Bentuk relasi Friend with Benefits (FWB) sedang populer akhir-akhir ini. Nggak sulit menemukan ruang dunia maya yang berisi pengakuan atau curhatan para pelakunya. Jika diperhatikan, rata-rata curhatan para pelaku FWB nggak jauh-jauh dari aktivitas seksual. Namun, realitas ini segera dibantah oleh Renata yang mengaku sudah pensiun dari dunia per-FWB-an.
Menurutnya, FWB nggak seindah bayangan banyak muda-mudi zaman sekarang. Sebaliknya, sebagai mantan pelaku FWB, Renata justru nggak menyarankan bentuk relasi ini, apalagi kalau cuma fokus pada aktivitas seksual saja. Bila menengok beberapa tahun ke belakang, istilah FWB lebih general dan nggak melulu tentang aktivitas seksual. Secara istilah, FWB zaman dulu mungkin lebih dikenal dengan TTM (Teman tapi Mesra).
Nah, Renata nggak melarang siapa pun melakukan FWB. Bukankah setiap orang memiliki pilihan hidup dan keputusannya sendiri? Namun, dia ingin berbagai beberapa hal yang sering diabaikan oleh pelaku FWB. Sedikit bocoran nih, ada tanggung jawab besar di balik bayangan FWB yang menyenangkan.
Yuk, simak perspektif Renata tentang FWB dalam ulasan ini. Siapkan diri dan ekspektasi karena bisa jadi WFB di bayanganmu nggak sesuai dengan realitas FWB yang sebenarnya.
ADVERTISEMENTS
1. FWB bukan relasi alternatif untuk menghindari komitmen, justru dibutuhkan komitmen yang kuat
Ada pandangan salah kaprah yang selama ini terbentuk di bayangan sebagian besar pelaku FWB. Kesalahan interpretasi tentang konsep WFB akhirnya menyebabkan sejumlah masalah tak terduga. Jadi, kebanyakan orang menjalani FWB karena merasa bebas dari komitmen dan tanggung jawab. Karena ikatannya bukan relasi resmi seperti pacaran, pelaku mungkin merasa lebih leluasa berlaku seenaknya dalam relasi FWB.
Sayangnya, anggapan tersebut nggak benar. FWB sama seperti relasi lain yang membutuhkan komitmen dan batasan yang jelas. Kamu dan doi harus menyepakati banyak hal untuk menjaga relasi FWB dan meminimalisir kesalahpahaman. Kalian harus bisa berkomitmen untuk nggak saling melibatkan perasaan atau mencampuri urusan masing-masing, misalnya.
Ingat, ya, FWB memang bukan relasi pacaran. Namun, baik FWB maupun pacaran membutuhkan komitmen bersama agar relasinya berjalan sehat. Jangan jadikan FWB sebagai pelarian untuk menjalin relasi tanpa komitmen sebab ekspektasi tersebut sangat mustahil.
Beberapa topik yang harus clear sebelum kalian menjalani FWB:
Apakah memungkinkan adanya peluang untuk menjalin relasi romantis?
Kapan relasi FWB berakhir?
Apa saja yang nggak boleh dan boleh dilakukan oleh kamu dan doi dalam relasi FWB?
Bagaimana kalian menyelesaikan konflik dalam relasi FWB?
5 poin tersebut hanya contoh kecil saja. Ada banyak topik sulit, tapi mendasar yang harus dibicarakan. Kalau nggak punya kesiapan untuk mendiskusikannya, relasi FWB kalian bisa bubar di tengah jalan dengan konflik yang berakhir rumit, bahkan bisa menyebabkan terjadinya kekerasan. Yakin kamu sanggup?
ADVERTISEMENTS
2. Nggak sedikit pelaku menggunakan dalih FWB untuk menutupi perselingkuhan. Duh, hati-hati!
Renata pernah menjalani FWB dengan seseorang yang mengaku menganut konsep open relationship, model relasi modern yang berpasangan dengan lebih satu orang. Meski sudah memastikan dengan cukup jelas soal model relasi partner FWBnya, Renata baru sadar kalau dirinya adalah selingkuhan.
