini secara kebetulan aku bertemu dengannya lagi. Kukembalikan pelukan yang pernah ia berikan padaku dua tahun lalu, kuoleskan senyum dan kukatakan dengan jujur: aku rindu.
“Ah, Mbak. Mana mungkin aku lupa pada anggota keluarga sendiri?”