Banyak orang bertanya perihal apa yang terjadi dengan “kita”. Aku, kamu, dan dia yang biasanya terlihat bersama, kini tak lagi sering muncul bertiga.
Meski harus melihat wajah-wajah mereka yang tak puas, setidaknya jawaban-jawaban klise seperti “lagi pada sibuk sama tugas kuliah” atau “lagi vakum aja sih” setidaknya bisa menyelamatkanku. Tapi asal kalian tahu, sungguh sebenarnya aku juga ingin berbagi tentang kegundahanku.
ADVERTISEMENTS
Dulu, kalian pernah jadi bagian penting dalam hidupku. Bersama kalian, aku merasa menemukan keluarga baru.
Bukan seperti ayah atau ibu yang dipilihkan Tuhan untuk jadi keluargaku, kalian adalah keluarga yang kupilih sendiri. Tanpa perlu tahu soal asal-usul atau bahkan golongan darah, aku menemukan kalian karena hati sudah merasa nyaman.
Ya, berawal dari pertemuan di hari pertama perkuliahan, kita menjalin persahabatan yang menyenangkan. Kita biasa berangkat kuliah sama-sama dan hampir pasti duduk di barisan paling depan bertiga. Waktu sepulang kuliah akan kita habiskan untuk mengerjakan tugas atau sekadar nongkrong sambil mengobrol tentang apa saja.
“Kehidupan sedang berdamai denganku. Aku bersyukur menemukan kalian sebagai keluarga baru.”
ADVERTISEMENTS
Kita biasa melakukan hal-hal gila. Susah dan senang pun tak pernah alpa kita nikmati bersama.
Wajar jika manusia harus melewati naik turunnya kehidupan. Ada kalanya bisa senang-senang, tapi tak jarang pula harus sejenak tenggelam dalam kesusahan. Namun, batasan susah dan senang justru terasa kabur ketika aku menjalaninya bersama kalian – sahabat yang selalu bisa aku andalkan.
Jangankan soal nilai-nilai di akhir semester yang jeblok, perkara uang jajan yang habis sebelum akhir bulan pun pasti kita bicarakan. Jika aku yang sedang kekurangan, kalian tak akan segan berbagi apa saja yang kalian milik. Sama halnya ketika kamu atau dia tengah ditimpa masalah, aku pula yang akan menyediakan diriku sebagai tempat curahan keluh kesah.
ADVERTISEMENTS
Semua baik-baik saja, hingga di satu titik aku merasa ada yang berbeda. Sikap kalian yang mulai tak biasa membuatku meremang dan bertanya-tanya.
“Pria dan wanita itu mustahil bisa bersahabat.”
Aku adalah orang yang akan dengan lantang menentang pernyataan itu. Berkali-kali sudah kubuktikan bahwa persahabatan pria dan wanita bukan sesuatu yang mustahil. Jangan dikira kedekatan dua orang yang berbeda gender pasti akan berakhir dengan hubungan cinta.
Sama halnya yang terjadi pada kita. Aku, kamu, dan dia – dua wanita dan satu pria buktinya bisa berteman hingga sedemikian dekatnya. Tanpa ada perasaan suka yang berlebihan, tanpa melibatkan kasih sayang yang lazimnya diberikan pada pasangan. Ya, aku memang bisa berpikir demikian, tapi mungkin tidak bagi kalian.
ADVERTISEMENTS
Memang tak ada yang salah jika dua orang saling jatuh cinta. Tapi tolong, jangan memaksaku membenci kalian yang sering berpura-pura.
Aku bukan Tuhan yang punya kuasa mengendalikan perasaan manusia. Cinta juga bukan sesuatu yang harus dirutuki, tapi justru disambut dengan bahagia. Dan jika akhirnya kalian saling jatuh cinta, aku percaya ada kebaikan di sana. Aku yakin kalian sudah cukup dewasa menjalani cinta yang bukan sekadar tergila-gila.
Namun, satu hal yang seharusnya kalian mengerti. Aku adalah orang yang paling benci dibohongi dan bagiku kejujuran akan selalu berada di level tertinggi. Ketika kalian berdua mulai sama-sama mangkir dari jadwal-jadwal pertemuan kita, jujur aku kecewa. Tapi lebih dari itu, aku benci ketika ternyata kalian membohongiku hanya demi bisa pergi berdua saja.
“Kenapa kalian tak mau jujur soal perasaan? Kenapa tega membohongiku dan bermain di belakang?”
ADVERTISEMENTS
Anehnya, kalian justru memilih pergi. Menjauh dari sahabat sendiri dan bersikap seakan cinta adalah hal yang haram diakui.
Ibarat sebuah perang, aku sudah kalah habis-habisan. Tak cukup dengan dibohongi, lambat laun aku pula yang justru ditinggal pergi. Mati-matian aku berusaha mengajak kalian bicara. Duduk di satu meja, memesan 3 cangkir kopi kesukaan kita, lalu bicara soal rasa di antara kalian berdua.
Ingin kujelaskan pula bahwa aku baik-baik saja bahkan turut berbahagia jika ternyata kalian mantap menjalin hubungan cinta. Harapanku semoga kita masih bisa menjaga persahabatan ini selamanya. Meski ada yang berubah, semoga hal itu tak lantas jadi sumber masalah. Sayangnya, itikad baik itu hanya ada dalam kepalaku. Perlahan kalian memilih pergi, meninggalkan seorang sahabat demi cinta yang sekarang sedang dinikmati.
ADVERTISEMENTS
Ah sudahlah, kepergian kalian sudah cukup kutangisi. Di titik ini aku mengerti bahwa sedangkal itu kalian mengartikan tentang sahabat sejati.
Kalian mungkin tak pernah tahu betapa kehilangan dua sahabat membuatku kelimpungan. Rasanya bahkan 2 kali lipat lebih perih daripada dicampakkan pasangan. Aku tak lagi punya kawan-kawan yang bisa diajak berbagi cerita atau melakukan hal-hal gila bersama. Aku terpaksa menikmati kesendirian yang semakin menyakitkan ketika teringat tentang kalian.
Tapi, harus sampai kapan aku tenggelam dalam kesedihan macam ini? Toh, kalian yang di sana juga belum tentu ikut merasai. Bisa jadi kamu dan dia justru sedang bahagia-bahagianya menjalani kehidupan yang baru. Jadi, kuputuskan untuk berhenti merutuki apa yang sudah terjadi. Bagiku kalian adalah mantan sahabat yang kepergiannya tak perlu lagi aku sesalkan.
Aku sudah bisa berlapang dada. Jika menurut kalian menjauh adalah keputusan terbaik, silakan saja dan semoga kalian berbahagia.
Selesai dengan pergulatan batinku sendiri, aku pun memilih ikhlas dan berlapang hati. Setidaknya, selama ini aku sudah berusaha untuk menyelamatkan persahabatan kita yang bagiku sangat berharga. Tak apa pula jika kalian nyatanya punya pendapat yang berbeda.
Meski sempat kecewa, aku hargai keputusan kalian yang memilih menjauh dariku lalu pergi berdua. Aku akan tetap baik-baik saja meski tanpa sungguh-sungguh kusayangi sebelumnya. Sekali lagi, silakan lakukan apa yang disuka dan semoga kalian berbahagia.