Sudah hampir setahun sejak hari aku dan kamu mengubah panggilan dari “Dear” atau “Sayang” kembali jadi “Kamu” dan “Aku.”Berarti hampir setahun pula kita tuntaskan harapan yang sempat kita lipat kecil-kecil bersama.
Soal bagaimana kita akan membangun rumah yang penuh palet kayu, tentang bayangan pertengkaran kecil yang timbul karena aku tak bisa tidur tanpa selimut sementara kau selalu kepanasan, tentang bagaimana besok kau bekerja dan aku berkarya dari rumah demi mengurus anak-anak kita.
Kini tidak ada lagi agenda makan malam bersama sepulang kerja. Tak ada lagi tawa yang dibagi berdua setelah menjalani hari yang panjang, sebab kita sudah hidup terpisahkan oleh 2 tali pancang. Hidup jelas tak lagi sama semenjak “kita” tak lagi ada. Aku sempat bertanya apa yang Tuhan rencanakan di balik siksa. Apakah Ia hanya ingin kita belajar mendalami ilmu ikhlas sebagai manusia?
ADVERTISEMENTS
Berpisah denganmu membuatku jadi seperti pohon yang tercerabut dari akarnya. Aku sempat limbung sekian lama
Selama ini di matamu barangkali aku selalu tampak kuat dan baik-baik saja. Tapi ada yang tidak kau tahu, Sayangku. Pada ujung-ujung malam aku berpaling demi membenamkan kepalaku di antara kasur dan bantal. Kepalaku menjerit merindukan ruang di antara bahu dan lenganmu, tempatnya biasa bersandar tanpa jemu.
Tak hanya satu-dua kali aku bangun di ujung malam hanya untuk menemukan jantungku berdebar cepat. Setiap memimpikanmu aku selalu bermandi keringat. Setelahnya ada rasa nyeri tertinggal di dada. Mimpi tadi terlihat begitu nyata, begitu dekat. Tapi kini kau tak lagi ada.
Aku sempat jadi pecundang. Kujalani hidup seperti pesakitan. Aku memilih menyingkir dari rute yang biasa kita lewati saat mencari makan malam bersama. Ku rela memutar jauh hanya demi mengusir bayanganmu dari kepala. Hampir setahun sudah lamanya ku tak lagi makan di tempat kita biasa merapat sepulang kerja.
Melakoni napak tilas langkah yang sempat kita hela bersama membuatku merasa meriang seperti orang demam. Sakit ini menyisakan lebam yang dalam.
ADVERTISEMENTS
Mereka bilang mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang dicinta mendapat kebahagiaan. Tapi dosakah jika hanya padaku kuharap kau mendapatkan kenyamanan?
Hidupmu berjalan. Untuk yang satu ini aku tahu pasti, kau bukan pemikir sepertiku yang suka berlama-lama memandangi bangunan rapuh yang selama ini menjaga hati. Kau jajaki langkah baru, bersama dia yang kali ini menjaring hatimu.
Sebagai orang yang tak lagi punya hak apa-apa tentu aku tak bisa meminta banyak hal dari keadaan kita. Aneh, kita yang dulu tak pernah alpa saling menanyakan kabar kini berubah jadi 2 data binari yang diam-diam saling mengunjungi.
Meski pelukmu kurindukan aku harus puas hanya mendengar kabarmu dari selentingan teman. Meski pada ujung-ujung malam alam bawah sadarku tetap merintih kesakitan aku tetap berlagak seolah hidupku terus berjalan. Setiap sakit yang merajam memang membentuk kita jadi pelakon handal.
Tapi dosakah aku jika kuharap hanya padaku kamu merasa menemukan pendampingan yang menggenapi? Salahkah aku jika pada doa-doa kecil di akhir hari kupanjatkan permohonan agar kamu segera sadar siapa yang paling layak mendampingi?
Bukannya ingin berhitung, tapi bukankah hanya padaku kau rasakan cinta yang tak pernah menghitung rugi dan untung? Kau bukan manusia berhati semanis Arjuna, Sayang. Kau perlu tahu. Pernah mendapatkan cinta sedalam itu sepatutnya kau merasa beruntung.
ADVERTISEMENTS
Tak bisa dipungkiri aku merinding setiap kubayangkan kau melakoni kegiatan kita bersama orang yang berbeda. Masihkah ada jejakku yang tertinggal di kantung kemeja? Masihkah kelebat suaraku terdengar setiap kau membuka mata?
Sering aku berharap aku dan pendampingmu sekarang hanya sedang bertukar peran sementara. Jika saatnya tiba kami akan kembali ke peran yang lama. Tapi nyatanya tidak. Cinta kita memang tak bisa dipanggil pulang. Terlalu rumit rasanya menyatukan pecahan hati yang sudah jatuh berserakan seperti kulit kacang.
Kawan-kawan terdekatku bilang aku harus segera menghapusmu dari kenangan. Urusanmu sekarang tak perlu lagi kupusingkan, sebab ujungnya pasti menyakitkan.
Bagaimana bisa mereka minta aku lupa begitu saja? Kau masih dengan gagahnya berkeliaran di dunia. Sementara Tuhan tak kunjung juga memberiku serangan amesia.
Apakah caranya menyelipkan jari di antara celah jemarimu sama heningnya denganku? Sudikah ia ringan menyapu bulir keringat yang kerap kali mucul di atas bibirmu? Sering proteskah dia jika di tengah keseriusan nonton film bersama kamu justru mendengkur tanpa dosa?
