Masing-masing orang tua punya cara tersendiri untuk mendidik anak-anaknya. Tapi tanpa bermaksud durhaka, nggak semua yang diajarkan orang tua itu adalah yang terbaik bagi kita lho.
Kadang, ada ucapan atau ekspresi yang justru menyakitkan atau membingungkan bagi anaknya. Ssst…apa orang tuamu pernah atau masih suka ngomong gini ke kamu?
1. “Gitu Aja Kok Marah/Nangis!”
Ungkapan ini seakan-akan menganggap bahwa emosi yang kita rasakan itu nggak valid. Padahal, walau umur kita masih belia, kita sudah bisa merasakan emosi-emosi yang kuat seperti sakit hati, rasa takut, dan rasa gusar. Hanya karena kita menangis atau marah, bukan berarti kita anak yang cengeng atau lemah.
Marah atau menangis adalah reaksi yang menyehatkan. Alih-alih mempermalukan kita karena apa yang kita rasakan, orang tua harusnya mengajarkan bagaimana kita bisa mengungkapkannya dengan asertif atau menyalurkan emosi itu ke hal-hal seperti seni dan sastra. Pelajaran ini akan mendukung tumbuh kembang kita sebagai anak menjadi orang dewasa yang awesome.
2. “Jangan Main di Luar Rumah, Nanti Item/Kotor!”
Sebagai anak, insting kita adalah bermain dan mencoba hal baru. Itulah kenapa begitu melihat pematang sawah atau ilalang di depan mata, kita terdorong untuk langsung berlari dan menyentuhnya dengan tangan telanjang kita.
Sayangnya, nggak setiap waktu orang tua kita akan setuju. Kita dilarang bermain di luar rumah. Alasannya, udara, tanah, parit, dan binatang yang ada jalanan itu kotor. Padahal, apa salahnya jadi kotor sementara? Dengan pulang ke rumah dan mandi, kita bisa jadi kembali bersih. Bener nggak? Kalau kata iklan deterjen, ‘berani kotor itu baik’.
Alasan yang lain adalah sinar matahari bisa menyebabkan kulit kita jadi item. Padahal, apa salahnya kulit sedikit terbakar kalau itu dibayar dengan rasa senang dan ingatan masa kecil yang nggak akan tergantikan?
3. “Habisin Nasinya, Nanti Pak Tani Nangis!”
Kira-kira orang tuamu lagi ngomongin Pak Tani yang mana nih? Kebetulan ada ribuan petani di Indonesia, dan kamu nggak tau nasi yang kamu makan itu ditanam sama Pak Parto atau Pak Cecep.
Kemajuan jaman dan teknologi bikin anak-anak sekarang lebih cerdas dan kritis. Jadi, orang tua seharusnya bisa kasih alasan yang lebih masuk akal. Mungkin orang tua bisa mengajak kita untuk bersyukur dengan apa yang kita punya. “Nak, anak-anak di Yahukimo kemarin terkena musibah kelaparan. Kamu harus makan, supaya bisa cepet tumbuh dan bantu mereka kalau sudah besar nanti.”
4. “Gitu Aja Nggak Bisa?”
Ketika anak mendapat nilai 5 untuk ulangan Matematika, orang tua bisa mengatakan komentar yang sangat pedas. Yup, ungkapan ini berpotensi menjatuhkan mental anak!
Sebaiknya jangan gunakan kalimat ini untuk menantang anak mendapat nilai yang lebih baik pada ulangan berikutnya. Kalaupun memang dia tertantang, rasa itu akan muncul dari energi negatif dan kemarahan yang terpendam. Lebih lagi, selalu ada risiko bahwa dia akan sedih dan merasa bahwa ada yang salah pada dirinya.
5. “Kenapa Sih Kamu Nggak Kayak Kakak/Adik-mu?”
Satu lagi ungkapan pedas yang sering keluar dari mulut para orang tua. Ya, kalimat ini berarti membandingkan adik dengan kakaknya, menganggap bahwa ada salah satu saudara yang lebih baik daripada saudara yang lain. Padahal, setiap anak itu terlahir unik dengan kelebihan dan kekurangan yang seharusnya bisa dihargai.
