Menikah. Sudah tentu jadi mimpi dan tujuan dari kebanyakan individu di muka bumi ini. Entah cepat atau lambat, semua orang pasti segera menuju ke tahapan kehidupan tersebut. Apalagi di Indonesia ini, perempuan pula, sudah jadi rahasia umum atau bisa juga disebut konsensus jika di usia setidaknya 25 tahun, mereka sudah wajib memiliki pasangan yang sudah jelas untuk diajak ke pelaminan.
Pertanyaan, “Kamu kapan nyusul?” pas dateng kondangan atau “Kapan nikah?” itu berasa mengganggu banget buat kamu yang-dianggap-udah-cukup-usia-untuk-menikah tapi belum punya pasangan, atau juga buat kamu yang udah punya pacar bertahun-tahun, tapi pasanganmu nggak jelas juga mau membawa hubungan kalian kemana. Setiap disinggung soal pernikahan, dia malah marah atau mengalihkan pembicaraan menuju entah.
Ahhhh ini nih yang kami, para perempuan-mostly-di-atas-usia-25-tahun rasakan, saat kami sudah ingin dan siap menikah, tapi kamu sedang menuju entah…
ADVERTISEMENTS
Kami percaya, tak ada seorang laki-laki pun yang tak berpikir soal masa depan
Tak jarang kami mencurahkan isi hati dan perasaan kepada seseorang yang sangat kami percaya, soal kegundahan dan kegalauan yang kami rasakan ini.
“Aku udah hampir ENAM tahun lho mbak, jalan sama dia. Tapi kok masih begini-begini aja ya. Apa aku cari yang lain aja ya baiknya.”
“Kamu masih sayang? kamu masih nyaman?”
“Sangat. Justru aku punya ketakutan juga kalau nantinya nggak nemuin orang yang mengerti aku sebaik dia. Tapi mbak, tahun ini aku sudah 27, aku anak sulung, dan orang tua aku sudah nanya terus kapan aku mau nikah. Tapi si Firman ini, aduh, lulus S1 aja belum. Rumah tangga mau dibangun pake apaan?”
“Percayalah Ndin, nggak ada seorang laki-laki pun yang nggak punya rencana soal masa depan mereka.”
Ya, kamu kamu kamu, kalian harus percaya itu. Mereka, pasti berpikir soal masa depan. Hanya saja, hanya saja, nggak semuanya mengatakan secara gamblang padamu. Ada sih, yang emang bukan tipe pencerita, dan baru akan bicara ketika dia ditanya terkait rencana-rencana masa depannya. Tapi ada juga yang walau ditanya panjang lebar tetep nggak mau cerita. Nah, yang ini emang baru akan ngasih bukti setelah apa yang ada di otaknya itu terealisasi. Jadi, tetep, bagaimanapun, jangan pandang mereka sebelah mata. Dan kepercayaan ini, yang membuat kami bertahan bersamamu hingga kini.
ADVERTISEMENTS
Haloo..kalian sadar nggak sih, kalau kami selalu bingung saat memulai pembicaraan mengenai masa depan, masa depan kita
“Besok pagi aku berangkat ke Jogja.”
“Iya, ati-ati ya..”
“Kamu kapan kesana?”
“Nanti pasti aku jengukin, kalau aku ada uang.”
“Ada uangnya, kapan?”
“Bisa nggak sih nggak usah nanyain itu. Aku juga nggak tahu kapan, tapi kalau ada aku juga pasti bakal kesana.”
Yah, gue salah lagi, marah lagi, bingung lagi deh, capek sis, begini mulu ah! Niatnya, niatnya, dari situ mau ngajakin ngomong lebih panjang lagi, lebih banyak lagi. Seperti, ya biar ada duit kamu cepetan kelarin skripsinya lah. Cepet kerjalah. Perasaan kita sepantaran, aku udah tiga tahun kerja, kamu masih bergini-begini aja.
Ya gitu, emang ada manusia tipe realistis, ada yang idealis-notok-jedok. Kami takut salah bertindak dan salah bersikap lho. Nyuruh cepetan kerja entar dikiranya matre. Kami bukan matre boys, kami realistis. Sudah. Okelah kamu nggak pernah bicara soal jadinya sidang kapan, wisuda kapan, mau langsung kerja dimana, jadi apa, oke. Tapi setidaknya, bisa minta tolong untuk memastikan kami jadi bagian dari masa depanmu tidak? Perempuan mana yang tak butuh dipastikan?
