“Kita adalah sepasang sepatu”
“Selalu bersama tak bisa bersatu”
Potongan lagu Tulus di atas seperti mewakili kisah kita dulu. Ya, kenangan bersamamu selalu menghampiri pikiran ketika kudengar sebait lagu manis itu. Ingatkah kamu tentang segala cerita manis dan pahit yang pernah kita lewati bersama sekian tahun yang lalu?
Kini, kita sudah terpisah sekian lama. Aku tak tahu lagi dirimu saat ini berada di mana. Kita ibarat sepasang sepatu usang yang terbuang dan telah terpisah. Meski mungkin kau telah menemukan pendamping barumu, ijinkan aku menuliskan secarik kisah kita dahulu.
ADVERTISEMENTS
Kita bertemu lewat cara yang tak biasa. Menjalani proses skripsi yang menyita pikiran dan tenaga, kita justru menikmatinya dan mulai saling suka
Sebagaimana layaknya mahasiswa tingkat akhir, kita sama-sama terjerembab dalam kerasnya proses penulisan skripsi. Banyak hal yang rasa-rasanya begitu tak ringan dijalani. Membaca buku-buku referensi, bertemu dosen pembimbing, hingga merunut kata demi kata agar bisa jadi tulisan yang padu.
Tapi, tahukah kamu, bahwa sesulit apapun hal-hal yang dilewati ketika itu malah membuatku bahagia? Ya, karena di tengah kesulitanku nyatanya Tuhan cukup berbaik hati dengan mendekatkan kita. Jujur aku menikmati setiap momen susah dan senang yang pernah kita lewati bersama.
ADVERTISEMENTS
Bertukar kabar denganmu pernah jadi rutinitas harianku. Cerita tentang dosen pembimbing dan buku-buku referensi bisa jadi obrolan yang seru
“Gimana progresmu? Kapan bisa ketemu dan bahas skripsi lagi?”
“Progresku gitu-gitu saja. Aku masih susah ketemu dosenku. Gimana kalo kita ketemu besok?”
Kira-kira, percakapan seperti itulah yang mengawali seluruh rangkaian kebersamaan kita. Bertukar kabar denganmu bagaikan sebuah rutinitas setelahnya. Tentang bagaimana metode, sample atau menyiasati dosen pembimbing yang menyebalkan bisa jadi topik yang seru jika kamu adalah tempatku mengadu. Ya, skripsi memang bukan satu-satunya yang kita bicarakan. Banyak hal lain yang selalu menarik kita perbincangkan.
ADVERTISEMENTS
Aku masih bisa bersyukur sekalipun proses skripsiku terasa stagnan, karena kamulah rekan terbaik yang selalu bisa membuatku merasa nyaman
Seiring berlalunya waktu, terlalu banyak yang kita bahas. Sejauh itu pula kita mengenal satu sama lain. Aku tak segan mencurahkan segala keluh kesah pribadiku padamu. Begitu pun engkau. Barangkali perjuangan skripsi kita yang stagnan, memberi hikmah pada rasa nyaman yang kita rasakan. Tak jarang, kita pun berusaha agar bisa lebih sering bersama di tiap kesempatan.
ADVERTISEMENTS
Kita bisa jadi rekan yang kompak bekerja sama. Setelah berjibaku sekian lama, kita berhasil menyandang gelar sarjana berdua
Perjuangan skripsi akhirnya menemui puncaknya. Tiba waktu kita menghadapi dosen dan siap berjibaku dalam sidang. Setelah decak jantung yang sama-sama teruji hebat, kau dan aku berhasil lulus. Bahagia tak terkira menghampiri, seakan-akan kita tak peduli lagi tentang berapa tinggi IPK, apakah revisi atau tidak, dan berapa nilai skripsi yang kita dapat.
Hingga akhirnya tibalah saat kita menyandang toga. Sebuah prosesi wisuda yang sama-sama membuat kita berbangga. Telah kita buktikan pada dunia, kerjasama kita memang luar biasa. Aku tahu, bahwa tanpa kamu, aku tak akan sampai di titik ini.
ADVERTISEMENTS
Wisuda bukan akhir dari segalanya. Paham betapa sulitnya mencari kerja, aku dan kamu hanya bisa saling bertukar doa
Mendatangi pameran bursa kerja atau mendaftar aplikasi di dunia maya, tidaklah asing lagi bagi kita. Usai menuntaskan momen sulit bernama skripsi, lagi-lagi kita terjerembab dalam perkara mencari kerja. Seolah-olah Tuhan memberi kesulitan karena senang memihat kita bersama.
