Aku mengerti ketika seseorang bilang bahwa hidup itu penuh kejutan. Atau barangkali, kita saja yang tak siap dengan realita yang tak sesuai dengan ekspektasi? Entahlah. Yang jelas, soal ini aku mengalaminya sendiri. Hari itu, aku menemuimu dengan hati bungah karena pada akhirnya kita bisa bertemu. Namun yang terjadi justru apa yang paling kutakutkan.
Seharusnya aku sudah menduga ketika kamu bilang “Ketemu sebentar yuk? Ada yang pengen aku omongin.” Namun, hatiku telanjur ditutupi rindu. Tanpa prasangka aku datang dan tersenyum lebar. Sampai akhirnya kamu terbata-bata berkata “Kita putus aja ya?” aku tak pernah menduga ini adalah janji temu untuk berpisah. Barangkali sementara, mungkin juga selamanya.
ADVERTISEMENTS
“Bagaimana bisa” adalah tanya pertama yang terlontar di kepala. Bukankah selama ini kita baik-baik saja?
Aku tak mengerti apa yang salah di sini. Aku merasa hubungan kita baik-baik saja sampai hari itu. Aku tahu bahwa kita sama-sama sibuk mengejar mimpi. Kadang aku terlalu lelah untuk membalas pesanmu, dan terkadang kamu sudah ketiduran saat aku butuh teman bicara. Kita saling mengerti dan tak menganggap hal itu sebagai masalah besar. Lalu, bagaimana dengan deretan mimpi-mimpi yang pernah kita bagi? Hey, bukankah kita berencana traveling low budget akhir tahun ini?
ADVERTISEMENTS
Kamu bilang ini yang terbaik bagi kita. Namun, sungguh aku tak mengerti bagian mana yang membuatmu merasa kita akan lebih bahagia
“Aku yakin, ini yang terbaik buat kita. Kamu akan lebih bahagia kalau sama orang lain,” ujarmu.
Di momen ini aku jadi bertanya-tanya, apakah aku lupa bilang padamu bahwa aku bahagia bersamamu? Kamu memang bukan orang yang sempurna. Demikian juga aku, yang masih sering mengulang-ulang kesalahan yang sama. Namun segala ketidaksempurnaan itu tak menghentikanku untuk berharap banyak atas hubungan ini. Lantas, bagaimana bisa tiba-tiba kamu menjadi lebih tahu bahwa ada orang lain yang bisa membuatku lebih bahagia?
ADVERTISEMENTS
Otakku mendadak penuh dengan tanda tanya. Apa salah yang pernah kulakukan hingga kamu memutuskan berhenti berjuang?
Sehari sebelumnya, aku merasa kita masih berbagi mimpi yang sama. Kita masih membagi rasa yang sama. Dan kita masih berjalan menuju arah yang sama. Bagaimana bisa, dalam satu hari segalanya seperti membalik telapak tangan? Aku mulai bertanya-tanya dan melihat jauh ke belakang. Mungkin aku pernah berucap kata atau melakukan sesuatu yang membuatmu terluka. Namun, kamu bungkam. Yang kamu katakan sebatas “Masalahnya bukan di kamu, tapi di aku”. Sayangnya, itu bukan kata-kata yang menenangkan.
ADVERTISEMENTS
Rasa percaya diriku terjun bebas di titik minus satu. Apakah diri ini memang tak layak dicintai olehmu?
Ketika kamu bilang aku tak melakukan kesalahan, yang kulakukan justru berpikir bahwa diriku adalah sebuah kesalahan. Apa yang terjadi sampai kamu tiba-tiba berhenti mencintaiku? Apakah di luar sana kamu bertemu dengan seseorang yang lebih baik dariku? Apakah ada sesuatu yang salah dari diri ini sehingga tak layak kamu cintai lagi?
ADVERTISEMENTS
Tahu alasan mengapa kamu memilih pergi barangkali lebih mudah. Setidaknya, aku tahu dari mana aku harus mulai berbenah
Aku berharap kamu menjelaskannya lebih lanjut. Sehingga aku tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Jika ada kesalahan yang kubuat, tentu aku perlu mengakuinya dan memperbaiki diri. Bila kamu pergi karena jatuh cinta kepada orang lain, aku tahu bagaimana harus membenahi hati ini. Namun, hingga akhir, jawaban itu tak pernah kutemui. Kamu mungkin merasa lebih baik dari pelaku ghosting–ia yang pergi tanpa sepatah kata pun termasuk pamit–namun bagiku, semua ini sama membingungkannya.
ADVERTISEMENTS
Sakit ini nyata. Namun, akhirnya aku mengerti bahwa memaksamu bertahan saat kamu tak ingin tinggal adalah sia-sia belaka
Diam yang kulakukan hari itu bukan berarti aku baik-baik saja. Aku menghabiskan banyak hari untuk memahami apa yang terjadi. Aku juga bergelut dengan diriku sendiri untuk tidak memaksamu di sini. Pada akhirnya aku mengerti, entah padaku atau padamu letak kesalahannya, kamu hanya ingin pergi. Kamu hanya ingin mengakhiri sesuatu yang tak lagi ingin kamu perjuangkan lagi. Jadi, berusaha mempertahankanmu di sini adalah sebuah kesia-siaan saja.
Kini, aku sudah merelakan. Meski langkahku masih tertatih, aku sudah berusaha mengikhlaskan
Memang berat. Terutama bagian mengikhlaskan bahwa diriku tidak lagi diinginkan. Sejenak, sakitnya memang terasa tak masuk akal dan aku mulai bertanya-tanya apakah aku bisa bertahan. Namun, aku mengerti bahwa ini hanya salah satu episode yang harus kulalui. Barangkali kamu pergi karena mencintai orang lain. Tak apa, akan aku relakan sebab cinta memang tak bisa dipaksakan. Bisa jadi juga aku memang melakukan kesalahan yang membuatmu tak bisa lagi bertahan. Tak apa, sudah kuputuskan untuk memaafkan diri sendiri dan aku berjanji akan memperbaiki diri mulai dari sini.
Kepadamu yang pergi begitu saja tanpa penjelasan yang layak, terima kasih telah memaksaku belajar berdamai dengan kenyataan. Terima kasih telah memaksaku berpikir lebih dewasa dan memahami bahwa kenyataan yang tak seperti harapan bukan melulu karena kesalahan yang kulakukan. Terima kasih telah memaksaku belajar untuk memaafkan diri sendiri dan bangkit berdiri. Akan tetap kuingat bahwa kita pernah bahagia, meski kepergianmu meninggalkan luka.