Sebelum bertemu denganmu, aku hanyalah seorang remaja yang penuh khayalan tentang cinta. Keromantisan, umbaran kata sayang, pujian kekaguman, hingga hadiah dan kejutan yang tak ada habisnya. Ya, seperti yang sering aku baca di novel atau tonton di film-film penuh romansa. Di situ, yang aku tahu, cinta sama dengan bahagia.
Lalu, aku bertemu dengan dirimu, yang saat ini menjadi kekasihku. Lucu rasanya bila mengingat bagaimana kita bersatu, padahal persamaan kita berdua bisa dihitung hanya dengan jumlah jari di tangan kananku. Tapi, perbedaan yang begitu banyak itu tidak pernah aku pedulikan. Darimu, aku bisa belajar banyak hal. Darimu, aku tahu, bahwa cinta itu, sesungguhnya, sederhana.
ADVERTISEMENTS
Aku mengenal kata cinta, pertama kali, hanya dari lagu dan buku. Maafkan aku yang saat itu masih lugu, seluruh mimpi dan khayalan tentang cinta kutelan tanpa ragu
Aku ingat pertama kali ku mengenal cinta. Saat itu usiaku 14, seragamku masih putih-biru. Layaknya anak baru gede yang lain, aku penasaran seperti apakah cinta yang selalu diagungkan oleh umat manusia itu. Aku pun berusaha mencari tahu. Bukan, bukan dari cinta monyetku. Aku pertama kali mengenalnya hanya dari lagu dan buku.
Aku begitu saja percaya penggambaran bagaimana cinta yang seharusnya, lengkap dengan khayalan dan mimpi indah yang dijanjikannya. Cinta yang menurut mereka identik dengan kata-kata manis, kejutan romantis, bunga dan cokelat, teleponan sepanjang malam, saling melempar pujian kekaguman, hingga memenuhi pikiran hanya dengan dirinya seorang. Terlihat begitu indah, bukan? Dan aku, yang saat itu mungkin masih lugu, benar-benar tidak sabar untuk merasakan hal indah tersebut dalam hidupku.
ADVERTISEMENTS
Lalu aku bertemu denganmu, orang yang membuyarkan seluruh khayalan cinta yang kudapat dari lagu dan buku
Sampai saat ini, aku masih tidak percaya kita bisa bersatu. Kamu sama sekali jauh dari sosok kekasih yang selama ini ada dibayanganku, yang tentunya kudapat dari buku. Kamu tidak mengenal kata romantis, bicaramu pun terlampau jujur seperti tidak mengenal pahit dan manis. Dan parahnya lagi, sifatmu cuek bukan kepalang. Jangankan kejutan, SMS atau telepon saja jarang sekali kau berikan.
Jelas, aku sering naik pitam. Aku pun ingin diperhatikan seperti yang pasangan lain lakukan. Sapaan manis di pagi hari, telepon singkat untuk mengecek apakah aku sudah makan atau belum, kata rindu saat kita sudah lama tak bertemu, atau sesederhana pesan bertuliskan “mimpi indah” sebelum aku tertidur. Tapi seringnya, kamu terburu-buru berangkat ke kampus karena bangun kesiangan dan akhirnya lupa memberiku sapaan pagi. Seringnya juga, kamu terlalu sibuk bermain dan berkutat pada kegiatan organisasi sampai luput menanyakan kabar pacarmu ini. Lebih sering lagi, kamu lelah setelah seharian beraktivitas dan akhirnya tertidur pulas tanpa sempat memberiku pesan yang hangat.
Apa ini cinta yang sesungguhnya? Mengapa tidak penuh romansa seperti apa yang selama ini aku baca?
ADVERTISEMENTS
Sudah tak perlu ditanya lagi bagaimana bedanya dirimu dan sosok kekasih yang selama ini aku khayalkan. Tapi, Sayang, tahukah kalau justru kamulah yang banyak mengajarkanku soal cinta dan kasih sayang?
Kamu pasti sudah tahu ‘kan bagaimana sosok kekasih yang selama ini aku impikan? Ya, yang bisa menjadikan khayalan semasa remajaku nyata. Dia yang penuh romansa dan sering mengumbar kata cinta. Sayangnya, Tuhan malah mempertemukanku denganmu yang 180 derajat bedanya.
Tapi tenang, Sayang, aku sama sekali tidak menyesal. Di awal menjalin hubungan, kita memang tiada hentinya bertengkar. Sifatmu yang cuek, membuatku merasa tidak dapat perhatian. Bayangkan saja, bisa seharian penuh kamu tidak menanyakan kabarku. Sampai di satu titik aku merasa lelah dan bertanya:
Apa benar kamu sayang padaku? Mengapa tidak pernah kamu tunjukkan perasaanmu?
Saat itu, aku takut mendengar jawaban apa yang akan keluar dari mulutmu. Tapi, masih ingatkah apa yang kamu berikan sebagai jawaban? Sebuah senyuman dan pelukan hangat. Lalu, kamu pun bercerita, bagaimana sebenarnya caramu mencinta.
