Hey kamu, yang akan segera jadi suamiku!
Terima kasih telah mau mengenal dan menemaniku beberapa tahun ini. Aku tak menyangka jika pertemuan biasa di tempat kerja ternyata bisa merubah banyak hal dalam hidupku.
Aku pun begitu berterimakasih kepada Tuhan karena kita dipertemukan, hingga sampai saat ini aku merasa jadi wanita yang paling beruntung di dunia.
ADVERTISEMENTS
Kau adalah rekan kerja yang keras kepala. Produktivitas dan kegigihanmu dalam bekerja akhirnya membuatku jatuh cinta.
Saat menjejakkan kaki di tempatku bekerja, semua terasa biasa saja. Datar dan tak ada yang istimewa. Bahkan hari-hariku di kantor ini pun tak ubahnya dengan profesi di kantor sebelumnya. Masa percobaan tiga bulan dengan sejumlah proses adaptasi.
Memang tidak mudah untuk menjalani waktu itu, terlebih aku harus sering bertanya ke sana dan ke mari. Belum lagi dengan budaya dan peraturan perusahaan yang pakemnya berlainan dari pengalaman sebelumnya. Aku dituntut mampu bekerja secara cepat dan segera mengakrabi deadline yang tak datang sekali, dua kali. Aku juga harus menggerakkan inisiatif untuk menanyakan hal-hal yang tak kuketahui. Tapi, bukankah itu wajar dan semua orang juga mengalaminya pada permulaan profesi?
Pada masa percobaan itu juga, yang mempertemukan kita. Kulihat bagaimana engkau menyampaikan pendapatmu yang cemerlang dalam setiap rapat. Memang engkau adalah sosok yang sangat amat keras kepala. Seisi kantor pun mengamini. Akan tetapi semua orang juga mengagumimu karena keras kepalamu hadir dengan logika yang teramat kuat. Kami tak pernah sangsi lagi untuk menerima segala hasil karya pemikiranmu. Kenyataannya, tidak ada yang sia-sia dari kerja kerasmu. Semuanya berhasil mengangkat nama perusahaan ini hingga di kelasnya.
Rupanya rasa kagum ini punya kadar yang berlebih. Nama dan wajahmu larut dalam mimpi dan lamunanku. Rasa kagum itu juga telah mengubahku menjadi sosok yang berani. Ya, tentu saja sedikit demi sedikit kuberanikan diri mengenal kepribadianmu. Aku tak ragu lagi bertanya ini dan itu kepadamu, sebab engkau juga yang kuanggap paling piawai mengenai segala permasalahan di perusahaanku. Bahkan tugas untuk posisi sepertiku, barangkali hanyalah butiran debu untuk orang sehebatmu.
ADVERTISEMENTS
Aku bahagia ketika hubungan kita bisa lebih dari sekadar teman biasa. Sayangnya, peraturan kantor membuat kita was-was untuk melangkah ke jenjang yang selanjutnya.
Pepatah Jawa yang mengatakan “witing tresna jalaran saka kulina” (cinta karena terbiasa) ternyata bukanlah isapan jempol belaka. Pasalnya intensitas pertemuan yang begitu sering telah menimbulkan percik-percik kebahagiaan pada hati kita. Bila orang lain sepaham dengan pepatah “I hate monday” dan TGIF (Thanks God, It’s Friday), kami berdualah yang jadi penentangnya.
Hari kerja malah jadi semangat yang membara. Sebaliknya, akhir pekan dan libur panjang dipenuhi dengan tumpukan kerinduan. Namun seketika hari kerja menyapa, aku terbawa kegigihanmu bekerja. Prestasiku pun meningkat seiring masa percobaan yang telah usai. Untuk yang satu ini, aku sungguh berhutang padamu. Jika boleh jujur, aku sangat berterima kasih padamu. Bimbingan serta senyum tulusmu senantiasa menumbuhkan wawasan dan meningkatkan etos kerjaku.
Sayangnya, kita lupa akan satu hal. Di awal masa percobaan, telah kupelajari bahwa sesama pekerja kantor ini dilarang menjalin hubungan kasih. Alasannya, perbuatan seperti inilah yang mampu menghancurkan kinerja dan kemajuan perusahaan. Atau lebih tepatnya mengurangi profesionalitas para pekerja. Para pekerja akan kehilangan konsentrasinya karena tenggelam dalam romansa dan menghabiskan waktu berdua di kantor tanpa manfaat.
