Saya dan kamu itu sama, kita dua orang paling keras kepala. Dihadapkan pada pilihan putus atau bertahan, kita mantap memilih yang kedua. Meski jarak adalah konsekuensinya, sekalipun pertemuan harus jadi momen yang langka. Bersamamu, saya percaya cinta bisa jadi kekuatan yang luar biasa.
Sayangnya, seringkali rindu tak bisa diajak kompromi. Bisa merengkuh tangan atau menatap wajahmu jadi satu-satunya yang paling saya ingini. Bukan bermaksud merutuki, tapi seandainya kondisi ini dapat segera disudahi. Harapan saya, kamu bisa sejenak pulang dan hadir di sisi.
ADVERTISEMENTS
Menumpuk rindu adalah perjuangan. Terpisah denganmu berbulan-bulan ternyata sukses membuat saya kelimpungan
Berjuang bukan cuma milik mereka yang di medan perang atau pergi ke perantauan. Perjuangan juga milik kita yang kini harus tinggal di benua berbeda. Terpisah jarak yang mungkin ribuan kilometer jauhnya. Sekadar bermodalkan rasa percaya, dan mengandalkan gawai sebagai penyambung rasa.
Tapi jujur saja, saya tak pernah menyangka jika perjuangan akan terasa seberat ini. Berbulan-bulan tak bisa melihat wajahmu secara langsung atau menggenggam tanganmu, ternyata membuat hati ini rasanya sesak sekali. Dan meski sebisanya ingin menutupi, saya tak bisa membohongi diri sendiri.
“Ada rindu yang rasanya kuat sekali. Saat hujan datang dan sedang sendiri, perihnya pun semakin menjadi…”
ADVERTISEMENTS
Ada kalanya saya hanya bisa diam meremang. Mempertanyakan keputusan yang dulu kita buat dengan penuh pertimbangan
Tinggal berjauhan jelas bukan pilihan. Seandainya bisa, kamu dan saya pasti ingin tinggal di kota atau daerah yang sama. Meski bukan berarti setiap hari terus bersama, setidaknya kita tak harus susah payah jika ingin makan atau menghabiskan waktu berdua.
Ini perkara pekerjaan yang sejak lama sudah kamu impi-impikan. Juga soal realitas yang mustahil bisa dikalahkan oleh remeh temeh perasaan. Kepergianmu bukannya tanpa alasan, tapi justru untuk memperjuangkan masa depan. Terlebih ini bukan lagi soal masa depanmu sendiri, tapi juga untuk kebaikan kita bersama nanti.
Menyemangatimu pergi adalah satu-satunya yang harus saya lakukan. Sekuat tenaga saya berusaha untuk tak bermanja-manja. Padahal, saya ingin sekali merajuk memintamu jangan pergi dan tetap berada di samping saya.
ADVERTISEMENTS
Jujur, seringkali muncul keraguan dalam hati. Sampai kapan saya dan kamu mampu bertahan dengan kondisi seperti ini?
Pasti bukan cuma saya, kamu pun tentulah merasakan kesedihan yang hampir sama. Siapa sih yang tak ingin tinggal dekat dengan kekasihnya? Meski kamu jarang mengatakannya, sesekali kamu lebih suka menulis untuk meluapkan rasa. Dari situlah saya tahu, kamu pun sedang sekuat tenaga menguatkan tekad dan hatimu.
Entah apakah kamu pernah merasakan hal yang sama, tapi jujur sering muncul keraguan dalam hati saya. Mungkinkah kita bisa bertahan, lalu harus sampai kapan? Apa jadinya jika ternyata saya dan kamu memilih menyerah di tengah perjalanan? Bukankah kita ibarat dua pecundang yang kalah habis-habisan?
ADVERTISEMENTS
Namun saya percaya ini hanya pengorbanan sementara. Kelak jika sudah waktunya, rindu pasti bisa kita lunasi kapan saja
Meski sering muncul keraguan, harapan saya sebenarnya tak pernah padam. Tinggal berjauhan saya yakini sebagai perjuangan yang memang harus dituntaskan. Dimana kita justru akan saling menguatkan, lalu sampai di titik akhir sambil tetap bergandengan tangan.
Ya, saya percaya jika pengorbanan ini kelak pasti akan ada akhirnya. Akan tiba waktu dimana kita tak perlu lagi menahan rindu yang menyesakkan dada. Akan ada saat dimana rindu selalu bisa kita tuntaskan kapan saja. Nanti, setelah kita sepakat untuk menikah dan hidup bersama. Suatu hari, saat kita sudah mantap untuk menghabiskan masa tua berdua.
“Tapi, tuntaskan dulu rindu yang sekarang. Dan begitu ada kesempatan, saya mohon kamu segera pulang…”