ADVERTISEMENTS
“Aku tidak mengumbar kata cinta dengan ringan. Kalau saja kamu menengok sedikit ke belakang, kamu mungkin akan sadar seberapa besar cinta dan kasih sayang yang telah aku berikan”
Rasa takutku pun berubah menjadi tangisan haru. Entah mengapa aku baru menyadarinya saat itu, kalau aku tidak perlu meragukan perasaanmu. Sejujurnya, aku malu. Malu karena ternyata selama ini adalah aku, pihak yang egoisnya sungguh terlalu.
Selama ini kamu telah mencintaiku dengan begitu sabar dan begitu sederhana. Ya, sederhana karena kamu tidak pernah terpaksa melakukannya dan kamu pun tidak pernah meminta apa-apa sebagai gantinya.
Aku ingat betul kamu seringkali datang ke tempat kostku tanpa diminta, lengkap dengan membawa nasi dan ayam kesukaan kita berdua. Alasannya, kamu tahu aku pasti belum sarapan karena malas cari makan sendirian. Saat itu aku belum sadar kalau kamu sedang memberikan perhatian; yang aku tahu hanya perutku tidak lagi kelaparan.
Aku juga ingat bagaimana kamu selalu siap menghiburku di saat penat, saat aku sedang pusing dengan tugas yang tumpukkannya selalu meningkat. Kamu siap mengantarkanku pergi ke manapun yang kumau. Entah itu berkeliling kota, mencari minuman manis dan dingin untuk menyegarkan pikiran, bahkan hingga ke bukit di pinggir kota untuk sekadar berteriak. Kamu membawaku dengan sepeda motormu tanpa menolak. Di sepanjang jalan pun kamu tidak henti-hentinya membuatku tertawa. Saat itu aku tidak sadar kamu sedang berusaha membuatku bahagia; yang aku tahu hanya tidak lagi merasa sakit kepala.
ADVERTISEMENTS
“Aku pun tidak pandai mengucap kata rindu. Tapi tanpa kamu sadari, kamulah orang pertama yang selalu ingin kutemui”
Sayang, aku merasa malu lagi. Aku kira selama ini hanya aku saja yang menyimpan rindu saat kita berhari-hari tidak bisa bertemu. Habisnya, setiap pesan berisikan kerinduanku hanya kau biarkan terbaca saja tanpa pernah digubris. Tapi syukurlah, kalau memang kamu pun juga sering merasakan kerinduan yang sama.
Ah, iya, aku ingat. Setiap kamu kembali dari kampung halamanmu, tempat kostkulah yang pertama kali kau datangi. Dengan tampang menyebalkan, kamu minta dibuatkan sarapan karena tidak sempat menyantapnya di rumah. Keterlaluannya lagi, kamu meminta punggungmu dipijat karena pegal sepanjang perjalanan. Saat itu, aku hanya merasa sebal karena dibangunkan pagi-pagi dan sudah diminta macam-macam. Maaf, Sayang, aku tidak tahu kalau itu bukti kerinduan.
ADVERTISEMENTS
“Maafkan kalau aku tidak pernah memberimu bunga atau cokelat. Selama ini, aku hanya bisa memberimu satu hal, yaitu waktuku”
Sejujurnya, aku tidak pernah tahu berapa banyak waktumu yang sudah terlewati hanya untuk bersamaku. Setiap malam minggu saja, kamu selalu merelakan waktu mainmu diganti untuk menemaniku; entah itu makan malam, menonton film, atau hanya sekadar menikmati jalanan di malam hari. Belum lagi waktu-waktu pribadimu, yang dulu sebelum bersamaku kamu habiskan untuk bermain game atau membaca buku. Pantas saja, tumpukan buku yang belum kamu baca tidak juga berkurang.
Kamu tidak pernah mengeluh sedikitpun mengenai waktumu yang terbuang. Kamu menjalani setiap detiknya bersamaku dengan senyuman. Sedangkan kamu terlambat 5 menit saja, aku merasa waktuku sudah tersita. Maaf, Sayang, aku tidak pernah menyadarinya. Terima kasih untuk hal terindah yang pernah kamu berikan padaku, yaitu waktumu.
Sayang, aku tahu kamu tidak pernah mengharapkan apapun sebagai balasan. Tapi, izinkan aku berjanji akan menghargai seluruh usahamu untuk mencintai dan membahagiakan perempuan ini
Aku ingin berterima kasih kepadamu, untuk cinta yang begitu tulus dan sederhana. Terima kasih untuk selalu mencintaiku tanpa syarat, tanpa mengharapkan balasan. Terima kasih untuk genggaman tangan di saat yang sulit, senyuman manis di saat yang getir, dan jutaan waktu yang selalu sempat kau luangkan.
Aku tahu, ribuan kata terima kasih pun tidak akan cukup untuk membalas semuanya. Pun aku tahu, kamu tidak ingin untuk dibalas. Tapi izinkanlah aku berjanji untuk menjadi sosok yang lebih pantas untuk kau dampingi. Aku akan berusaha menghargai seluruh usahamu untuk membuatku merasa dicintai. Tidak akan lagi ada keluhan akan pesan yang tidak dibalas atau tuntutan untuk mengumbar kata mesra. Aku akan lebih menghargai dirimu, usahamu, juga waktumu. Aku berjanji, tidak hanya kepadamu, tetapi juga pada diriku sendiri.
Terima kasih, Sayang, untuk pelajaran cinta yang berharga di ratusan hari hubungan kita. Dan mulai detik ini, aku akan memulai hal yang sama, mencintaimu dengan lebih sederhana.