Bagiku, jatuh cinta itu perkara sederhana. Kita hanya harus duduk berdua, beradu mata, dan bicara tentang apa saja. Aku mengagumi hidungmu yang mancung berlebihan, kebiasaanmu menggaruk rambut yang tak gatal, hingga gaya bicaramu yang ceplas-ceplos dan membuat pertemuan kita selalu berkesan.
Namun, berdampingan denganmu ternyata membuatku belajar banyak hal baru, salah satunya perihal cinta yang aku punya untukmu. Darimu aku tahu, bahwa jatuh cinta dan benar-benar mencintai adalah 2 hal yang jauh berbeda. Bersamamu aku mengerti bahwa cinta hanya akan sia-sia jika kita tak punya niat dan usaha untuk menghidupinya.
“Orang yang memang ingin tinggal dalam hidup kita, akan selalu mencari cara untuk mengamankan tempat mereka.”
ADVERTISEMENTS
Jatuh cinta itu biasa saja. Dengan mudah, aku dan kamu saling tergila-gila dengan pertemuan yang hanya sekejap mata
Aku paling suka mencerapi kenangan. Mengingat betapa dulu kita tak sedikitpun berusaha jual mahal untuk bertukar nomor telepon dan merencanakan pertemuan. Semua terjadi begitu cepat, mengalir apa adanya tanpa harus dibuat-buat. Hanya butuh waktu satu bulan masa pendekatan, sebelum kita akhirnya sepakat untuk jadian dan resmi pacaran.
Cinta memang berhasil membuat kita “mabuk”. Rasanya, tak ada hari tanpa keinginanku mendengar kabarmu. Seperti aku, kamu pun akan berusaha mencuri-curi waktu di antara padatnya rutinitas pekerjaan demi kita bisa bertemu. Ya, ingatan tentang momen perkenalan, masa pendekatan, hingga cerita di awal pacaran memang jadi yang paling membahagiakan.
ADVERTISEMENTS
Aku dan kamu jadi pasangan paling jemawa. Kita lupa pada jalan panjang sarat ketidakpastian yang akan menguji kadar cinta kita
Kita tak sedikitpun merasa kesulitan untuk beradaptasi. Sekalipun awalnya kita adalah 2 orang yang tak saling kenal, kita bisa “nyambung” lantaran punya banyak kesamaan. Soal musik, film, cita-cita, prinsip hidup; berbagai hal yang kadang membuat kita jemawa – merasa jadi pasangan paling cocok sedunia.
Dulu, kita seperti hidup di dunia fantasi. Aku adalah putri cantik dan kamu pangeran berkuda nan tampan. Kelak kita akan menikah, punya banyak anak, dan hidup bahagia selamanya. Tapi, harapan seringkali berseberangan dengan realita. Kita lupa bahwa pacaran itu justru seperti berjalan melewati sebuah lorong gelap. Kita “dipaksa” awam dengan berbagai ketidakpastian yang akan menguji seberapa kuat cinta kita.
ADVERTISEMENTS
Kita pernah menghamba pada emosi yang menjadikan kehidupan seperti candu, tak terkendali dan menggebu-gebu
Cinta yang meluap-luap seringkali membuat kita tak terkendali. Dalam segala hal, kita akan selalu mengedepankan soal perasaan dan emosi. Saat seharian kamu tak memberi kabar, rasa kesal dan cemas yang bercampur membuat pekerjaan dan tugas-tugasku berantakan. Alih-alih fokus, aku hanya akan sibuk merapal pertanyaan;
“Dia sedang apa, ya? Lagi dimana dan sama siapa? Kenapa nggak kasih kabar? Jangan-jangan sakit, atau malah sibuk main sama teman-temannya? Apa mungkin dia lupa sama aku?”
Perasaan bisa dengan hebat mengendalikan diriku. Aku merasa insecure dan takut kehilangan kamu. Di titik inilah aku merasa bahwa cinta yang begitu besar dan tak terkendali adalah bencana. Sebentar saja kamu hilang dari “radarku”, aku merasa jadi orang paling malang sedunia.
ADVERTISEMENTS
Hubungan cinta tak bisa dijalani dengan “buta”. Kita perlu mengandalkan logika agar semuanya tetap baik-baik saja
Bergumul dengan perasaan “takut kehilangan” akhirnya membuatku kelelahan. Saat aku menuntut penjelasan perihal kealpaan memberi kabar, toh kamu selalu punya alasan-alasan yang memang masuk akal. Kamu sibuk menyelesaikan pekerjaan, sedang ada rapat seharian, atau bertemu klien hingga tak sempat menyentuh ponselmu.
Aku kesal padamu, pun dengan diriku sendiri. Kenapa aku tak bisa mengendalikan perasaan dan emosiku sendiri. Bukankah seharusnya logika dilibatkan ketika cinta yang dalam malah membuat hidupku berantakan? Toh sekadar lupa memberi kabar bukan berarti kamu tak mencintaiku lagi ‘kan? Jika alasannya sibuk dengan pekerjaan, apakah kelalaianmu pantas membuat cintaku berkurang atau bahkan hilang?