Berulang kali kau dipanggil wawancara oleh perusahaan ternama. Berulang kali pula kau pulang dengan tangan hampa. Entah itu minat yang tak sesuai, gaji tak sepadan, sistem kerja yang melelahkan, dan beragam keluhan lain. Tak jauh berbeda, aku pun begitu. Kita hanya dapat berjuang dan mendoakan satu sama lain, berharap Tuhan senantiasa memberi keajaiban.
ADVERTISEMENTS
Ketika akhirnya kita sama-sama mendapat pekerjaan, aku pun membayangkan betapa sedihnya jika aku dan kamu harus tinggal berjauhan
Suatu pagi, kau mengabariku dalam sebuah pesan singkat. Kubaca semuanya dengan hati-hati dan aku bayangkan wajahmu yang tengah berbinar bahagia. Sayangnya, kegembiraanmu membawa kesedihan lain bagiku. Bukannya aku iri denganmu yang sedikit lagi bisa meraih impian. Toh aku pun telah menerima sebuah tawaran yang datang padaku.
Ya, kau tak akan lagi tinggal satu kota bersamaku. Kau akan melakoni pekerjaan yang begitu menguras waktumu. Terbayang dalam pikiran jikalau hal yang terburuk akan terjadi padamu. Namun aku hanya memendam kesedihanku dalam benakku sendiri. Aku tak akan mau bersikap egois. Bagaimana pun, impianmu adalah kebahagiaanmu dan kebahagiaanmu adalah bahagiaku juga.
Perpisahkan yang aku takutkan pun akhirnya datang. Melihat kepergianmu membuatku tertunduk diam dan meremang
Yang aku takutkan memang terjadi, akhirnya kau pergi demi mengejar mimpi. Impianmu yang letaknya bermil-mil jauhnya. Kini aku sendiri di sini, tanpa ragamu yang sehari-hari menemani. Berharap bisa mengusir sepi, kawan-kawan lama pun kini tak bisa kutemui. Mereka kini sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka yang bisa menghabiskan waktunya untuk mengurus anak dan suami. Sementara, aku di sini masih berkawan dengan bayanganmu dalam sepi.
Kita sama-sama tenggelam dalam kerasanya dunia kerja. Tak ada lagi waktu untuk bersua, bahkan sekadar berbagi cerita
Tiada hari tanpa rutinitas, tiada hari tanpa kesibukan. Meeting dengan klien, konsep program baru, tinjauan ke lapangan, atau menyusun rencana kerjasama dengan instansi lain menjadi hal yang terlalu lumrah bagiku. Begitu terbiasa dengan perkara-perkara rumit sehingga hanya sedikit waktu yang tersisa untuk memikirkanmu. Aku merasa sedikit bersalah karena melupakanmu, mungkin di sana kau pun merasakan hal itu.
Ya, mungkin beginilah rasanya menjadi manusia dewasa yang dipenuhi tanggung jawab akan diri sendiri dan juga keluarga. Aku ingat, dulu nasihat-nasihat itu yang biasa kau bagikan padaku ketika kita sama-sama masih berjuang.
Berkompromi dengan jarak jelas bukan perkara mudah. Ketika hubungan cinta bukan lagi prioritas, mungkin lebih baik jika kita menyerah
Kau dan aku sempat sepakat, membuat semacam hukum tak tertulis. Soal bagaimana seharusnya kita bertukar kabar atau merencanakan pertemuan. Kau dan aku begitu bahagia saat membuat kesepakatan. Sayangnya, mentaati peraturan itu tak lagi semudah yang kita bayangkan.
Kesepakatan kita ibarat euforia sesaat saja. Kita tak lagi bisa berkompromi dengan jarak yang kini menjadi pemisah dalam hubungan cinta. Pekerjaan membuat kita seperti menanggung beban yang tak ada habisnya. Kita terlalu lelah dan mungkin sebentar lagi akan sepakat untuk menyerah.
Dan ketika hubungan tak lagi bisa diperjuangkan, menyerah pada keadaan mungkin jadi satu-satunya pilihan
Sampailah kita pada suatu titik, di mana tak peduli dengan perkara menjaga komunikasi. Kau sudah terlalu nyaman dengan pekerjaanmu, aku pun mungkin terlalu intim dengan mimpi-mimpiku.
Kita sama-sama sadar dengan hal ini. Mungkin, inilah saatnya untuk kita berpisah dan tak lagi mencerapi ikatan hati. Kita sama-sama berhak membuka hati dan menjalani hubungan yang lebih baik lagi. Kita sama-sama butuh pasangan yang bukan sekadar jadi pendamping, tapi seseorang yang jadi teman dalam perjalanan mengejar mimpi. Dan saat hubungan tak bisa lagi diperjuangkan, menyerah dan merelakan adalah keputusan terbaik yang menenangkan.
“Cinta memang banyak bentuknya. Mungkin tak semua bisa bersatu.”