Menjaga rasa cinta/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Di banyak film animasi, cinta digambarkan seperti anak panah yang ditembakkan oleh makhluk bersayap bernama Cupid. Ketika panah itu menancap, dua orang yang berjodoh akan dipenuhi perasaan saling mengagumi dan menyayangi satu sama lain. Perasaan cinta membuat mereka mau lakukan apa saja demi pasangannya dan cinta itu juga yang menjaga hubungan mereka jadi happy ever after.
Kamu mungkin tahu bahwa itu adalah ilustrasi fiksi alias khayalan belaka. Walau umumnya kita tidak meyakini bahwa cinta diatur dan diberikan oleh sosok Dewa Cinta, tetap banyak orang yang meyakini cinta adalah sesuatu yang berada di luar kendali kita.
Coba ingat-ingat ada berapa banyak teman yang berkata, “Perasaannya sudah hilang,” seolah-olah cinta itu bisa datang dan pergi begitu saja. Perhatikan ada berapa banyak hubungan yang dibiarkan kandas dengan alasan salah satu pihak atau keduanya tidak merasakan cinta seperti awal.
Saya punya pengalaman pribadi juga. Setelah berjalan dua tahun, pasangan saya saat itu tiba-tiba berkata, “Aku tidak yakin aku benar-benar cinta sama kamu.” Rasanya seperti disambar geledek mendengar pernyataan itu, khususnya karena hubungan kami tidak terasa ada masalah apa-apa.
“Kalau aku benar-benar cinta sama kamu, nggak mungkin dong aku bisa cinta sama seseorang lainnya,” lanjutnya pendek, tidak berusaha menjelaskan wacana yang menggantung di ujung.
Kalimat itu terdengar seperti geledek yang lebih besar daripada kalimat sebelumnya.
Singkat cerita, kami putus. Atau lebih tepatnya, saya diputus. Saya berusaha meyakinkan dia sebaliknya, menjelaskan bahwa cinta itu tidak bisa hilang begitu saja, tapi tidak ada satu pun argumen bisa menyentuh hatinya yang dulu begitu lembut dan perhatian. Mungkin persis yang dia bilang, cintanya sudah hilang. Satu minggu setelah putus, seorang teman saya cerita melihat dia di sebuah kafe bercanda mesra dengan seseorang yang mungkin dia maksudkan dalam kalimatnya tempo hari.
Selain mendengar cerita teman dan saya di atas, mungkin kamu sendiri pernah mengalami kehilangan perasaan cinta itu. Ini adalah fenomena global yang terjadi di periode pacaran ataupun berumah tangga.
Jadi, benarkah cinta bisa tiba-tiba lenyap begitu saja? Benarkah perasaan hangat itu bisa dengan mudah berpindah dari satu orang ke orang lainnya? Benarkah kita tidak memiliki kuasa atas perasaan cinta itu sendiri?
ADVERTISEMENTS
Ada yang meningkat, ada yang menghilang
Daripada bahas teori, mungkin lebih enak rasanya bila kamu bercermin dari pengalaman nyata.
Saya ingin kamu menelusuri sepotong interaksi saya dengan Finda (bukan nama sebenarnya) dalam sebuahsesi marital coaching. Dia sudah menikah sembilan tahun dan dikaruniai dua orang anak kembar. Ini adalah sesi ketiga di mana saya bertemu dengan dia dan suami secara terpisah untuk mengeksplorasi masing-masing pribadi lebih dalam.
Sebelum bertemu saya, mereka sudah berkonsultasi dengan psikolog untuk menggali akar masalah. Namun, mereka mengaku belum merasakan efek apa-apa dalam hubungan. Mereka tidak ada rencana bercerai, tapi hubungannya juga tidak kunjung membaik.
Konsultasi/ Illustration by Hipwee
“Jelaslah aku tidak berniat cerai, tidak mungkinlah karena hubungan kami nggak ada masalah gimana-gimana kok. Tapi, jujur aku kebayang kok sedih jalanin hubungan yang kayaknya asing begini. Kami merasa kayak dua orang yang kebetulan tinggal bersama aja. Aku nggak berasa ada cinta lagi, padahal dulunya mesra banget. Sekarang rasa itu sudah pergi,” ujar Finda di ujung ceritanya tentang dilema yang sedang dihadapi.
