“Dek, ini gimana caranya kirim foto lewat WhatsApp? Ibu lupa.”
Sudah ketiga kalinya Ibu bertanya hal yang sama, selama seminggu terakhir ini saja. Kutahan refleks untuk memutar bola mata atau menghembuskan napas kesal. Sebenarnya mudah saja buatku untuk berkata, “Masa ngirim foto aja nggak bisa sih, Bu?” — tapi untuk apa? Bukan salah Ibu ia lahir dari generasi yang tumbuh dengan pulpen dan kertas wangi. Lagipula beliau ibuku sendiri.
“Klik kanan, Bu. Lihat itu ada ikon gambar nggak? Nah, tinggal klik gambar itu, terus pilih foto dari galeri.”
Ibu memperhatikan jari lincahku, serius menyimak instruksiku. Bagai bocah yang menyaksikan sebuah permainan sulap dan penasaran ingin membongkar trik sulap itu.
“Ooh, gini ya Dek?”
“Iya, terus klik send aja.”
“Send itu apa Dek?”
“Bahasa Inggris Bu, artinya ‘kirim’.”
Ibu terlihat bangga, bisa mengirimkan foto bunga-bungaan cantik yang tumbuh di pekarangan kami pada Kakak dan keluarga Kakak di luar kota. Untuk beberapa saat ia terlihat tak terpisahkan dari ponsel pintarnya, sekali-kali melongok apakah ada balasan Kakak di sana.
“Ya udah Dek, makasih ya. Nanti kalau Ibu lupa Ibu tanya-tanya kamu lagi ya?”
“Oke!”
ADVERTISEMENTS
Sebelum ada smartphone pemberianku, Ibu hanya punya HP usang yang dibeli bertahun-tahun yang lalu
Ibu, sebagaimana orang-orang lanjut usia pada umumnya, bukan individu yang paling melek teknologi. Bertahun-tahun sebelum ini yang ia miliki hanyalah telepon seluler murah berlayar hitam putih yang hanya bisa menelepon dan mengirim pesan singkat. Kami iseng memanggilnya “HP senter”, karena selain untuk berkomunikasi kegunaannya yang efektif memang hanya untuk jadi lampu senter. Casing belakangnya pun terpaksa diselotip karena sering lepas-lepas sendiri.
Beberapa minggu lalu HP senter Ibu mati total. Ibu pun tak bisa semudah biasanya ketika harus berhubungan dengan orang-orang yang ingin membeli kue dagangannya. Akhirnya aku dan Kakak berinisiatif: kami harus membelikan Ibu ponsel baru. Tak perlu yang mewah — asal ada aplikasi chat-nya saja, kami kira Ibu sudah akan suka.
Kini sebuah ponsel pintar sederhana selalu tergeletak manis di atas kulkas, di samping kunci motor bebek dan dompet Ibu. Hari-hariku pun diisi permintaan beliau untuk yang selalu meminta tutorial untuk mengoperasikan ponsel barunya. Suatu hari ia mengeluh: kenapa HP ini baru dibeli tapi udah nggak bisa nyala? Setengah panik, cepat-cepat kuperiksa untuk menilik kerusakannya. Ah, Ibu — ini sih cuma habis baterai saja. Beliau terlalu terbiasa dengan ponsel usang yang power-nya tahan hingga berhari-hari, sampai tak tahu bahwa ponsel barunya itu butuh di-charge beberapa jam sekali.
ADVERTISEMENTS
Kini Ibu lebih sering mengirimiku pesan. Kami mengobrol tentang hal-hal yang sebelumnya tak terpikirkan
“Ibu habis nonton gosip di tivi! Si X sama Y mau cerai lho Dik… Duh sayang, padahal cantik sama ganteng!”
Sore ini Ibu mengirimiku rantaian pesan lewat WhatsApp tentang acara tivi yang ditontonnya. Rasanya seperti dapat streaming Periscope via tulisan. Aku tersenyum saja, sebenarnya agak geli campur sebal karena Ibu menonton acara gosip. Tapi Ibu memang begitu. Ada hal-hal yang akan melekat dengan dirinya, selalu. Termasuk hobi menonton gosip dan menyayangkan perpisahan dua insan yang sama-sama menarik dalam hal penampilan.
