“Hey, Sayang. Sorry baru sempat balas. Hari ini sibuk banget di kantor. Oh iya, aku lembur sampai tengah malam nanti.”
Aku bayangkan kamu mengetik pesan balasan ini selama tak lebih dari 1 menit. Begitu selesai, ponsel kembali ke tempatnya semula–di dalam laci meja kerja. Kedua matamu langsung sigap memelototi layar komputer. Jari-jarimu seketika sibuk menari di atas keyboard. Tak lupa sesekali tanganmu menggaruk kulit kepala atau memegangi dahi yang mungkin terasa lebih hangat dari biasanya.
“Sayang, semoga kamu selalu baik-baik saja sekalipun hampir setiap hari harus berjibaku dengan pekerjaan yang katamu tak ada habisnya…”
ADVERTISEMENTS
Aku pernah begitu cemburu pada pekerjaanmu. Dengan wajah cemberut, sering kulempar tanya: daripada bersamaku, kenapa lebih banyak waktu yang kamu habiskan untuknya?
Aku mengaku salah. Mengingat kebiasaanku yang dulu, sebenarnya aku juga malu. Hampir setiap kita bertemu, aku sibuk merajuk perkara pekerjaanmu. Memajang wajah sendu dan sedikit cemberut, aku merutuki soal kegagalanmu membagi waktu.
Iya. Aku bilang kamu gagal membagi waktu, Sayang. Karena hampir 24 jam dan 7 hari dalam seminggu, kamu hanya menyisakan sedikit saja untuk kekasihmu. Sementara, kamu selalu saja sibuk dengan segala remeh temeh urusan kantor. Agenda bertemu klien, meeting dengan atasan, menyelesaikan berbagai laporan; semuanya seperti dementor yang bisa menyedot habis tenagamu.
Kita pernah sesekali bertengkar soal ini, tapi berkali-kali pula kamu berhasil membuatku tenang kembali. Sambil menggengam tanganku, kamu akan mulai menjelaskan betapa urusan pekerjaan memang tak bisa ditinggalkan.
“Dengan sisa tenaga yang kamu punya dan emosi yang ditahan sekuat-kuatnya, kamu akan bicara tentang tanggung jawab yang harus diemban dan kewajiban-kewajiban yang tidak boleh tidak dilaksanakan.”
ADVERTISEMENTS
Setelah lulus kuliah dan menjejak dunia kerja, aku akhirnya mengerti. Kamu adalah pria hebat yang membuatku tak segan mengangkat topi
Jika penelitian menyebut perempuan lebih cepat dewasa daripada laki-laki, mungkin yang terjadi pada kita justru sebaliknya. Ketika itu aku masih kuliah, sedangkan kamu sudah lebih dulu menjejak kerasnya dunia kerja. Wajar jika waktu itu aku tak bisa bersikap dewasa sebagaimana seharusnya.
Setelah lulus kuliah dan menjalani pekerjaanku sendiri, aku pun mulai mengerti. Apa yang dulu aku keluhkan padamu, kini terjadi di depan mataku. Aku berdiri di posisimu dan jadi tak kalah sibuknya denganmu. Aku pun merasakan betapa butuh perjuangan demi bisa meraih ponsel dan sekadar menulis pesan: “sudah makan siang, Sayang?”. Dan kalau pekerjaan yang gajinya tak seberapa jika dibanding gajimu saja serepot ini, bagaimana dengan hari-hari yang selama ini kamu jalani?
“Aku bayangkan tugas-tugasmu pasti lebih banyak, dengan tanggung jawab yang juga jauh lebih berat. Ketika jarang aku mendengarmu berbagi keluhan atau merutuki perkara pekerjaan, bukankah tak berlebihan jika aku menyebutmu pria hebat?”
ADVERTISEMENTS
Kamu memang pria sejati. Kamu yang bisa bertanggung jawab pada dirimu sendiri hingga membimbingku jadi manusia yang lebih baik lagi
Orang lain mungkin menganggapmu gila kerja, bahkan melabelimu sebagai laki-laki ambisius. Mereka kira kamu dan kehidupanmu terlalu membosankan. Tapi aku yang benar-benar mengenalmu jelas tak sependapat dengan mereka. Aku paham benar bahwa kamu tak seperti yang mereka katakan.
“Kesuksesan itu bukan pemberian, tapi harus diperjuangkan. Kalau tak kerja keras dari sekarang, tak ada yang menjamin kita bisa hidup enak di masa depan.”
Entah berapa puluh kali kalimat-kalimat macam itu keluar dari mulutmu. Boleh dibilang aku sudah khatam mendengar celotehmu soal rencana 5 sampai 10 tahun mendatang. Katamu, kamu ingin membelikan rumah untuk ayah dan ibumu. Berharap bisa meminjamkan modal usaha untuk saudara-saudaramu. Dan saat uang simpanan dirasa sudah cukup, kamu pun ingin resign dan merintis bisnismu sendiri.
Demi mengimbangi semangatmu yang berapi-api, biasanya aku menimpali pembicaraan kita dengan pertanyaan konyol macam “kok kerja terus, sih? Nikahnya kapan?”. Di tengah tawa kita yang meledak bersamaan, diam-diam aku sibuk mengagumi dirimu; laki-laki pekerja keras yang punya cita-cita mulia dan mimpi-mimpi gila.
ADVERTISEMENTS
Jika semua kenginanmu itu akhirnya menemukan muaranya, semoga akulah yang berdiri di sisimu dengan bangga. Saat ini hingga kelak kita dipisahkan semesta, kujanjikan yang terbaik yang aku bisa
Aku tak berharap punya pasangan yang kaya raya. Bagiku, mendampingimu yang kini masih berjuang justru membuatku lebih berbangga. Aku janjikan kamu tak akan pernah sendirian, Sayang. Ada aku yang siap jadi pendukung paling gila, yang juga akan berjuang demi masa depan dan cita-cita.
Aku berjanji tak akan lagi ada rajuk manja, apalagi wajah cemberut yang sedang jelek-jeleknya. Jika kamu bisa bekerja sekeras itu, aku pun tak boleh tertinggal di belakangmu. Kamu sudah memilihku, maka kumantapkan niat untuk berjalan di sisimu. Sampai kelak tiba waktunya hubungan kita “sah” di mata negara dan agama, aku janjikan yang terbaik yang aku bisa. Seterusnya, kamu pun boleh mengandalkanku bahkan di titik-titik terburuk dalam hidupmu.
“Ah Sayang, seandainya bisa, aku ingin menunguimu yang sedang sibuk bekerja. Menyiapkan secangkir teh hangat dan sepiring kue, lalu memijit punggungmu yang otot-ototnya hampir sekeras meja tempatmu biasa terlelap tak sengaja.”