ADVERTISEMENTS
Aku dan kamu harus berjuang, karena cinta hanya akan sia-sia jika kita tak punya niat ingin bertahan
Seiring waktu berjalan, aku pun mengenalmu lebih dalam. Layaknya manusia normal, kamu tak luput cela dan punya kekurangan. Di awal pacaran, aku tak tahu kebiasaanmu yang malas keramas dan paling enggan mengganti kaos kaki hingga berbulan-bulan. Ketika beban pekerjaan semakin menyiksa, kamu bisa berubah jadi orang paling menyebalkan dan cenderung kasar.
Namun, setelah tahu kekurangan-kekurangan yang kamu punya, apa aku pantas meninggalkanmu begitu saja? Aku jelas tak bisa gegabah memutuskan. Kalimat “aku cinta kamu” yang biasa aku kirimkan setidaknya 2 kali sehari untukmu hanya akan terdengar bak omong kosong. Bukankah cinta itu berarti menerima, dan kekuranganmu tak sepatutnya membuatku buru-buru mencari cinta yang lainnya?
Dan dalam usaha untuk bertahan inilah, aku tahu kita benar-benar saling mencinta
ADVERTISEMENTS
Tekadmu sekuat baja, aku pun tak putus-putus berusaha. Kita pantas berbangga ketika bisa melewatkan tahun demi tahun bersama
Mustahil jika hubungan kita akan selamanya baik-baik saja. Buktinya, kebiasaan malas keramas saja sudah membuatku bergidik. Sikapmu yang kadang kasar, cenderung cuek, hingga perkara keluargamu yang seperti tak begitu senang dengan kehadiranku.
Di titik ini, cinta yang besar dan perasaan yang dalam justru jadi motivasi. Semakin banyak perbedaan yang muncul membuat kita semakin terbiasa berkompromi. Sikap dan karakter yang kian kentara bertolak belakang menjadikan kita belajar tentang penerimaan. Kamu tentu setuju denganku, bahwa setiap masalah yang datang pasti bisa kita selesaikan selama mau berusaha mencari jalan keluar.
“Saat usaha tak putus-putus dicurahkan, berapa lama kita pacaran akan jadi kebanggaan. Hitungan bulan atau tahun yang terlewati adalah prestasi, bukti bahwa kadar cinta kita sudah teruji.”
Saat hubungan kita tak sehangat dulu lagi, genggam tanganku dan mari mengulang kenangan yang pernah kita miliki
Bohong jika cinta yang kita rasakan dulu dan sekarang sama saja. Cinta kita hidup dan dia akan terus berevolusi. Cinta yang dulu meluap-luap tak terkendali kini lebih stabil. Dia tidak berkurang, tapi berubah jadi lebih menenangkan.
Namun, ada kalanya rasa itu bisa sekejap hilang dan hubungan yang dijalani terasa hambar. Waktu pacaran yang lama menjadikan ungkapan cinta lewat kata-kata semakin langka. Aku dan kamu sibuk dengan hal-hal lain dan hubungan kita bukan lagi prioritas utama.
Meskipun kondisi ini sangat wajar, toh kita tidak diam dan menerimanya begitu saja. Di fase ini, aku mengingatkan diriku agar lebih keras berusaha daripada biasanya. Mencoba mengulang kebiasaan-kebiasaan yang dulu, saat aku dan kamu sedang hangat-hangatnya. Aku tahu, kamu pun akan melakukan hal yang sama demi mempertahankan “kita”.
Cinta akan selalu memberi kita dua pilihan; bertahan demi menghidupi rasa itu, atau membiarkannya sekejap datang dan berlalu?
Jatuh cinta dan benar-benar mencintai adalah 2 hal yang berbeda. Cinta yang meluap-luap tak terkendali dan cinta yang stabil tapi lebih menenangkan pun tak sama. Kita beruntung lantaran pernah merasakan keduanya-duanya. Perjalanan panjang yang sudah dilewati bersama pun patut membuat kita berbangga.
Kebersamaan kita adalah bukti bahwa cinta nyatanya punya kekuatan tersendiri. Selama ini, kita mau belajar untuk saling mengerti. Menjadikan pengalaman di masa lalu sebagai pelajaran agar hubungan yang dijalani bisa terus bertahan. Yang pasti, cinta kita akan selalu punya dua pilihan; apakah mau sama-sama berusaha menghidupi rasa itu, atau justru membiarkannya sekejap datang dan berlalu?
Cinta adalah anugerah yang pantas kita syukuri datangnya, entah itu sekadar jatuh cinta atau benar-benar mencintai. Saat aku sudah menemukanmu yang menurutku paling sempurna, satu-satunya yang akan aku lakukan adalah berjuang demi “kita”.