Ada sepotong cerita menggelitik di ujung sore yang cukup hectic itu. Kubaca sekali lagi ramalan zodiak di sebuah portal online yang tak sengaja kubuka saat sedang mencari materi untuk klien. Sebuah ulasan pendek tentang hubungan asmara si Libra dan Gemini. Lantas, aku teringat dirimu.
“Gemini dan Libra adalah salah satu pasangan zodiak yang paling cocok. Mereka sama-sama supel, cerdas, dan menyenangi diskusi. Keduanya akan menjadi pasangan yang sangat serasi dan bakal langgeng.”
Aku bukan orang tidak percaya zodiak. Tapi aku juga bukan orang yang menghina mereka yang mempercayai zodiak. Terhadap zodiak, sikapku biasa saja. Namun tentang kisah cinta Libra – Gemini ini, aku sedikit terusik. Mereka bilang kita akan menjadi pasangan yang cocok dan serasi. Nyatanya? Bertahun-tahun lalu kita harus saling melepaskan, setelah berbagai perjalanan terjal yang sangat melelahkan.
1. Aku si Libra yang senang bergaul dan kamu si Gemini yang fleksibel dan tertebak. Perbincangan berjam-jam tak pernah membosankan
Sebagai Libra, aku menyukai ketenangan. Kamu akan mudah menemukanku di sudut-sudut coffee shop, sedang membaca buku ataupun sekadar melamunkan hal-hal tak perlu. Pertama kali bertemu, sikap tak tertebakmu langsung menarik hatiku. Setiap kali kita berinteraksi, selalu saja ada hal baru yang membuatku takjub. Kamu juga sering mengeluarkan argumen-argumen unik yang membuat kita berdebat, namun dengan sangat menyenangkan. Bersamamu si Gemini yang tak tertebak, hidupku yang terbiasa seimbang diajak sedikit menukik dan menanjak.
2. Dengan segala pertanda kecocokan ini, kupikir jalan kita akan mudah. Karenanya segalanya kuawali dengan rasa percaya
Dari banyak sumber yang kubaca, Libra memang cocok berpasangan dengan Gemini. Kita berdua sama-sama menyukai tantangan intelek, bersosialisasi dengan orang lain, dan diskusi yang panjang. Kamu senang bercerita dan berargumen, sementara aku senang menyimaknya dan menjadikannya sebagai hal-hal baru stimuli otakku. Meski terkadang kita sulit mengambil keputusan, awalnya aku percaya bahwa kita cocok untuk bersama. Apalagi ramalan zodiak kita juga mengatakan hal yang sama, bukan?
3. Namun ternyata ramalan hanya ramalan. Kerikil-kerikil tajam mulai terasa di tengah perjalanan
Namun, apakah segalanya memang semudah itu? Seperti garis takdir yang sudah ditentukan rutenya, dan bila sudah di jalur yang tepat, maka kita akan mudah sampai ke tujuan? Tentu saja tidak. Pada perjalanan kita, kuinsyafi bahwa kita tak secocok itu. Meski kita selalu nyambung untuk beberapa hal, ada banyak momen yang membuat kita renggang. Momen yang memaksaku untuk memilih diam dan pergi, sebab berada di dekatmu terasa menyakitkan.
4. Lantas entah sejak kapan, kita mulai sering berucap “terserah”. Seperti sudah terlalu lelah namun tak punya nyali untuk berhenti
Bila dulu perdebatan panjang terasa mengasyikkan, kini justru melelahkan. Aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama. Entah sejak kapan, kita tidak lagi suka berkomunikasi dua arah. Aku ingin A, kamu bilang terserah. Kamu bilang B, aku bilang terserah. Di titik ini, kadang aku bertanya-tanya: apakah sebenarnya kita berdua sudah menyerah? Sebab hubungan macam apa yang tidak pernah ada komunikasi di dalamnya? Kita seperti dua orang asing yang pulang terlalu malam dan memaksa tetap bersama hanya agar tidak sendirian.
5. Segala sakit hati yang tercipta membuatku bertanya-tanya. Bila dulu kita pernah bahagia, mengapa kini jadi begini?
Masalah demi masalah datang seperti kerikil melukai kaki kita yang telanjang. Aku tahu, di satu titik, kita sama-sama bersikeras untuk bertahan. Baik aku dan kamu sama-sama tahu bahwa setiap hubungan pasti ada persoalan. Kita hanya perlu saling mengingatkan tentang mimpi-mimpi bersama yang sempat kita susun di depan. Namun dengan segala persoalan yang berulang, sementara kita seperti tak pernah belajar, aku jadi bertanya: masihkah kita menghidupi mimpi yang sama?
6. Pada akhirnya kita beranikan diri untuk duduk berdua. Bicara dari hati ke hati, tentang apa yang sedang terjadi
Di ujung segala pertikaian yang kian melelahkan, akhirnya kita memberanikan diri duduk berdua untuk bicara. Apa yang sedang terjadi? Apa yang sedang kita jalani? Benarkah kita masih berjalan menuju tujuan yang sama? Apakah kita masih bisa saling membahagiakan atau kita hanya akan saling menyakiti? Segala pembicaraan itu meninggalkan rasa pedih di hatiku. Aku yakin kamu pun begitu. Sebab kita sama-sama tahu, bahwa memaksa bersama tak akan membawa kita ke mana-mana.
7. Maaf bila akhirnya aku harus berhenti. Percayalah bahwa bagiku ini juga tidak mudah sama sekali
Di momen itu, kamu terdiam cukup lama, hanya untuk mengatakan “Jadi kamu memilih menyerah dan pergi?”. Ingatkah kamu? Terkadang aku masih mengingat detilnya sampai saat ini, tentang raut wajah sedih yang pernah membuatku sangat bahagia. Aku terombang-ambing dalam logika dan kenangan bahwa kita pernah saling membahagiakan. Lantas kenapa sekarang tidak bisa? Namun, bukankah terkadang dalam hidup kita dipaksa untuk membuat sebuah keputusan?
Melupakanmu tidak pernah mudah. Bagaimana pun sakitnya perpisahan itu, kita pernah saling membahagiakan. Darimu pun aku belajar banyak hal. Bila kini aku bisa membaca ramalan zodiak asmara Libra dan Gemini dengan senyum santai seolah tak pernah sakit hati, itu karena aku sudah melalui banyak hari yang kuhabiskan dengan monolog di pikiran tentang apa kabarmu hari ini? Masih ingatkah padaku? Benarkah keputusan yang kita ambil dahulu? Sudah adakah orang lain di hatimu?
Jadi, apakah Libra dan Gemini adalah pasangan yang cocok sekali? Well, itu #KononKatanya. Sedangkan pengalaman mengajarkanku bahwa hubungan tak hanya perlu kecocokan karakter, tapi juga logika serta kemauan untuk tetap berjuang bersama.