Aku membayangkan kelak kita bisa jadi rekan tidur bersama. Pada pagi-pagi yang biasa dengkur pelanmu jadi suara pertama yang menyapa gendang telinga. Satu tanganmu terselip di bawah selimut, sementara lengan satunya merengkuh pinggulku. Kamu akan terbangun karena gerakanku yang mengagetkanmu.
Bergelung sedikit, dengan mata masih setengah terbuka satu tanganmu keluar dari bawah selimut — mengetatkan pelukannya di tubuhku. Kita akan merayakan pagi dengan wajah berkerut sebab tidur terlalu lama di satu sisi kasur. Kaki yang saling menindih nyaman membuat kita merasa mujur.
Semoga saat itu segera tiba. Hari di mana wajahmulah yang kutemukan saat pertama membuka mata.
ADVERTISEMENTS
Tak perlu cemas walau sekarang kita belum bersama. Kau dan aku bukan rel kereta. Kita akan saling menatap lalu merasa saling menemukan muara
Tak usahlah memenuhi linimasa media sosialmu dengan kegalauan yang tak perlu. Atau menghabiskan waktu produktifmu demi menemukanku. Asal kau tahu, aku di sini. Sedang menjalani kompartemen hidupku sendiri.
Jika pertemuan kita adalah pesta penasbihan gadis masuk lingkaran sosialita, sekarang kau dan aku hanya sedang menjalani prosesnya. Kau disibukkan dengan kewajiban memimpin organisasi rintisan yang sesuai panggilan jiwa, sementara aku berjibaku dengan tulisan dan diksi yang seakan tak ada habisnya.
Orang boleh bilang kita kurang berusaha. Atau bahkan dianggap tak mau membuka hati karena urusan perasan jadi begini terjal jalannya. Mereka boleh berpendapat apa saja — tapi hanya kita yang tahu apa yang sedang diperjuangkan dengan begini kerasnya.
Melunasi impian pribadi sebelum bersama nanti akan meringankan langkah kaki. Saat sudah saling memiliki, corong impian yang kosong membuat kita leluasa berlari.
Lagipula apa yang harus membuat kita cemas lama-lama? Kau dan aku bukan rel kereta yang hanya bisa bersisian tanpa bisa bersama. Suatu hari kita akan saling menatap mata dan mengetahui bahwa inilah muaranya.
ADVERTISEMENTS
Gulir lehermu bertransformasi jadi rute yang paling ingin kuikuti. Jika saatnya tiba nanti bahu dan dadaku juga bebas kau panjati
Menemukan lehermu di akhir hari jadi semagis proses pengakuan dosa. Meletakkan kepala pada jarak antara leher dan bahumu, mengusapkan bibir pada lurusnya tulang belikatmu, menciptakan surga kecil pada mata dan penciumanku. Di akhir hari kini kutahu oase yang harus kutuju.
Gulir-gulir halus di lehermu jadi petunjuk yang mengarahkan kecup bibirku. Hangat yang menguar dari situ membuatku ingin menetap di bawahnya, selama kau ikhlas membiarkanku di sana. Jika boleh, akan kubangun tenda tepat di bawahnya agar kehangatannya bisa kunikmati lebih lama.
Kau pun tak perlu lagi khawatir perkara pelepasan. Bahu dan dadaku jadi arena meluapkan rasa tanpa menyisakan dosa berkepanjangan. Kau bebas jadi pelakon American Football, pitcher handal, sampai menciptakan rute mencari harta karun yang memusingkan. Dada dan bahuku bebas kau jajah tanpa perlu banyak pertanyaan.
ADVERTISEMENTS
Tak sabar rasanya menunggu masa kamu jadi perwujudan nyata dari doa. Menemukan mata mengantukmu , kutahu kini pencarianku ada ujungnya
Kamu jelas bukan orang pertama yang kupegang tangannya. Bukan juga lawan jenis pertama yang punggungnya kujamah hangat tanpa pretensi di baliknya. Petualangan berbasis kuatnya gejolak di dada sudah mengantarkanku pada pintu-pintu yang sudah kubuka sebelumnya.
Tapi tak perlu khawatir pada kuatnya rasaku. Toh buktinya semesta menggulirkan jalan mulus (well, boleh kita lupakan beberapa pertengkaran tak penting itu?) hingga kita bisa bersatu.
Kau, jadi orang yang punya otoritas menguras seluruh isi tubuhku. Buatmu, tubuhku bebas dibentuk seliat tanah lempung dalam gerakan jarimu.
Seperti oilfield man yang terus menunggu hari sampai saat kapal jemputan tiba, kau adalah ujung pencarian yang kusyukuri kedatangannya. Kamu membuat semua pencarian dan petualangan yang sempat membuatku babak belur tidak terasa sia-sia.
ADVERTISEMENTS
Bersabarlah, calon rekan hidup dan tidur bersama. Momen sakral itu akan segera tiba bagi kita
Waktu tidak bisa disuap dan dipercundangi. Ia akan datang pada titik terbaik yang telah semesta yakini.
Yakinlah, jika boleh memilih sekarang aku juga sudah ingin kamu ada di sini. Menggantikan posisi gulingku yang setiap malam bisa kudekap erat. Menggantikan porsi musik yang sengaja kupasang menyumpal telinga demi menghalau penat.
Namun bukankah kita seharusnya adalah sepasang kebaikan yang datang pada saat yang tepat, bukan diusahakan dengan nekat?
Bersabarlah, kumohon. Sebentar lagi saja. Sampai putaran semesta menunjukkan kompas terlapang untuk kita. Sampai tidak ada lagi impian yang terganjal jika kita bersama. Sampai bersatunya kita membawa gelenyar penuh percik ke seluruh tubuh — yang bukan hanya mencipta peluh. Namun menciptakan rasa di hati yang penuh.
Sampai kelak tiba saatnya aku bisa bangun di sisimu. Aku akan sabar menunggu.