ADVERTISEMENTS
Diajak membangun hidup dari nol sih kami nggak masalah. Asal jangan bikin orangtua gerah
“Aku cocoknya jadi apa sih? Jadi bapak rumah tangga kaya mas Adi di Tetangga Masa Gitu deh kayanya.”
“Hah? Aku yang kerja? Aku sih emang asli seneng kerja dari sononya.”
“Ya udah, pas kan. Daripada anak kita entar dititip-titipin, aku aja yang jagain dan masak di rumah.”
“(((Lalu mendadak seolah jadi tuna wicara yang kehilangangan semua kosakata)))”
Gue sih mau-mau aja. Tapi lu pada juga nggak lupa kan soal keberadaan orang tua dan keluarga lainnya? Kamu, mau ngajak aku hidup di hutan, makan dari hasil buruan ya ayok. Tapi kamu sama sekali nggak bisa nyuruh kami buat memutus tali silaturahmi dengan keluarga. Kamu, boleh jadi nggak peduli dengan omongan orang sekitar. Tapi, bagaimanapun kami peduli, sebab orang tua tentu jadi bagian dari omongan mereka. Setelah sejak lahir mereka merawat dan membesarkan kami, sudah selayaknya ganti kami yang membahagiakan mereka. Dengan pernikahan dan kemandirian setelahnya, itu sudah lebih dari cukup.
ADVERTISEMENTS
Kami tak pernah memintamu berjuang sendiri. Setidaknya mari kita saling bantu, tak masalah walau aku berjuang lebih dulu
“Jadi, rencana kamu selanjutnya apa Al?”
“Nggak tahu. Aku masih mau menikmati kebebasan ini dulu.”
“Ohh…”
Pertanyaannya, apakah ada manusia yang akan benar-benar bebas? Aku sih nggak pernah tahu. Dan menurutku, nggak akan benar-benar ada. Jadi gini, aku dan kamu sudah umur segini. Aku perempuan dan kamu laki-laki. Memang, menikah itu sunnah, tapi oh ayolah, kamu juga nggak mau semuanya seolah jalan di tempat kan? Ada beberapa dari kami yang sengaja mengulur waktu dengan sekolah lagi ke jenjang berikutnya, S2 misalnya, cuma buat memberi kesempatan padamu untuk berbenah, menata masa depan. Tapi bahkan hingga kami meraih gelar selanjutnya, kamu masih disitu-situ aja. Kalau beberapa dari kami telah berani mengambil tindakan untuk meninggalkan kalian, tolong jangan disalahkan. Itu semata-mata bukan keputusan pribadi yang dengan mudahnya kami buat sendiri. Ada waktu cukup lama untuk kami memikirkan, ada pula campur tangan orang-orang sekitar yang membuat telinga kami kepanasan.
ADVERTISEMENTS
Ada pula beberapa dari kalian yang mengaku belum tahu apa maksud dan tujuan dari pernikahan. Terus kami harus menunggu sampai kapan?
“Ndin, menurutmu menikah itu apa?”
“Hah? Nikah itu mimpi buat aku, mimpi terbesarku.”
“Tujuan menikah?”
“Hah? Menggenapi agamaku, halah. Hahaa kamu kenapa sih? Ya gitu,”
“Aku belum nemu alasan orang-orang menikah selain legalitas seksual, ahh harusnya bisa lebih dari itu.”
“(((Lalu diem karena otaknya nggak nyampe)))”
Memang, nikah itu sunnah. Itu artinya, menikah merupakan sebuah pilihan, bukan ketentuan. Legalitas seksual? Bisa jadi iya, emang. Jadi dihalalkan, dapat pahala pula. Tapi ada beberapa kalangan, yang pikirannya ruwet, memandang bahwa harusnya ada tujuan dan manfaat lain yang didapat dengan adanya pernikahan. Kalau tujuannya cuma buat seksual aja, ya ngapain. Wong hubungan itu bisa dilakukan tanpa nikah kok. Iya, itu buat mereka yang nggak takut akan dosa. Manfaatnya kan ya banyak. Masa sampai tua kamu mau hidup sendiri? Ya kalau sehat terus, kalau sakit dan sendirian, siapa yang bisa kamu repotin kalau bukan istrimu? Kamu nggak mau punya keturunan? punya anak? Menunjukkan eksistensi diri kamu dalam wujud keturunan selama kamu pernah jadi manusia. Lalu, anak siapa yang bisa dan rela kamu buntingin tanpa adanya ikatan pernikahan? Ahhh ada-ada aja!