“Rasanya sudah pergi. Pergi ke mana?” tanya saya.
Dia berpikir panjang sambil memutar-mutar cincin di jari manisnya seperti mencari putaran kombinasi yang bisa membuka kunci pintu hati yang tertutup.
“Aku jelas cinta anak-anak sih,” kalimat itu meluncur dengan cepat tanpa ada keraguan sama sekali. “Aku sayang sekali sama si kembar. Makin ke sini, makin sayang.”
“Oke, kamu sayang sekali dengan si kembar. Apa yang membuatmu merasa begitu?”
“Mereka semakin besar, pintar, tidak terlalu tergantung aku lagi, tapi aku tidak bisa berhenti mikirin mereka lagi di mana, lagi butuh apa, pengen apa, gitu-gitu deh. Sesibuk-sibuknya dengan kerjaan, aku selalu sempatin satu dua kali check-in nanya kabar mereka dan mereka lagi butuh apa. Setiap malam, aku ajak mereka ngobrol tentang harinya dan merangkai rencana kami untuk weekend.”
“Kamu lakukan itu setiap hari, setiap malam?”
Finda menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Apa yang terjadi, setiap kali kamu lakukan itu?”
“Aku jadi tahu apa yang sedang mereka alami dan pikirkan. Kadang aku ketawa-ketiwi sendiri melihat cara berpikir mereka yang lugu polos, tapi tidak salah juga. Kadang aku kagum juga karena sepertinya mereka lebih cerdas dari anak seusianya. Topik dan bahasa yang mereka pakai sih simpel saja seperti anak kecil, tapi cara berpikirnya kayak orang dewasa.”
“Waktu kamu tahu apa yang mereka alami, waktu kamu ketawa-ketiwi lihat pemikirannya, nyadar mereka masih kecil tapi cerdas banget, apa yang kamu rasakan?”
Finda mengernyitkan keningnya, sebagai indikasi bahwa dia sedang memproses sesuatu yang jarang dia pikirkan dan jawabannya tidak ada di permukaan. Dalam beberapa detik, ekspresi bingung itu berubah jadi senyuman lepas.
“Sayang banget, aku ngerasa sayang banget. Aku juga ngerasa bangga campur nggak percaya campur bersyukur bisa jadi mamanya dari dua pribadi yang seajaib itu. Bukan aku saja sih, papanya juga merasa begitu. Yadi juga baik dan rajin banget perhatian sama anak-anak. Makin kami luangin waktu sama anak-anak, makin berusaha ngenalin dan ngayomin mereka, makin aku ngerasa cinta yang dalem banget.”
Saya tidak menjawab apa-apa, hanya menganggukkan kepala secara halus dan tertata pada bagian-bagian tertentu di kalimat Finda. Setelah berhenti menjawab pun, saya tetap berdiam membiarkan dia dalam keheningan untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Aku sekarang kepikiran, aku dan Yadi bisa berasa cinta banget sama anak, tambah hari tambah sayang… tapi kok kita nggak bisa ngerasa gitu satu sama lain ya?” tanya Finda.
Saya menjawab dengan anggukan kepala saja, tidak ada komentar apa pun. “Rasanya tidak sama lagi,” lanjut Finda.
“Iya, rasa itu sudah pergi,” lanjut saya mengulang kalimat yang dipakai Finda tadi.
Finda menatap saya dalam-dalam, mengernyitkan keningnya lagi seperti berusaha menelusuri seuntai ide menarik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.
Quality time dengan anak/ Illustration by Hipwee
“Mungkin kah… rasanya nggak pergi… rasanya nggak berubah, tapi… kitanya.. yang pergi dan berubah, Coach?” ucap Finda terbata-bata bagai sedang menjahit untaian kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya.
