Dilahirkan sebagai saudara, kira-kira sudah seperempat abad kita tinggal satu atap bersama. Kamu mungkin sering cemburu denganku, tapi aku tidak keberatan karena cemburumu terdengar sangat wajar. Karena setelah aku dilahirkan, ibu memang tidak lagi penuh memberimu perhatian.
Pagi hari saat akan berangkat sekolah, kamu mengenakan seragam dan menyantap sarapan tanpa pendampingan ibu. Ibu memang sudah cukup kerepotan; memandikan, menyuapi makan, hingga menurutiku yang tidak mau lepas dari gendongan. Sesekali kamu pun harus rela mengorbankan waktu bermain demi menjagaku dan menuruti perintah ibu.
Kini kita sudah sama-sama dewasa. Aku dan kamu tumbuh jadi dua perempuan dengan sifat dan karakter yang berbeda. Aku jarang bicara, sedangkan kamu paling suka mengobrol atau bercerita. Model baju, aliran musik, buku bacaan favorit; selera kita ibarat bumi dan langit. Tapi dibalik segala perbedaan dan perselisihan, bukankah kita tetap sepasang saudara? Tidakkah kamu juga seperti aku, yang menyimpan rasa sayang dan cinta tapi enggan mengungkapkannya?
ADVERTISEMENTS
Aku dan kamu punya karakter yang jauh berbeda. Entah berapa kali kita pernah bertengkar dan saling mencela
Dilahirkan dari rahim yang sama bukan berarti “haram” jika kita berbeda. Sejak kecil hingga dewasa, kita justru jarang punya kesukaan yang senada. Suara gaduh biasa terdengar di Minggu pagi ketika aku dan kamu berebut remote TV.
Dari kamarmu, lirih terdengar lagu-lagu boyband 90-an. Sementara, suara musik rock yang sengaja kusetel dengan volume tinggi terasa menggetarkan seisi rumah. Dan tak berapa lama kita akan ribut perkara siapa yang harus mengalah dan mematikan musiknya.
Saat terjadi “gencatan senjata” lantaran salah satu dari kita butuh teman belanja, akhir cerita kebersamaan kita pun tidak selalu sama. Kadang, kita pulang ke rumah sambil asyik mengobrol soal diskon dan baju murah. Tapi tak jarang kita justru menjejak rumah dengan bisu sambil saling membuang muka lantaran bertengkar sepanjang jalan pulang.
“Kau paling suka bicara, tapi saat kesal dengan adikmu malah diam seribu bahasa. Sikapku memang kadang menyebalkan, tapi diam-mu lebih sering membuatku kebingungan.”
ADVERTISEMENTS
Setelah aku lahir, perhatian ibu lebih banyak tercurah untukku. Wajar jika kamu menyimpan rasa cemburu dan selalu ingin menindasku
Sebagai adik, aku terdidik untuk mencontohmu. Menjadikan kamu sebagai role model sesuai anjuran ayah, ibu, dan kebanyakan orang di sekitarku. Aku pun diajarkan mematuhi perintah dan nasihat-nasihat darimu. Mereka biasa berkata,
“Dik, contoh kakakmu. Dia itu pintar, rajin, dan bisa mandiri. Kamu harus nurut kalau dinasihati kakakmu.”
Aku akan mengangguk setuju, tapi sejenak ingatanku melayang ke masa lalu. Merasa jadi kakak yang lahir lebih dulu, bukankah ketika itu kamu sering menindasku? Selain menguasai mainan-mainan yang ada di rumah, kamu paling sering menyuruhku pergi ke warung atau sekadar menyelesaikan tugas-tugas di rumah.
Adikmu yang masih kecil dan lugu pasti akan menurut layaknya prajurit mendengar titah ratu. Tapi seiring bertambahnya usia, aku mulai merasa diriku dimanfaatkan. Aku berpikir, apakah sebagai kakak kamu tidak punya rasa kasihan? Kenapa saat ibu menyuruhmu mengerjakan sesuatu, kamu bisa ringan melimpahkan tugasmu padaku?
Saat sedang sendiri, seringkali aku merenungi sikapmu. Apa mungkin rasa cemburu di masa lalu yang jadi alasannya? Mungkinkah kamu belum rela jika mengingat dulu ibu sering mengabaikanmu karena aku? Lupakan, Kak. Ketika itu kita hanya masih terlalu muda untuk mengerti bagaimana seharusnya berlaku sebagai sepasang saudara.
ADVERTISEMENTS
Tapi sehebat apapun kita berseteru, toh kamu tetaplah seorang kakak yang jadi andalan ibu saat dia butuh bantuan orang lain untuk menjagaku
Entah seberapa sering kita berdebat, ingatanku masih cukup kuat mengenang betapa dulu kamu menjaga adik kecilmu dengan hebat. Setiap pulang sekolah, kamu akan menemaniku bermain boneka ketika ibu tengah sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Setelahnya, sengaja kamu membacakan cerita agar aku lelap dengan tidak sengaja.