Sebelum punya telepon pintar, hal-hal semacam ini tak akan pernah dibahas ibu lewat text message. Beliau dulu hanya mengirim pesan-pesan yang penting saja: “Sudah makan? Makan apa?” “Pulang jam berapa? Pintunya mau Ibu kunci.” “Bapak nggak pulang hari ini, kamu masuk lewat pintu dapur aja ya.” Mana pernah tiba-tiba ada SMS dari HP senternya yang berbunyi “Duuuh, Ibu diare kayaknya Dik!”
Aku senang, karena ini memperbarui interaksi di antara kami. Paling tidak, meski sama-sama sibuk kami tetap bisa mengobrol kecil setiap hari. Aku bisa lebih mengenalnya, bersabar memaklumi tabiatnya, tertawa saat menyadari bahwa kami begitu mirip namun bisa juga benar-benar berbeda.
ADVERTISEMENTS
Kadang aku ikut bahagia. Kini Ibu lebih mudah bertukar cakap dengan teman-teman yang sudah lama tak ditemuinya
Karena ponsel barunya, teman-teman Ibu dari SD sampai SMA akhirnya bisa memasukkan beliau dalam grup chat. Ini langsung membuat Ibu bersemangat.
“Temen Ibu pada suka kirim-kiriman gambar Dek, lucu-lucu lho…”
“Oooh, itu namanya meme, Bu. Dari bahasa Yunani gitu.”
“Nih Dek, ada yang gambarnya Sutan Batugana!”
Kupikir egois sekali jika berpikir bahwa yang berkirim meme dan foto selfie selama ini hanya generasi kita saja. Diam-diam, ayah dan ibu kita pun bisa juga menikmatinya. Ibuku bukti nyatanya. Dengan ponsel pintar barunya sekarang, ia bisa asyik turut dalam perbincangan dengan teman-teman yang sudah lama tak ditemuinya. Teman-teman yang mungkin sekarang wajahnya sudah banyak berubah pula. Entah apa yang mereka bicarakan — mungkin sekolah dan guru mereka dulu, mungkin jalan di kota mereka yang sudah banyak berubah, mungkin anak-anak mereka — termasuk aku. Kadang aku pun tersenyum saat melihat wajah Ibu, yang selama ini lebih banyak seriusnya, bisa cengengesan sambil melihat layar ponsel juga.
ADVERTISEMENTS
Tak mengapa jika Ibu masih perlu diajari memakai ponselnya. Ini giliranku, setelah dulu Ibu mengajarkanku membaca
“Dek, ini gimana matiin HP-nya?”
Memang Ibu terkadang lupa, karena ponselnya yang sekarang tak bisa dimatikan hanya dengan memencet tombol di bagian atas casing. Kalau sudah seperti itu, aku akan mendatangi tempat beliau berdiri kebingungan, mengambil ponselnya kemudian menunjukkan sekali lagi apa yang sebelumnya, sebenarnya, sudah berkali-kali kuajarkan.
Tidak apa-apa. Sekarang saatnya aku memberikan sesuatu untuk Ibu, setelah dulu, beliaulah yang mengajariku bagaimana membaca, berdoa, mandi dan berbicara pada hidup dengan semangat yang terjaga. Aku tahu, selama lebih dari 20 tahun hidupku, sudah berkali-kali Ibu berusaha bersabar menghadapi putrinya ini. Tak adil sekali jika aku enggan meluangkan waktu untuk mengajari Ibu, hanya untuk beberapa detik dari hariku.
“Dek, ayo selfie bareng Ibu! Buat dikirim ke Kakak ini. Eh gimana tadi cara ngirim gambar lewat WhatsApp?”
Tak aku tahu sebelumnya ada hal yang bisa membuatmu merasa haru sekaligus ingin tertawa. Ah, Ibu. Meski dirimu masih sering gagap teknologi, tak berkurang sedikitpun rasa sayang putrimu ini.