Tanda doi serius/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Manusia gemar sekali dengan sesuatu yang singkat dan instan. Internet penuh dengan segudang informasi yang disusun sedemikian rupa untuk memuaskan kebutuhan kita akan candu tersebut. Dalam satu minggu ini saja, saya yakin anda sudah membaca sekian artikel berisi semacam checklist tips simpel yang diklaim menjawab permasalahan hidup, termasuk urusan asmara.
Mohon maaf, artikel hari ini tidak akan memuaskan kebutuhan candu ego itu. Daripada mengisi otak dengan remah-remah stereotip berjudul “Daftar Tujuh Tanda Pria Serius,” atau “Daftar Tigabelas Sikap Tanda Pria yang Yakin ke Tahap Berikutnya,” atau “Daftar Duapuluh satu Kalimat Tanda Pria Terjamin Siap Nikah,” saya ingin mengajak anda berpikir lebih dalam.
Rasanya mungkin tidak nyaman karena yang anda baca merupakan hal baru. Namun, percayalah, di akhir dari artikel ini, anda akan melihat dinamika hubungan dengan berbeda dibanding sebelumnya. Anda tidak lagi mudah diperdaya ekspektasi sendiri atau mencari tanda-tanda pembuktian keseriusan dari pasangan.
ADVERTISEMENTS
Checklist yang sering muncul di internet bisa jadi cuma ilusi belaka
Kalau mengetik keyword ‘tanda pria serius’ di mesin pencari Google, anda akan lihat banyak sekali ciri-ciri sikap mulai dari hal umum seperti “Dia meluangkan waktu untuk anda,” sampai ke hal spesifik seperti “Dia mengajak buka tabungan atas nama berdua.”
Akan tetapi, sebenarnya seberapa akurat sih daftar tanda-tanda seperti itu?
Menurut saya, semuanya sulit dipercaya jika diukur akurasinya. Saya tidak menyebut itu salah atau keliru, tapi lebih ke merasa daftar hal-hal tersebut terlalu menggeneralisasi bahkan sangat mudah untuk difabrikasi (alias pura-pura).
Di awal-awal jatuh cinta, kebanyakan pria cenderung gombal melakukan apa saja demi memikat hati seorang wanita. Mungkin hanya beberapa yang berani benar-benar merayu hingga berdusta, tapi saya yakin tidak sedikit pria yang berani janji-janji manis berlebihan, agresif mengejar-ngejar, sampai jungkir balik menunjukkan bukti keromantisan dan keseriusan.
Kemungkinan besar anda pernah didekati oleh seorang pria yang baru kenal dan baru dekat langsung nekat menyuarakan iming-iming siap untuk nikah. Iya ‘kan?
Mungkin juga anda pernah baru dekat beberapa minggu atau bulan, tapi sang pria langsung bahas angan-angan masa depan, mempertemukan keluarga, rencana berumah tangga, atau membayangkan mau tinggal di mana, punya anak berapa, dsb. Pernah begitu?
Kalau tidak tertarik, tentu anda akan merasa itu pernyataan yang konyol, mengganggu, bahkan menakutkan. Namun, kalau anda juga sudah tertarik dan sedang jatuh cinta padanya, pernyataan seperti itu terdengar indah dan bijaksana. Anda sedang sama mabuknya dengan dia.
Sesungguhnya kondisi euforia tersebut terjadi tidak pada pria saja. Wanita juga juga mengalami kemabukan yang serupa. Di awal hubungan, keduanya merasa satu sama lain sebagai sosok paling menyempurnakan dan hubungan terjamin harmonis happy ever after. Mereka merasa sudah memenuhi banyak checklist untuk hubungan serius.
Masa kejayaan/ Illustration by Hipwee
Itu sebabnya dalam kegiatan dan pelajaran di Kelas Cinta saya selalu rekomendasi tunda bahas atau rencana serius-seriusan bila belum lewat satu tahun pacaran. Nekat itu bisa berbahaya dan sia-sia saja, seperti orang mabuk menuntun orang mabuk.
Bila anda pernah beberapa kali pacaran, mungkin anda paham yang saya maksud di atas karena anda sudah mengalami sendiri berkali-kali jatuh cinta hingga meyakini seseorang sebagai soulmate lalu belakangan terbukti keliru dan tersakiti.
“Ooooh, berarti kalau pacarannya sudah lewat masa kasmaran lalu dia tunjukin sikap-sikap serius, apakah itu lebih akurat untuk dipercaya?”
Menurut saya pribadi, ya itu bisa lebih masuk akal untuk diperhitungkan bobotnya. Akan tetapi, sebelum saya lanjutkan komentar itu, saya ingin anda menyimak kisah berikut.