Di lain hari ketika bosan main di dalam rumah, kita akan menuju halaman belakang dan menjajal banyak hal. Kita bisa asyik main tanah, pura-pura membangun rumah dengan segala isinya. Kadang, kita pun berganti peran jadi penjual dan pembeli. Berbekal daun-daun yang seakan jadi bahan makanan, kamu berlaku layaknya penjual di restoran dan aku jadi pembelinya.
Aku juga ingat ketika kita pernah menyelinap keluar rumah saat hari sedang hujan. Tanpa sepengetahuan ibu, di bawah guyuran hujan kita malah asyik main kejar-kejaran. Lucunya, aku dan kamu tidak sadar bahwa baju yang basah akan membuat kita ketahuan dan dimarahi ibu.
“Masa kecilku memang cukup indah untuk dikenang, dan kamulah yang jadi bagian paling tak terlupakan.”
ADVERTISEMENTS
Di titik terendah dalam hidupku, kamu bisa jadi sahabat tempatku berbagi keluh kesah dan kegalauan yang membuncah
Setelah remaja, hubungan kita pun menjejak fase yang berbeda. Kita tidak lagi sering main boneka bersama atau kejar-kejaran di halaman belakang rumah. Justru kebersamaan kita terasa sangat minim. Aku cukup sibuk dengan tugas-tugas sekolah, sedangkan kamu rajin ikut bimbingan belajar dan berbagai les tambahan.
Di antara minimnya kebersamaan, ada kalanya kita akan duduk berdua dan serius bicara. Ya, kamu adalah tempatku berbagi keluh kesah. Orang yang aku percaya akan membantuku memecahkan masalah. Saat aku terlalu takut menunjukkan hasil ulanganku pada ibu, ketika beberapa mata pelajaran membuatku kelimpungan, atau tentang rasa suka pada seorang teman sekelas yang kusimpan diam-diam.
“Kamu bisa jadi saudara sekaligus sahabat terbaikku. Padamulah kubagi cerita bahagia hingga rahasia paling hitamku.”
Aku tidak menolak, kamu pun pantas dapat predikat kakak terhebat. Karena saat masalah membuatku ingin menyerah, kamulah orang pertama yang akan mencecarku. Habis-habisan kamu akan menghujaniku dengan kritikan pedas. Tapi anehnya, aku tidak sekalipun sakit hati karena kata-katamu justru jadi motivasi. Gaya bicaramu yang seakan tidak peduli justru malah membakar semangatku untuk bangkit lagi.
ADVERTISEMENTS
Ada saat dimana kita akan sama-sama melupakan perbedaan dan perselisihan. Kita sepakat jadi rekan yang kompak saat menyelesaikan berbagai masalah keluarga
Sejak kecil hingga remaja, kita memang lebih sering bertengkar. Tapi hubungan kita terus bertransformasi seiring usia yang juga terus bertambah. Menjejak usia dewasa, kita berubah jadi dua orang yang bisa kompak tanpa perlu diminta jika urusannya soal keluarga.
Bagaimana pun, ayah dan ibu bukanlah pasangan sempurna yang tidak pernah merasakan perselisihan. Ada kalanya mereka enggan saling bicara atau bahkan sekadar bertegur sapa. Dan di saat seperti inilah kekompakan kita justru tertempa. Aku dan kamu selalu punya cara yang membuat “kita” sebagai satu keluarga untuk duduk bersama dan bicara.
Aku ingat ketika ibu dan ayah sama-sama jatuh sakit, kita berdualah yang bergantian merawat mereka. Tugas-tugas harian ibu pun bisa kita bagi berdua; perkara siapa yang membersihkan rumah, memasak, cuci baju, hingga pergi belanja.
“Aku dan kamu adalah rekan seperjuangan ketika ada masalah keluarga yang harus dituntaskan. Di titik ini, aku tidak perlu mempertanyakan tentang perasaanku sendiri.”
ADVERTISEMENTS
Tidak banyak waktu yang bisa dibagi, apalagi jika harus bicara dari hati ke hati. Tapi tanpa perlu kuakui, kamu pasti tahu seberapa hebat aku menyayangi
Aneh rasanya jika aku harus jujur tentang perasaanku. Tidak bisa kubayangkan betapa canggung suasana ketika aku dan kamu bertemu muka lalu bicara perkara hubungan kita. Aku jamin mulutku tidak akan bisa berkata-kata, tentang seberapa besar rasa sayang dan cinta yang aku punya.
Tapi sungguh aku percaya, kamu pun pasti melakukan hal yang sama. Bahwa di antara doa-doa yang terapal, ada namaku yang tidak pernah luput kamu lafalkan. Tanpa perlu bertukar pelukan, akulah yang tak pernah alpa memberimu perhatian.
Teruntuk kakak perempuanku, semoga surat ini tidak akan pernah sampai di tanganmu. Karena membayangkan kamu membaca tulisan ini justru membuatku senyum-senyum sendiri. Aku malu jika kamu tahu, surat ini sengaja kutulis untukmu.
Dari adikmu,
Yang berharap kau tak akan pernah membaca tulisanku