Meski memang begitu peraturannya, aku lagi-lagi tak habis pikir. Mengapa masih ada perusahaan profesional yang beranggapan demikian? Kenyataannya sejak rasa cinta itu tumbuh, tak sedikit pun kinerja kita berkurang. Kau bisa mengamatinya lewat prestasiku seusai masa percobaanku berakhir. Begitupun dengan prestasi priaku yang malah tak ada hentinya mengabdi untuk perusahaan ini.
ADVERTISEMENTS
Tapi, aku dan kau nyatanya tak gentar. Hubungan kita bukannya diakhiri, namun menjadi semakin serius dari hari ke hari.
Meski hati selalu gamang dan dipenuhi pertanyaan akan masa depan, engkau adalah pria yang tiada hentinya menyemangatiku. Sempat terpikir untuk mengakhiri segalanya saja sesaat sebelum kau berujar,
“Jika permasalahan kerja saja kau bisa segemilang itu, kenapa harus menyerah pada permasalahan seperti ini? Mari kita hadapi berdua saja.”
Sejak itu, aku tak pernah meragukan lagi kesungguhanmu yang tak ada main-mainnya. Untuk membuktikannya, ide kreatifmu selalu datang di kala hati ini sering penat dan berpikir entah harus berbuat apa. Mulai dari sapaan hangat via internal chat, janji pulang bersama usai jam kantor, makan siang di jam istirahat, dan modus sama-sama lembur. Semuanya dijalani penuh perasaan sumringah meski harus sembunyi-sembunyi layaknya petak umpet. Aku tahu, bukan priaku namanya jika masih pantang menyerah.
Jika sebelumnya kita masih harus menabung rindu di kala akhir pekan dan libur panjang, kini tak lagi demikian ceritanya. Kau sudah berani menyisihkan waktu dan mengajakku ke tempat-tempat yang membuatku takjub, sekaligus menaikkan tingkat setia ini padamu. Dari situlah, aku semakin meyakini kalau kau pria yang sejati untukku dan menggenapi hingga akhir hidup. Kerja kerasmu tak lagi untuk profesi dan prestasi di meja kerja, melainkan sengaja kau bagi waktu untuk mempertahankan cintaku supaya tak pudar. Kagumku lagi membuatku berucap,
“Terima kasih telah gigih mempertahankanku!”
ADVERTISEMENTS
Kau memilih merelakan posisi di kantor lamamu dan mencari pekerjaan baru. Dan satu-satunya alasan yang menguatkan adalah keinginanmu untuk segera menikahiku.
Boleh percaya, boleh tidak. Ini adalah perbuatan paling gila yang pernah kudengar seumur hidup! Bagaimana tidak? Sejurus itu kau melontarkan niat untuk meninggalkan kantor yang telah berjasa mempertemukan kita. Lantas, kau merencanakan karir yang lebih menjanjikan demi masa depanku kelak.
Tidak ada yang sanggup kukatakan selain perasaan yang penuh haru biru. Sehebat itukah diriku hingga kau rela melepas profesi yang bertahun-tahun kau usahakan dengan keras kepala? Bagimu, yang terpenting adalah karirku yang baru saja terbangun. Paling tidak, karirku perlu mumpuni terlebih dahulu. Sedangkan engkau, sudah cukup bagimu untuk mengabdi pada perusahaan ini.
Kalimat gila yang kudengar selanjutnya adalah niatmu untuk segera menikahiku.
Ya! Setidaknya aku memahami bahwa niatmu keluar dan merelakanku tetap berkembang di perusahaan ini adalah demi alasan komitmen cinta sehidup semati. Aku tak sanggup lagi berkata tidak. Memang inilah keputusan terbaik yang bisa diambil dibandingkan harus terus-menerus menjalani hubungan yang diam-diam. Lagipula, rekan-rekan di kantor bisa jadi telah mencurigai semua ini.
Priaku, terimakasih atas segala usahamu. Terimakasih atas segala pengorbananku. Aku yakin bahwa engkau lah pria yang ditakdirkan Tuhan untukku. Ibarat audisi, kau telah memenangkan seleksi untuk meyakinkanku memberikan seluruh akhir hidup padamu. Aku tak akan ragu lagi menjadi istrimu kelak. Aku tak akan lagi menolak menjadi ibu dari anak-anakmu nanti.
Terimakasih pula perusahaan tempatku bekerja. Jika saja aturan “dilarang berpacaran dengan sesama pekerja kantorku” tiada, bisa jadi kisah kami tak akan sekuat ini. Niatku kini tak banyak. Aku akan tetap bekerja sebagaimana biasanya. Priaku pun akan segera mempersiapkan karirnya yang lebih cemerlang di tempat lain. Berdua dan bersama, kita akan membangun hidup yang lebih baik.
Dari aku,
Wanita yang akan segera menjadi istrimu