“Apa yang barusan muncul terbayang sama kamu?”
“Mendadak keinget aja. Dulu sebelum ada anak, aku dan Yadi tiap hari luangin waktu ngobrol, bercanda, saling cerita gitu deh. Itu kami lakukan setiap hari, nyaris nggak ada bolong. Kebetulan kami menunda hamil sampai tahun kedua, jadi selama setahun pertama itu kami pacaran tiap hari gitu. Ngobrolnya random aja, banyakan topik nggak penting malah, tapi makin ngobrol, kita makin akrab anget banget.”
Finda lanjut bercerita selain waktu ngobrol itu, mereka berdua sering lakukan tugas beres-beres rumah bersama. Hampir semuanya dikerjakan berbarengan, mulai dari sekadar menyapu dan membersihkan kamar hingga ke masak-memasak. Namun, semua momen kebersamaan itu tiba-tiba terhenti ketika si kembar lahir. Mereka memperkerjakan ART untuk mengambil banyak beban mengurus rumah. Dengan adanya dua anak sekaligus, seusai jam kerja mereka pun otomatis mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk mengasuh anak-anak.
“Aku inget kita kelelahan banget, jadi hire babysitter. Agak berkurang sih kerjaannya, tapi kita pakai waktu itu untuk istirahat aja. Kita selalu pergi me-time masing-masing gitu. Aku ke Netflix dan Yadi ke teman-teman game-nya, kita nggak ngobrol seperti sebelumnya. Iya iya, aku nggak inget kita pernah bercandaan kayak dulu lagi semenjak si kembar lahir. Itu terus sampai sekarang. Kalau ngobrol ya ngobrolin anak, rencana liburan anak, dan sejenis itu.”
“Jadi, apa kaitan itu dengan rasa yang tidak sama lagi, rasa cinta yang pergi?” saya berusaha mengingatkan dia akan kata kunci masalah yang dia pakai.
“Hmmm, rasanya nggak sama lagi karena kitanya yang berubah sikap. Kita kayak pergi sibuk ngurusin hal yang lain, yaitu anak-anak. Makin kita pergi ke anak-anak, makin berasa sayang ke mereka, tapi perasaan aku ke Yadi dan Yadi ke aku nggak bertambah, nggak sama lagi kayak dulu. Kami jadi asing.. karena udah pergi nelantarin satu sama lain,” ujar Finda dengan lancar, seperti menemukan titik terang dan harapan baru untuk menghangatkan hubungan.
Fast forward ketika saya ketemu mereka berdua dua minggu kemudian di sesi berikutnya, Finda dan Yadi terlihat begitu berbeda. Mereka duduk berdempetan saling meremas tangan satu sama lain, tidak lagi duduk berjauhan seperti sesi-sesi awal. Mereka menyadari bahwa perasaan cinta mereka sebenarnya tetap ada dan tidak pernah hilang, mereka hanya terseret kesibukan, sehingga tidak berinvestasi, mengunjungi, dan menikmati momen-momennya.
Saya ingin kamu baca ulang kalimat terakhir Finda di atas sambil bersuara. Baca. Seperlahan. Mungkin. Lalu. Baca. Sekali. Lagi. Dengan. Jauh. Lebih. Perlahan. Apakah kamu berhasil mendapatkan sesuatu yang relevan dengan kondisimu?
ADVERTISEMENTS
Cinta adalah hasil investasi
Sewaktu datang marital coachingdengan saya, Finda dan suami belum terekspos dengan konsep-konsep Kelas Cinta sama sekali. Mereka tahu saya karena dapat rekomendasi dari teman kantor mereka yang pernah coaching dengan saya juga.
Namun, kesadaran yang ditemukan oleh Finda di atas itu persis senada dengan prinsip penting di Kelas Cinta yang bernama “Cinta adalah hasil investasi”. Secara singkat itu artinya perasaan sayang, lekat, hangat yang kita rasakan ke pasangan itu timbul karena kita banyak ‘menanam’ sumber daya waktu, tenaga, dan uang kita pada dirinya. Jadi, bisa dibilang, cinta adalah ‘bunga’ dan ‘buah’ yang tumbuh akibat kita tanam dan sirami setiap hari.