6. “Waduh, Kalau Jadi Antropolog, Nanti Dapat Uang Darimana?”
Selamat datang di dunia yang serba pragmatis! Yup, paham kuno yang menganggap kalau profesi-profesi seperti antropolog, penulis, atau penyair itu nggak menghasilkan uang sebaiknya segera dibuang.
Setiap profesi pasti bisa menghasilkan pendapatan. Dan jumlah pendapatan itu nggak bisa begitu saja dibanding-bandingkan. Toh hidup di dunia ini nggak semata-mata buat cari uang ‘kan? Manusia juga perlu mempelajari apa yang mereka percaya, apa lagi mumpung kita masih anak muda.
7. “Kamu Harus Melanjutkan Bisnis Papa.”
Udah mirip sinetron aja nih! Tapi, di dunia nyata hal ini juga sering terjadi kok, guys. Ada aja orang tua yang memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Mereka merasa paling tau apa yang bagus dan cocok buat anaknya. Merasa bisa berhasil, orang tua memaksa anak-anaknya untuk mengikuti jalan karir mereka.
Padahal, kita punya hak juga untuk memikirkan dan menentukan jalan hidup kita. Karir, agama, atau pasangan hidup, semua akhirnya tergantung pada kita sebagai individu. Nah, kalau kita nggak tertarik pada dunia bisnis dan dipaksa mengelola restoran Papa, bisa-bisa restoran itu bangkrut gara-gara kita!
8. “Jangan Keluar Malem-Malem…Malu Sama Tetangga.”
Mungkin kata yang bisa mendeskripsikan situasi ini adalah ‘menggelikan’. Betapa pentingnya peduli dengan omongan orang. Padahal, nggak semua anak yang keluar malam itu pasti ‘nggak bener’. Kamu mungkin mau mengerjakan tugas kuliah, nonton konser musik/pentas seni, atau ikutan acara diskusi bedah buku. Masa’ kalau gini nggak dibolehin?
Lagian, melakukan hal-hal yang dicap negatif oleh masyarakat nggak terbatas pas malam hari aja. Pakai narkoba atau main ke kos pacar juga bisa dilakuin siang bolong, lho!
9. “Skripsi Udah Sampai Mana?”
Percaya deh bahwa mereka yang sedang bergelut dengan skripsi paling males kalau ditanya seperti ini. Skripsi bukan perkara sepele yang mentok pada penilaian rajin atau enggak. Skripsi itu… … …ah, sudahlah!
Intinya, ada dua pihak yang terlibat di sana, yaitu mahasiswa dan pembimbing. Sementara menyatukan dua kepala itu nggak mudah, sekian buku-buku tebal berlabel referensi juga wajib dibaca dan dikuasai.
10. “Kapan Lulus?”
Yang ini nggak jauh beda sama urusan skripsi. Ya iyalah, belum lulus itu bisa berarti masih punya tanggungan mata kuliah atau masih menyelesaikan skripsi ‘kan? Umumnya sih, setiap mahasiswa pasti pengen cepet lulus. Kalau ada mahasiswa yang nyantai dan nggak pengen cepet lulus, perbandingannya paling cuma 1 : 1000.
Ah, seandainya orang tua kita nggak usah nanya urusan kuliah. Percaya aja kalau anaknya sedang berjuang buat menyelesaikan kewajibannya.
11. “Gimana, Udah ‘Ngomong-Ngomong’ Sama Pacarmu?”
Horeeee…disuruh cepet kawin! Halo, apa kamu udah siap membuat keputusan besar dalam hidupmu? Jangan bayangkan ayam atau kucing yang bisa kawin sembarangan. Pernikahan itu sakral dan akan merubah hidupmu 180 derajat. Selain mental dan fisik, dana pernikahan juga harus dipersiapkan. Kira-kira, gimana ekspresi pacarmu kalau tiba-tiba ditodong buat nikahin kamu?
12. “Pacarmu Adiknya Banyak Nggak?”
