Suatu saat ketika saya sedang berselancar di Quora, sebuah pertanyaan muncul di timeline saya: Menurutmu pasangan hidup itu jodoh atau pilihan? Saya sempat berhenti selama lima menit di halaman yang sama, tanpa membaca penjelasannya, melainkan sibuk berselancar dengan pikiran saya sendiri. Pertanyaan itu secara otomatis mengingatkan pada pertanyaan saya bertahun-tahun lalu: Jodoh itu sebenarnya ada nggak sih?
Seringkali saya mendengar orang menghibur dia yang patah hati dengan kalimat “ya mungkin bukan jodohnya”. Atau banyak juga yang memotivasi dengan kalimat “kalau jodoh nggak akan ke mana”. Dulu saya percaya-percaya saja. Tapi semakin lama, saya jadi bingung memikirkannya. Jodoh itu ada nggak sih?
ADVERTISEMENTS
1. Bicara soal jodoh, artinya ada seseorang yang ‘mau-tak-mau’ akan bersama kita. Sedang setiap orang memiliki pilihan yang berbeda
Dulu saya berpikir jodoh itu adalah sesuatu yang “mistis” sekaligus romantis. Maksudnya, konsep bahwa ada seseorang yang diciptakan untuk satu sama lain, itu sangat indah bukan? Karena dengan begitu, takdir sudah menjamin bahwa suatu saat kita akan bertemu dengan “orang itu”. Namun kemudian saya berpikir, bukankah setiap orang punya kehendak bebas dan pilihan? Bagaimana bila seseorang yang ditakdirkan untuk saya itu memilih untuk hidup selibat? Apakah itu artinya saya sudah dikhianati oleh jodoh yang bahkan belum saya temui?
ADVERTISEMENTS
2. Tak ada dua orang yang benar-benar cocok atas segala hal. Sebab sebuah hubungan selalu tentang kompromi
Jiwa lugu saya dulu juga berpikir, tak ada yang bisa mengalahkan takdir. Bila dia jodohmu, kecocokan itu sudah mendarah daging dan sulit diingkari. Namun, seiring beranjak dewasa, ternyata saya melakukan kompromi ketika sedang jatuh cinta. Ada hal-hal yang tak cocok dari dia, namun saya terima dan sebaliknya. Ada hal-hal di antara kami yang sangat berbeda tapi saya anggap tak apa-apa. Begitulah sebuah hubungan berjalan. Tak ada yang benar-benar cocok antara dua orang, yang ada adalah kemauan untuk berkompromi dan menekan ego sendiri untuk menyikapi perbedaan.
ADVERTISEMENTS
3. Perjalanan cinta bukan sesuatu yang autopilot. Bertahan atau tidaknya, tergantung seberapa besar perjuangan
Dulu saya juga berpikir bahwa ketika sudah jodoh, sebuah hubungan pasti akan bertahan dan sebaliknya. Jadi kalau sudah jodoh, perjuangannya juga nggak harus mati-matian. Santai saja, toh nanti ujung-ujungnya sama dia. Di usia ini saya belajar bahwa konflik juga diperlukan untuk saling mendewasakan dan bahkan menguatkan perasaan.
Lagipula, kita sering mempersempit bahwa jodoh/tidaknya pasangan itu dilihat dari sampai pelaminan atau nggak. Padahal resepsi bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal babak baru. Apakah hubungan itu berjalan hingga dipisahkan ajal atau tidak, semuanya tergantung pada perjuangan dan komitmen masing-masing untuk bertahan.
ADVERTISEMENTS
4. Jatuh cinta mungkin bukan pilihan. Tetapi apa yang saya lakukan setelahnya sepenuhnya saya yang tentukan
Bicara jodoh tentu tak bisa lepas dari perkara cinta. Ya, saya percaya bahwa jatuh cinta itu bukan pilihan. Kalau jatuh cinta itu pilihan, tentunya tak ada istilah people we can’t have, karena kita semua akan memilih orang yang pasti kita miliki untuk jatuh cinta. Jadi apakah mungkin kita jatuh cinta pada orang lain saat sudah punya pasangan? Sangat mungkin. Tetapi, apa yang kita lakukan atas perasaan cinta itu adalah sebuah keputusan yang diambil dari pilihan-pilihan. Bisa saja saya menyatakannya dengan lantang alih-alih menyimpannya diam-diam karena saya sudah berkomitmen dengan orang lain, ataupun sebaliknya.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
5. Ketika sebuah hubungan berakhir dengan berbagai alasan, itu bukan karena tidak jodoh. Melainkan karena masing-masing sudah menyerah untuk saling memperjuangkan
Ketika mengamini bahwa pasangan hidup adalah jodoh yang dikirimkan, lantas saya berpikir, bagaimana jika saya salah menerjemahkan pesan Tuhan? Bagaimana bila saya mengira jodoh orang lain adalah jodoh saya, atau orang lain mengira jodoh saya adalah jodohnya?
Apakah alasan “bukan jodoh” inilah yang membuat suami-istri yang sudah menikah 30 tahun kemudian bercerai? Atau mungkin yang terjadi justru mereka berhenti karena sudah menyerah untuk mempertahankan sebuah hubungan karena satu dan lain hal. Saya lebih percaya yang kedua.
6. Jodoh dan cinta adalah peristiwa sulit dirasional. Sedangkan perkara mencari pasangan hidup harus sangat rasional
Kalau melihat bagaimana kita menggambarkan jodoh selama ini–mulai dari butterfly effect di perut hingga bisikan gaib di telinga bahwa dia the right one untukmu–itu adalah yang mistis dan nggak masuk akal ‘kan? Tapi bicara soal mencari pasangan hidup, kita (diharapkan) untuk rasional. Kalau menuruti keinginan, ya saya ingin pasangan hidup saya adalah Darius Sinathrya yang tampan dan mapan. Tapi keinginan itu nggak rasional, bukan? Sebaliknya, kita mungkin saja sangat mencintai seseorang, namun karena satu dan lain hal, kita nggak mengharapkan orang itu sebagai pasangan hidup untuk selamanya.
Jodoh adalah konsep abstrak yang memang sangat ampuh untuk memotivasi diri saya sendiri. Saya menyebut “jodoh” ketika sesuatu itu bisa saya raih. Sebaliknya, saya menyebut “nggak jodoh” saat sesuatu itu gagal saya raih.
Lagipula jika benar jodoh adalah sosok yang diciptakan untuk saya dan karenanya garis kami adalah harga mati, saya benar-benar khawatir bila jodoh saya memutuskan untuk hidup sendiri karena pernah mengalami patah hati yang begitu hebat.