Bapakku adalah yang terbaik dari seluruh ayah di dunia. Aku meyakini itu lebih dari apapun. Mungkin aku tak mengerti bagaimana lelahnya Bapak. Barang secuil pun aku tak bisa merasakan apa yang telah diperjuangkan Bapak. Dulu sewaktu dia masih hidup, aku pun yakin ada rahasia yang dipikulnya dan tak pernah seorang pun tahu, termasuk aku anaknya. Aku tak mengerti bagaimana bisa dia bertahan dengan beban sebagai seorang ayah, membesarkan kami. Ya ampun, aku telat menyadari dan sering membuat beliau kerepotan dengan segala tingkahku. Kalau saja masih ada kesempatan, ingin rasanya aku meminta maaf.
Dulu saat aku masih kecil, Bapak sering membawaku bersepeda di sebuah tanggul yang panjang. Kami berdua menyulam senja dengan ikatan kuat seorang Ayah yang menyayangi anaknya. Aku pun masih ingat bagaimana beliau menguatkan aku sewaktu sunat, menggenggam tanganku erat di sebuah dipan klinik, dia membisikkan banyak doa di telingaku. Iya, Bapak adalah cahaya terang bagi kami yang bersedih karena masa depan selalu gelap.
Sekarang dia telah pergi untuk selamanya, aku menangisi satu hal; seperti ada yang belum lunas, aku merasa ada yang luput dan tak kuberikan kepadanya.
ADVERTISEMENTS
1. Dulu selalu ada Bapak dengan wajahnya yang teduh menghapus kekhawatiran kami setiap kali ada masalah. Sungguh sepertinya aku kurang belajar dari dirinya
Aku yakin, dulu saat aku minta dibelikan mainan, itu berarti ada uang tabungan yang dibobolnya, atau beliau harus bekerja lebih keras lagi. Bayangkan demi mainan yang aku suka dan aku sendiri tak beroleh manfaat apa-apa, beliau rela berpeluh keringat. Dengan wajahnya yang teduh dirinya tak menampakan kelelahan di mukanya. Beliau pandai menyimpan kelelahannya dalam doa. Kalau boleh waktu itu diulang, aku tak mau memintanya untuk membelikanku mainan yang tak seberapa penting. Tapi semua sudah terjadi, aku hanya bisa memungutnya sebagai kenangan paling indah.
ADVERTISEMENTS
2. Bapak memang tak pernah menuntut lebih, tapi selalu ada di dalam dadaku sesuatu yang belum lunas untuk kuberikan kepadanya
Mungkin ada jutaan nasihat yang beliau berikan. Ada jutaan perilaku teladan yang ditampakan kepadaku, tapi ada jutaan pula yang kulanggar dan tak disegerakan. Hingga akhirnya beliau berpulang kepada Tuhan, aku hanya bisa mengais penyesalan dalam rapalan doa.
Beliau sendiri tak pernah menuntut, kata-katanya lembut bagai mahkota mawar berjatuhan saat kau sentuh. Beliau lelaki dengan wangi hutan pinus selepas hujan, dirinya tak ingin menuntut anaknya untuk mengejar cita-cita. Hanya ingin anaknya senang, menikmati semua keputusan dan menghindari kemarahan. Hal yang ini sering luput dariku.
ADVERTISEMENTS
3. Aku yakin Bapak belum puas jadi seorang ayah, melihatku begini apa mungkin ada setitik kebanggaan dari dirinya. Semoga doaku bisa membuatnya tersenyum di sana
Menjelang Tuhan menjemputnya, aku melihat wajahnya jauh ke dalam, hanya ada senyuman. Bapak memberiku warisan itu, sebuah senyuman yang seolah memberi isyarat dalam kata-kata “Nak, tak apa sampai di sini saja. Esok kelak kamu bisa meneruskan Bapakmu yang payah ini”. Ada yang belum lunas dariku dan ada yang belum puas di wajah Bapak, melihat adik-adik dan ibuku aku jadi lemas. Apakah aku bisa membawa mereka pada kebahagiaan, semuanya kini tertimpa padaku. Andai saja aku adalah Bapak, aku pasti bisa menjalaninya dengan senyuman.
ADVERTISEMENTS
4. Bapak telah meninggalkan banyak kebaikan, menaruhnya diam-diam dalam dadaku. Kini aku mesti membuatnya jadi nyata, merampungkan harapannya
Ada yang tak pernah kusadari selama ini. Beliau selalu berbohong kepada kami, dirinya tak pernah benar-benar kenyang saat kuminta sedikit jatah makannya. Beliau tak pernah benar-benar “baik-baik saja” saat penyakitnya mulai datang. Beliau tak pernah benar-benar ada uang ketika aku minta sejumlah mainan. Beliau tak pernah benar-benar tersenyum dalam hidup.
Bapak orang yang kukenal sekarang adalah beliau dengan segala kemurahan hati, yang hidup hanya untuk orang lain. Beliau bernapas untuk kami keluarganya, mungkin semua ini adalah kebahagiaan bagi dirinya. Beliau lelaki yang benar-benar hidup dengan cinta. Tuhan, begitu terlambat aku mengenalnya, semoga di sana ada tempat paling nyaman untuk dirinya.
Di sebuah tanggul, di mana senjanya begitu emas dan anginnya begitu sepoi Bapak pernah bertanya kepadaku tentang, “kenapa kamu susah disuruh mandi, Nak?”. Aku menjawabnya dengan tegas kalau “airnya dingin!” Bapak kembali bertanya, “tapi kenapa kamu suka main hujan?”. Kujawab dengan polos, “karena airnya rame-rame”. Bapak cuma tersenyum, kakinya masih mengayuh sepeda sementara aku nyaman berpagut kepadanya, memeluk lehernya dari boncengan belakang.
Tiba di rumah, yang terjadi sungguh aku nikmati, di kamar mandi yang kecil itu, Bapak menciptakan hujan dari pipa-pipa plastik yang dilubangi, air-air yang melesat-melesat darinya bikin aku semangat mandi. Hari ini, aku percaya setiap kali hujan datang, Bapak di sana sedang memohon kepada Tuhan untuk mengirimkan aku sebuah hujan. Hujan di sini, hujan di pipi, hujan di mata susah terlupa. Aku rindu, Bapak.