ADVERTISEMENTS
Kisah tentang Ella yang menyadari sesuatu tentang ‘keseriusan’
“Apa sih tandanya pria kalau sudah serius, Coach Lex?”
Begitu tanya Ella (bukan nama sebenarnya) sembari menunjukkan foto-foto dinner anniversary tahun kedua dengan pacarnya minggu lalu. Lalu, foto sederet kado dari pacarnya, mulai dari boneka Teddy Bear yang memegang buket bunga sangat besar, tas branded, smart watch beserta handphone, dan Mac Book Air terbaru.
“Jujur barang-barang itu nggak berkesan gimana-gimana sih, aku toh bisa beli sendiri. Yang terpenting bagiku adalah keseriusan. Nah, abis dinner semalam dia bilang mau minta papanya bantu modalin kita berdua bikin bisnis bareng untuk masa depan. Kalau laki-laki sudah sampai bahas begitu, itu tandanya dia sudah bener-bener serius ke tahap nikah kah?” dia menjelaskan konteks pertanyannya.
Ella/ Illustration by Hipwee
Saya pertama kali bertemu Ella di acara komunitas entrepreneur yang ia dirikan bersama teman-temannya. Sebagai pemilik beberapa bisnis kuliner yang populer di kalangan milenial, dia tergolong punya kombinasi kepercayaan diri dan kecerdasan yang jauh di atas rata-rata. Selain piawai berbisnis, dia senang berbagi inspirasi pengembangan diri bagi banyak orang lewat media sosial dan acara komunitas. Namun, dia mengaku hidup percintaannya tidak segemilang itu.
Dia pernah gagal dan kandas di tengah jalan padahal sudah bikin rencana pernikahan. Di komunitasnya pun ada banyak orang sukses yang masih lajang dan galau dalam hubungan. Itu sebabnya dia mengundang saya untuk sharing pengetahuan.
Setelah acara usai, Ella langsung ‘menculik’ saya ke sebuah kafe dan curcol tentang ketidakberuntungan percintaannya. Pertanyaan di atas tadi itu dia keluarkan setelah bercerita panjang lebar tentang enam kali pacaran di masa lampau dan dua kali nyaris nikah.
“Gagal tiga kali di bisnis, itu sih tergolong wajar, malah masih kecil. Tapi, aku nggak mau nih gagal di rencana nikah untuk ketiga kalinya. Sakit banget. Apalagi, aku udah umur segini, teman-temanku sudah pada punya anak. Nggak mau buang-buang waktu sama cowok yang nggak serius,” ujarnya menatap penuh harap jawaban yang sakti mandraguna.
“Apa aja yang kamu lakukan selama ini, yang membuktikan bahwa kamu serius?” tanya saya.
Ella terlihat agak terkejut pertanyaan tadi saya balikkan ke dia. Akan tetapi, dia bisa gesit bercerita sederet upayanya untuk merawat hubungan, menjalin komunikasi, memberi perhatian, memberikan bantuan, dsb. Dia memang wanita yang sangat komunikatif, mudah sekali bahas pajang lebar berbagai perilaku dan kebiasaan positif yang dia biasa lakukan.
“Keren banget. Seberapa konsisten kamu melakukan hal-hal itu?”
“Yah, aku lakuin itu terus dong. Kalau lagi capek pun, aku akan berusaha nebus ganti momennya supaya nggak ada yang hilang terlewatkan. Setiap hari harus luangin waktu untuk memperhatikan, nggak bisa sesekali kalau ada waktu dan mood aja.”
“Keren, saya sekarang bisa terbayang kamu seserius apa. Lalu, menurut kamu, seperti apa konsistensi pasangan bersikap serupa sepanjang dua tahun ini?”
Dia menarik napas dan membuka mulut untuk memberi jawaban, tapi tidak ada suara yang keluar. Keningnya berkerut-kerut menandakan dia sedang berpikir lebih keras, seolah berusaha memeras otak untuk jawaban. Sekitar lima belas detik kemudian, dia menatap saya dengan campuran sinar mata yang bingung dan ragu.
“Hmmm.. dia nggak konsisten sih,” tukas Ella sangat pendek, tidak bawel lincah seperti sebelumnya.
Saya diam saja agar dia bisa meresapi dan memproses apa yang baru terucap. Terlihat wajahnya perlahan sedikit menegang, seperti kewalahan menghadapi data-data baru.
“Tapi… dia bukan orang yang bandel aneh-aneh kok, dia rohani banget malah. Memangnya konsisten itu penting ya? Bukannya pria dan wanita itu beda cara nunjukin seriusnya? Wanita itu dengan perhatian konstan, pria itu dengan tunjukin bertanggung jawab dan ajak nikah. Begitu kan?”