Yang satu ini emang klasik, pertanyaan ibu-ibu banget! Yup, ibumu udah membayangkan kalau kamu akan menikah dengan pacarmu. Kalau ternyata pacarmu punya banyak adik, ia tentu harus ikut bertanggung jawab kepada adik-adiknya, khususnya dalam hal materi. Semakin banyak adik maka semakin besar uang yang mungkin harus ia keluarkan buat adik-adiknya.
Ibumu khawatir kalau nanti udah nikah, kamu bakal kelaparan gara-gara uang suamimu habis untuk membiayai adik-adiknya. “Sudahlah Bu, sepertinya kamu lelah…”
13. “Ambil Jurusan Keguruan Aja, Biar Jadi PNS”
Dilema anak-anak yang mau masuk kuliah adalah ketika memilih jurusan. Apalagi, kalau orang tua mulai ikut campur untuk urusan yang satu ini. Bukannya membebaskan anak untuk memilih sesuai minat dan bakat mereka, orang tua lagi-lagi berpikir pragmatis.
Jurusan keguruan dianggap ‘aman’ buat anaknya. Nanti ketika lulus kuliah dan bergelar S.Pd, anaknya bakal gampang cari kerja lantaran banyaknya sekolah di Indonesia. Selain itu, kesempatan buat jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) juga terbuka lebar. Orang tuamu udah membayangkan kalau kamu bakal dapat gaji layak dan jaminan hari tua. “Mak, baru juga mau ikutan SNMPTN, udah ngomongin pensiun?”
Kuliah itu bukan perkara bayar, belajar, skripsi tepat waktu, dapat gelar, lalu kerja. Kamu akan belajar bagaimana menjadi pribadi dewasa yang punya intelektualitas. Mengorbankan 4 tahun untuk belajar sesuatu yang nggak sesuai renjanamu? Itu namanya buang-buang waktu dan uang!
14. “Pilih Jurusan yang Bisa Cepat Kerja”
Yup, lagi-lagi soal pekerjaan (baca: uang). Menurut sebagian besar orang tua di bumi ini, jurusan yang bisa cepat kerja antara lain: Kedokteran, Keguruan, Teknik, dan Ekonomi. Sementara, jurusan seperti Seni Rupa, Sastra, dan Musik dianggap nggak lebih dari remah-remah kerupuk. Kasarnya, nggak bisa menghasilkan banyak uang.
Well, orang tua harusnya update informasi juga, guys. Betapa di era modern ini orang-orang mulai berpikir kreatif. Mereka mulai sadar bahwa industri kreatif adalah salah satu yang punya potensi besar untuk ambil bagian di sektor ekonomi Indonesia. Profesi seperti penulis, pelukis, musisi, hingga fotografer digadang-gadang bakal punya masa depan cerah.
15. “Jangan Mau Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga!”
Di satu sisi, memang benar kalau perempuan harus bisa sejajar dengan laki-laki. Bisa jadi ibu rumah tangga sekaligus wanita karir. Katanya, punya penghasilan sendiri membuat wanita naik derajat dan lebih dihargai oleh suaminya. Jika ternyata terjadi perceraian, si wanita tetap bisa bertahan hidup tanpa harus minta belas kasihan suami. Tapi, apa salahnya “cuma” jadi ibu rumah tangga?
Penggunaan kata ‘cuma’ seakan-akan merendahkan profesi sebagai ibu rumah tangga. Padahal, ini bukan hal yang mudah. Untuk mengurus suami, rumah, dan mendidik anak, wanita butuh lebih dari 24 jam. Jadi, jika seorang wanita memutuskan untuk ‘hanya’ menjadi ibu rumah tangga, mereka nggak boleh dianggap sepele.
Menjadi orang tua jelas bukan perkara gampang. Tapi, anak-anak juga butuh perhatian dan didikan yang baik dari orang tuanya. Apa yang orang tua sampaikan biasanya akan berpengaruh hingga anak-anak menginjak usia dewasa. Jika kelak kita jadi orang tua, mungkin kita harus pikir-pikir lagi sebelum mengucapkan kata-kata di atas, ya…