Open relationship merupakan konsep relasi terbuka yang harus disepakati masing-masing pihak. Renata baru tahu bahwa pasangan partner FWBnya menganut konsep close relationship. Singkatnya, mereka nggak pernah menyepakati untuk menjalin open relationship. Pada akhirnya, status Renata sebenarnya bukan partner FWB, tapi selingkuhan. Di pertengahan relasi, Renata memutuskan hubungan FWB dengan doi.
Apa yang dialami Renata kerap dialami pelaku FWB lain. Pasalnya, banyak pelaku FWB yang masih nggak paham tentang konsep modern dating seperti FWB, open relationship, dan sebagainya. Apa pun bentuk relasinya, keterbukaan dan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat adalah hal dasar yang harus terpenuhi. Kalau ada pihak yang nggak mengetahui artinya relasi tersebut gagal sebab ada pihak yang akan terluka. Jangan malah mencari pembenaran, ya~
Risiko FWB menurut mantan pelakunya | Illustration by Hipwee
ADVERTISEMENTS
3. Risiko perubahan perasaan yang membuat kamu dan doi nggak nyaman, bisa-bisa pertemanan berakhir buruk
Selama menjalani FWB, Renata berusaha untuk nggak melibatkan perasaan. Kesepakatan ini juga selalu dibicarakan dengan partner FWBnya. Namun, kemungkinan baper (bawa perasaan) kadang nggak bisa dikendalikan. Kedekatan fisik bisa jadi menumbuhkan kedekatan emosional. Jika hal ini terjadi, biasanya Renata dan doi akan mengakhiri hubungan FWB, baik dengan memutuskan pertemanan atau sekadar menjaga intensitas komunikasi dan pertemuan.
Inilah risiko yang sering kali luput disadari. FWB yang berakhir memungkinkan pertemanan juga kandas. Artinya, kamu bukan hanya kehilangan partner FWB, tapi juga kehilangan teman. Kalau benar-benar memutuskan untuk menjalani relasi ini, kamu harus cerdas mengatur ekspektasi agar nggak terlampau kecewa dan sakit hati.
ADVERTISEMENTS
4. Pelaku FWB rentang mengalami penyakit menular seksual atau kehamilan tidak direncanakan, wajib hati-hati dan bertanggung jawab!
Ngomongin FWB, jangan buru-buru memikirkan hal-hal yang enak saja. Lantaran setiap pelaku berhak menjalin interaksi seksual dengan orang lain, nggak ada jaminan kalau partnermu cukup aware dengan kesehatan diri. Nggak jarang, lo, pelaku FWB yang terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) atau mengalami kehamilan tidak direncanakan. Kalau hal ini terjadi, masa depanmu yang jadi taruhannya.
Renata memang nggak sampai terkena PMS, tapi dia sempat memutuskan FWB gara-gara partnernya nggak bisa menjaga diri. Sebagai pelaku FWB, biasanya Renata memastikan bahwa dia dan partner rutin cek kesehatan. Akan tetapi, doi malah meremehkan hal tersebut.
Kalau pemahaman tentang kesehatan diri dan risiko aktivitas seksual yang masih belum tuntas, Renata menyarankan untuk nggak perlu mencoba FWB, apalagi kalau kamu cuma iseng dan pengin enaknya saja. FWB membutuhkan tanggung jawab yang besar. Jika kamu dan doi masih belum siap bertanggung jawab dan nggak sadar dengan risiko dari keputusan tersebut, ada baiknya urungkan keinginan untuk menjalani FWB.
Renata sendiri akhirnya berhenti FWB karena relasi ini mendatangkan banyak risiko yang sulit untuk diatasinya lagi. Awalnya memang seru, tapi lama-kelamaan dia kewalahan. Beberapa relasinya berujung drama dan konflik interpersonal yang melelahkan. Belum lagi, relasi FWB yang dilakukan oleh pihak-pihak yang nggak bertanggung jawab, membuat Renata terjebak relasi rumit yang melanggar batasan dan privasinya.
Yuk, memilih keputusan dalam hidup dengan penuh kesadaran dan hati-hati! SoHip harus pandai menjaga diri~