Ella mengeluarkan sanggahan, tapi tidak terasa meyakinkan. Suaranya terdengar lirih seakan sadar bahwa argumentasinya tersebut terasa kacau dan aneh.
“Coba jujur ya Ella.. Apa yang kamu rasakan di hati… kalau dia orangnya baik, rohani, bilangnya mau serius, janji serius, mau berpikir tanggung jawab ke depan, ngajakin rencana nikah… tapi tidak konsisten merawat hubungan dan komunikasi sehari-hari?”
“Hmmm.. jadi berasa kurang sih,” jawabnya. “Kurang bisa dipercaya nilai dari apa yang dia sebut dan komitmenin. Hmmm, aku mendadak keinget, dua mantan aku yang gagal nikah kemarin juga mirip. Mereka sejak awal udah sering bahas dan targetin mau nikah kapan, tapi yah.. aku sadar barusan sekarang ini. Mereka kelihatan serius mau nikah kalau lagi bahas masa depan aja. Di luar bahas masa depan, sikapnya kayak nggak sinkron.. maju mundur nggak jelas.”
“Nggak jelas seperti apa?”
Mata Ella seketika berbinar-binar ketika menjawab, “Mungkin kalau dianalogikan kayak orang yang rajin semangat ibadah di hari Minggu dan hari-hari raya, tapi sepanjang Senin sampai Sabtunya nggak ada doa, saat teduh, rendah hati, dan sikap-sikap rohani lainnya sama sekali.”
“Analogi yang bagus banget. Jadi di awal kamu kan penasaran soal tanda pria serius, sekarang apa sih yang kamu sudah sadari tentang itu?”
“Aku sadar pria yang ngaku pengin serius, ngomong, ngajak serius itu mesti kita cross check dulu apakah sesuai dengan sikapnya sehari-hari sama kita. Yang penting bukan cari pernyataan seriusnya, tapi cek konsistensi perilakunya.”
Ella senyum-senyum sendiri seusai menjawab itu. Walau sedikit terkejut karena tersadarkan perspektif baru tentang kekasihnya, dia mengaku tidak ragu atau takut melangkah ke depan bersama sang kekasih. Justru dia jadi lebih paham apa yang perlu dia lakukan untuk mengevaluasi hubungan, serta melindungi hati dari kekeliruan dan kebutaan di masa lalu.
ADVERTISEMENTS
Dari cerita tersebut, kita bisa simpulkan bahwa konsistensi harus lebih dilihat daripada komitmen yang sekadar diucapkan
Rumusnya konsistensi>komitmen
Setelah pacaran sekian lama, biokimia tubuh yang membuat orang jadi mabuk kelewat romantis dan manis umumnya sudah memudar sehingga lebih banyak terlihat sisi-sisi pribadi yang apa adanya. Hal itu terjadi dengan Ella dan sang kekasih yang baru merayakan pacaran dua tahun.
Jadi, dalam kondisi yang apa adanya tanpa ada pengaruh kasmaran begitu, apakah seseorang bisa dipercaya penuh saat dia menunjukkan niatan lanjut ke tahap berikutnya alias menikah?
Menurut saya, hal itu jelas perlu diapresiasi dan diberi dukungan sih. Namun, soal bisa dipercaya penuh, sepertinya itu nanti dulu. Sekedar menjanjikan dan menunjukkan keseriusan tidak sama dengan punya kekuatan ataupun kemampuan untuk benar-benar melakukannya.
Konsisten lebih penting/ Illustration by Hipwee
Misalnya, saya sudah berkali-kali janji serius melakukan sesuatu (seperti baca buku hingga habis tamat, olahraga setiap hari, atau menolak makan martabak mabis lebih dari satu potong), tapi kemudian saya terbukti melupakan dan mengabaikan komitmen itu. Saya yakin anda punya banyak contoh pengalaman serupa.
Itu alasannya di Kelas Cinta, saya berulangkali menjelaskan bahwa tanda serius dan ucapan komitmen itu nyaris tidak ada artinya bila tidak disertai konsistensi perilaku-perilaku merawat hubungan.
Seseorang mudah saja sesekali perhatian, tapi ala kadarnya dalam interaksi sehari-hari. Dia mudah saja memulai obrolan tentang nikah, tapi sebatas wacana jangka panjang saja tidak disertai action plan sehari-hari. Dia mudah saja bilang mau belajar lebih peka dan suportif, tapi sehari-hari lebih banyak habiskan waktu bersama geng olahraganya. Dia mudah saja bilang sudah yakin cocok dengan kita, tapi sehari-harinya dia lebih sering menjatuhkan dan mengecilkan pendapat kita.