Disirami setiap hari/ Illustration by Hipwee
Bukan sajatumbuh perasaan cinta, kita juga menemukan perasaan kagum, bangga, senang, akrab, aman, terpenuhi apabila rajin menyediakan waktu spesial untuk ngobrol heart to heart dengan pasangan. Setiap kali melakukan kencan dan kegiatan baru bersama, kita sedang memantik api chemistry itu menyala kembali. Setiap kali kita melakukan pengorbanan diri, besar ataupun kecil, untuk pasangan, kita sedang menciptakan ikatan yang makin erat satu sama lain.
Tentu saja, investasi itu sewajarnya dilakukan oleh masing-masing pihak. Apabila hanya satu pihak saja yang sibuk berinvestasi, hanya dia seorang yang bertambah cintanya. Sementara itu, pihak satunya lagi perlahan berkurang cintanya (karena dia tidak perlu balas investasi apapun, pasangannya sudah baik memberi segalanya). Kita perlumengingatkan dan mengajak agar siklus perasaan itu tetap terjaga.
Bila salah satu dari kita berhenti (atau lupa) berinvestasi, cinta dan segala perasaan positif yang menyertainya juga perlahan akan memudar. Cinta pernah bisa hilang lenyap tiba-tiba begitu saja. Dia akan perlahan menyala atau perlahan melayu tergantung dari apa yang kita lakukan.
Orang-orang yang kehilangan perasaan cinta itu pasti bisa ditelusuri masa-masa ketika dia melalaikan atau melupakan banyak pekerjaan investasi dalam hubungan. Pekerjaannya dulu yang ‘hilang’, barulah perasaannya ikutan ‘hilang’ sebagai akibatnya.
Orang-orang yang mengaku cinta dengan orang ketiga pun pasti tidak terjadi tiba-tiba, melainkan karena dia perlahan berhenti melakukan investasi pada pasangan dan perlahan menyalurkan investasi pada selingkuhan. Awalnya dia mungkin cuma ingin berteman dan ingin bercanda saja, tapi seiring waktu dia terus memberikan waktu dan tenaga pada pertemanan itu, bahkan sampai berusaha cerdik hapus-hapus jejak agar tidak terlihat pasangan. Wajar saja setelah sekian lama, seluruh investasi tersebut tumbuh jadi perasaan yang lebih serius. Itulah yang terjadi dengan kisah saya diputuskan di atas.
Saya yakin bacaan hari ini memancing kamu memandang hubungan-hubungan di masa lampau dengan perspektif yang baru. Inilah salah satu rahasia terpenting yang membuat hubungan kamu bertumbuh dengan cinta sampai usia sangat tua nanti.
Jangan lupa, pastikan bukan hanya kamu saja yang paham tentang ini. Kamu wajib memberitahu pasangan tentang ini juga agar kamu tidak sendirian berinvestasi dalam hubungan ya.
Lex dePraxis adalah Love & Relationship Coach yang selama empat belas tahun ini menjadi pionir pengembang ilmu manajemen relasi cinta dan rumah tangga di Indonesia. Sebagai co-founder Kelas Cinta, visinya adalah menyejahterakan hidup manusia lewat peningkatan kualitas hubungan dan pernikahan, sesuai dengan mottonya, “Love beter, live better!”
Seusai pendidikan di Universitas Indonesia, Lex rajin menambah berbagai kompentensi dan sertifikasi pengembangan diri dari dalam dan luar negeri. Beliau mempelajari teknologi alam bawah sadar dari Indonesian Board of Hypnosis, Neuro-Linguistic Programming dari NLP Consult Indonesia dan NF-NLP Florida, psikologi transpersonal dari Insight Institute Indonesia, life coaching dari Indonesia Association of Life Coach, professional coach dari Loop Institute of Coaching, serta Gottman Method Couples Therapy Level 1 & 2 dari The Gottman Institute