ADVERTISEMENTS
Bisa nggak ngelirik kemari sedikit. Mapannya masih berapa tahun lagi? Nikahnya nunggu usia nambah jadi berapa lagi?
“Aku nunggu mapan dulu ya Ndin baru bisa nikahin kamu.”
“Mapan? kamu udah berapa tahun jadi mahasiswa S1 nggak kelar-kelar, lalu nunggu mapan.”
“Ya kalau nggak mapan, kamu mau makan apa?”
“(((Ya iya, gue nggak bisa makan cinta. Kalau sadar gitu kenapa cuma diomongan, pernah denger yang namanya tindakan enggak??)))”
Nggak ada yang salah, sama sekali, dengan keinginan tersebut. Tentang kemapanan. Tapi ya realistislah, lihat kondisilah. Umur nyaris 25 tapi S1 belum kelar, lalu nunggu mapan lima sampe delapan tahun baru menikah? Umur 33 tahun? Ya aku sih nggak papa. Tapi kamu masih punya keturunan dari darah dagingmu nggak? Pernah denger kalau kehamilan di atas usia 30 tahun itu jauh lebih beresiko?
Peneliti di Inggris menemukan jika Resiko seperti kelahiran premature dan lahir meninggal meningkat sebanyak 20% pada wanita yang berusia 30 hingga 34 tahun, dibandingkan dengan wanita yang memiliki anak di usia sekitar akhir 20 tahunan. Bahkan, resiko yang lebih besar lagi, bayi yang dikandung tidak dapat berkembang dan meninggal ketika dilahirkan.
Kalau anak pertama dilahirkan usia 30 tahun misalnya, bukankah kehamilan anak selanjutnya akan jauh lebih beresiko lagi? Kamu nggak kasihan sama kami, para perempuan-perempuan yang menunggumu berbenah ini?
Memang sejauh ini kami masih bertahan. Tapi bukan nggak mungkin juga kalau pada akhirnya kami memilih meninggalkan.
“Jadi, keputusan ada di tanganmu sendiri Ndin. Kamu bertahan atau meninggalkan?”
“Bertahan dulu mbak. Tapi kalau setelah ini ada lelaki lain yang mendekat, dan dia lebih bisa memberi kepastian. Bukan salahku dong kalau aku pilih dia? Namanya juga Life~~~”
Namanya juga hidup kan? Kami sudah berusaha sekian lama memberimu kesempatan, tapi apa daya kamu yang tak cukup memanfaatkan. Percayalah, semua keputusan itu tidak dengan mudahnya kami buat. Kamu boleh ngejar kebebasan, hanya kamu yang tahu itu berlaku sampai kapan, tapi kamu jangan sampai melupakan satu hal. Perihal uang, harta, atau lain-lainnya yang bisa dicari, tapi tidak begitu dengan pasangan hidup yang mengerti. Kamu boleh bilang “tidak jodoh” saat pada akhirnya kita tidak bersama, tapi dua kata itu juga bisa jadi hanya caramu menghibur diri sendiri.
Penyesalan akan selalu hadir di belakang, terus-menerus mengejar yang namanya harta atau hal lainnya, kamu cenderung kehilangan fokus akan apa yang sebenarnya lebih penting. Ada sebagian yang bilang, kalau kamu pikir-pikir lagi, harta dan tahta sebenarnya nggak sepenting itu. Lebih baik kamu berkeluarga, merasakan kehidupan pernikahan dan perjuangan dari bawah bersama-sama, daripada kamu harus ribut dengan harta. Belum tentu calon kamu pun merasakan hal yang sama mengenai kemapanan dan setuju dengan pandanganmu soal mapan dulu sebelum menikah.
Jadi, ini suara kami, para perempuan yang ingin menikah walau pasangan kami masih menuju entah. Kami nggak mutlak menuntut kamu untuk kemudian bangkit dan berjuang sendiri sayang, bukan. Mari kita berdampingan dan memastikan masa depan bersama-sama.