Ku bayangkan bagaimana jika kini kau temui pendampingan yang ternyata tak sebaik yang kuberikan dulu. Ingatkah kau pada kotak makan yang sering sengaja kuletakkan di depan pintu karena tak ingin membangunkanmu yang tak tidur semalaman? Terbayangkah diriku setiap kau makan Sate Padang, Nasi Goreng depan terminal, atau ketika lagu A Rocket To The Moon terputar?
Pamungkasnya ada sebuah tanya yang hingga kini masih berputar udara,
Jika boleh jujur memberikan penilaian — apakah cinta kami padamu: setara? Adakah pemenang di antara keduanya?
ADVERTISEMENTS
Aku memang pencinta keras kepala. Tapi seiring waktu kusadari cinta bukanlah lomba lari yang wajib menghasilkan pemenang di akhir hari
Aku tak ingin jadi munafik. Tak cuma sekali dua kali kuharap kau tergelincir, jatuh, kemudian mengaku kalah. Kemudian kau akui bahwa hanya pada pendampinganku kau menemukan kehangatan senyaman di rumah. Aku sempat jadi manusia yang terpancang pada kepemilikan semata, lupa teladan bahwa pada masanya Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus mengikhlaskan segala yang mereka punya demi membuktikan cinta.
Jika manusia sehebat mereka saja rela melepaskan yang dimiliki atas nama cinta, mengapa aku yang tak ada apa-apanya ini tak bisa?
Lewat jalan terjal perlahan aku belajar memanen keikhlasan. Setiap rasa tak terima datang kuambil nafas sedalam yang kubisa, kemudian kubuang sembari membayangkan kenangan tentangmu ikut menguap bersamanya. Pada hari ketika kau kirimkan cerita bahagia bergambar wajahmu dan dia, aku memilih bersujud lebih lama. Memohon Tuhan berbaik hati mengoleskan cairan antiseptik di luka yang kini kembali terbuka.
Aku tak pernah bilang mengikhlaskanmu adalah pekerjaan yang mudah. Tapi kini pendulum perasaan itu perlahan berpindah, lewat usaha yang tak kurang membuatku payah.
ADVERTISEMENTS
Keikhlasan ini perlahan terbangun seperti gardu pandang. Dalam rekam jejak hidupku kau tak akan pernah hilang. Namun bukan padamulah kini dapat kutemukan kata “Pulang.”
Aku masih ingat betapa kau dulu menggodaku karena tergila-gila pada perjalanan. Kau tak pernah paham apa enaknya duduk di kursi keras, berpindah kendaraan berkali-kali demi sampai di sebuah destinasi. Katamu,
“Kenapa kau repot mengepak barang, jika pada ujungnya yang kau rindukan tetaplah pulang?”
Satu yang sampai saat ini belum kau tahu, Sayang. Segala tetek-bengek perjalanan itu pernah membuatku makin jatuh hati padamu. Iya, kau yang bahkan tak suka repot berjalan jauh karena merasa mudah berkeringat. Kau yang lebih memilih terbenam di depan komputer daripada harus repot membongkar tenda.
Ketika kuhadapi calo bus yang menyebalkan kuingat muka ngantukmu ketika menjemputku di pagi hari. Saat punggungku pegal dihajar dudukan kereta kubayangkan senja malas kita yang isinya hanya berbaring bersisian berdua. Saat nafasku hampir habis, tersenggal, merasa hampir mati — aku tahu lenganmu menungguku untuk berbagi hangat lagi.
Kamu sempat jadi satu-satunya alasanku bertahan. Pada pejalnya tubuh, rengkuh, dan usapan ringanmu di lengan kutemukan penjelmaan rumah yang selalu mampu menjebol benteng pertahanan.
Tapi seperti manusia urban yang mudah berpindah sesuai kebutuhan kini rasa nyaman yang dulu bisa kau berikan perlahan tergantikan.
Tak peduli seingin apapun aku meletakkan kepala di bahumu demi melepas kepenatan, tindak manja itu kini tak lagi bisa kulakukan. Di antara kita ada batasan. Ada hati yang akan tersakiti jika kau dan aku bertindak berlebihan. Semenggebu apapun rasanya aku ingin bercerita, ketika akhirnya kutemui kau dan kita saling memandang mata — ku tahu kini kita tak lagi sama.
Kamu sempat jadi rumahku, hanya saja kini secara sadar kau sudah mengganti lubang kunci di kenop pintu.
ADVERTISEMENTS
Silakan, Sayang. Kau boleh sibuk bercinta dengan yang baru atau justru mengakusisi ruang pikir dan hatiku. Asal kau tahu, aku baru saja kembali dari loket bertujuan “Keikhlasan.” Penjaga peron bilang keretanya sebentar lagi datang
Terlalu cepat jika kubilang aku sudah bisa melepaskanmu. Berproses bersama jadi kekasih, rekan baik, dan sahabat setia membuatku tak mudah melupakan begitu saja. Aku pun tak ingin jumawa. Jujur kuakui jika dalam hati masuh kusimpan cinta.
Tapi aku tak ingin berkubang dalam genangan kesedihan lama-lama. Jika kau bisa berjingkat semudah itu, mengapa hal yang sama tak bisa terjadi padaku? Kini memang belum bisa kubuka hati seperti dulu. Tapi keikhlasan itu sedang sabar kutunggu, di ujung peron berwarna biru.
Kata penjaga tiket di peronnya aku harus sedikit bersabar. Keretanya sebentar lagi datang.
Pembeli tiket keikhlasan demi bisa melupakanmu,
Tanpa perlu menyebut nama kau pasti tahu siapa aku.