Berkata-kata, berencana, dan berjanji itu murah. Sekedar membicarakan masa depan itu juga mudah.
Yang benar-benar mahal (artinya berkualitas) dan susah (artinya serius) itu adalah mempraktikkannya setiap hari. Kita bisa menilai seberapa besar niat seseorang dari harga yang dia rajin bayar berkala demi memelihara hubungan. Perilaku konsisten jauh lebih bernilai daripada sekedar pernyataan komitmen.
Bayangkan anda adalah guru sekolah.
Bagaimana penilaian anda pada seorang murid yang nilainya bagus setiap kali ujian, tapi di sepanjang semester dia terlihat malas, sering alpa atau bengong, tidak mau terlibat dalam tugas kelompok, sering terlambat, dan asal-asalan menyelesaikan pekerjaan rumah, dsb?
Apakah nilai ujiannya yang selalu bagus itu anda pegang sebagai bukti kemampuan, kepandaian, dan keseriusan dia? Atau justru anda jadi curiga karena nilai itu terasa tidak sinkron sejalan dengan sikap realita dia sehari-harinya?
Komitmen harus sejalan dengan konsisten.
ADVERTISEMENTS
Kalimat “Aku serius,” bukan jaminan bahwa ia sungguh-sungguh akan menyeriusi sampai nanti
Jangan pernah lupa bahwa manusia itu rentan berubah dan berganti pikiran.
Seseorang yang menunjukkan keyakinan seratus persen di awal bisa saja jadi memandang dengan penuh keraguan dan suatu ketika berbalik arah. Saya yakin anda sendiri pasti juga pernah merasa ragu bahkan berubah pikiran seperti itu.
Kemarin saya iseng lakukan survei di Instagram tentang keyakinan menikahi pasangan, dan hasilnya sangat menarik:
Hasil riset/ Infographic by Hipwee
Poin a dan b kira-kira cukup relevan dengan dua pembahasan di atas, yaitu tanda serius yang mudah diucapkan dan difabrikasi (oleh pria dan wanita), artinya serius tidak selalu berarti diniatkan menikah. Kalaupun seseorang benar-benar serius, ada poin c yang mengingatkan kita bahwa keseriusan itu bisa berubah kapan saja.
Survei di atas terlalu informal dan kecil samplingnya, jadi anggap saja sekedar sentilan agar kita waspada tidak menjerumuskan diri ataupun terlalu cepat menyakini penuh ucapan seseorang.
Semakin seseorang serius memikirkan masa depan, biasanya semakin dia berhati-hati untuk tidak agresif janji-janji, meminta, ataupun mengajak hubungan serius terlalu dini. Justru bila seseorang merasa tidak suka atau tersinggung jika kamu memperpanjang pacaran demi sama-sama lebih mengenal dan mempersiapkan diri, anda perlu bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuatnya dia begitu terburu-buru? Mengapa dia bersikap pernikahan bagai perlombaan dan harus dicapai secepat-cepatnya? Adakah sesuatu yang dia ingin tutupi dan tidak ingin kita temukan? Tingkat perceraian itu cukup tinggi lo, apa yang bikin dia begitu nafsu dan nekat mengambil risiko?
Nah, sekarang coba buka lagi artikel tentang tanda-tanda pasanganmu serius di internet. Lumayan berbeda rasanya dibanding sebelumnya, kan?
Selamat! Anda sudah jadi lebih piawai melibatkan nalar dan logika dalam bercinta.
Lex dePraxis adalah Love & Relationship Coach yang selama empat belas tahun ini menjadi pionir pengembang ilmu manajemen relasi cinta dan rumah tangga di Indonesia. Sebagai co-founder Kelas Cinta, visinya adalah menyejahterakan hidup manusia lewat peningkatan kualitas hubungan dan pernikahan, sesuai dengan mottonya, “Love beter, live better!”
Seusai pendidikan di Universitas Indonesia, Lex rajin menambah berbagai kompentensi dan sertifikasi pengembangan diri dari dalam dan luar negeri. Beliau mempelajari teknologi alam bawah sadar dari Indonesian Board of Hypnosis, Neuro-Linguistic Programming dari NLP Consult Indonesia dan NF-NLP Florida, psikologi transpersonal dari Insight Institute Indonesia, life coaching dari Indonesia Association of Life Coach, professional coach dari Loop Institute of Coaching, serta Gottman Method Couples Therapy Level 1 & 2 dari The Gottman Institute