“Tinggalnya di mana?”
“Oooh..kerjanya apa?”
“Memang suka makan cokelat ya?”
Percakapan-percakapan khas pendekatan macam ini, bagi kita yang selalu mencoba diri untuk membuka hati lagi, pasti sudah dihapal di luar kepala. Ibarat permainan sepak bola yang sudah ada formasinya — badan dan bibir akan bergerak dengan sendirinya.
Bagi beberapa orang percakapan kecil macam ini akan terdengar cute dan menggemaskan. Ada sisi keingintahuan dan usaha mengenal yang terasa. Orang luar yang mencuri dengar bisa bergidik atau tersenyum sendiri memperhatikannya.
Namun percakapan kecil khas PDKT juga setara dengan usaha. Usaha untuk mengenal orang baru, usaha membuka diri kembali setelah hati tersakiti, usaha untuk kembali percaya kalau kita bisa jatuh cinta lagi. Kamu dan saya yang sudah pernah jadi veteran patah hati parah berkali-kali malah sudah muak kalau harus kembali mengulang ini.
Sejak kali terakhir saya harus memeluk diri sendiri selama berbulan-bulan karena sakit hati, saya berusaha untuk tidak mengulangi percakapan-percakapan kecil ini lagi.
ADVERTISEMENTS
Jika kita mau mengawali semuanya dengan pertanyaan yang lebih dalam — hati kita tidak akan sesering itu lebam.
Daripada menggunakan template, “Sedang apa?” saya menggantinya dengan “Kalau longgar, mau jalan keluar?”
Sudah saatnya kita tancapkan kata tamat pada basa-basi “Sedang apa?” yang sudah jadi seperti himne wajib saat pendekatan. Hidup sudah terlalu rumit untuk mengirimkan kode yang diharap bisa terbaca. Aku memilih untuk membuat semuanya sederhana saja. Pertanyaan “Sedang apa?” yang sebenarnya dikeluarkan untuk memancing perbincangan diganti dengan pertanyaan lugas, “Mau jalan keluar kalau sedang longgar?”
Beberapa orang bisa menganggapmu terlalu agresif. Cap terburu-buru dan takut sendirian juga bisa jadi bumerang. Untuk menanggapi ini, kamu selalu punya dua pilihan. Menghemat waktu demi menyelamatkan perasaan atau memilih menyelamatkan citra di depan banyak orang yang tidak terlalu peduli jika kamu merasa kesepian.
ADVERTISEMENTS
Percayalah, lebih banyak mata bersinar yang akan kamu temui selepas itu. Hanya orang-orang semagnet yang mendekat padamu
Kami bertemu karena aplikasi yang menamakan diri aplikasi perkenalan. Tapi lebih banyak digunakan untuk mecari pasangan. Dia datang dengan tas daypack khas pejalan. Sekilas lihat, saya bisa mencium aura tidak betah jika tidak browsing tiket murah lewat dari tiga bulan.
Saya punya banyak sekali pilihan pertanyaan standar yang bisa diajukan. Bisa saja saya bertanya, “Kamu suka jalan-jalan ya?” atau malah, “Sudah ke mana saja?”
Jawabannya tetap bisa membuat hubungan kami bergerak. Namun masih banyak pertanyaan lanjutan yang harus diajukan demi membuatnya naik tingkat.
Karena itu saya memutuskan mengeluarkan pertanyaan yang lebih lugas. “Tempat mana sih yang paling bikin kamu merasa terinspirasi? Atau merasa pulang?”
Matanya bersinar. Confirm. Sesungguhnya hanya segelintir orang yang suka diajak basa-basi. Dia bercerita panjang soal Natuna dan Banda Neira. Tentang perjalanan terakhirnya ke Kobe demi mencari daging terenak sedunia. Selepas pertemuan pertama, kami sudah tahu kalau kami punya cara berjalan yang berbeda. Saya goler-goler, dia terencana. Tapi kami bisa berjalan bersama.
ADVERTISEMENTS
Meringkas percakapan singkat sama dengan meringkas jalan menuju jodoh. Sayang, kebanyakan orang terlalu tinggi hati membawa egonya roboh
Ego untuk merasa dikejar, merasa dibutuhkan, merasa diperjuangkan — memang sangat wajar kita miliki. Siapa yang tidak ingin bisa bercerita kalau dulu kamu diperjuangkan dengan mati-matian? Untuk mengetahui hobimu saja dia harus chat intensif selama 2 minggu. Dia harus bersabar menunggu dalam hitungan bulan demi bisa mengajakmu keluar.
Di akhir hari, perasaan macam itu tidak akan sebanding dengan perasaan lengkap dan hati yang hangat.
Selepas kamu menemukan dia yang kamu cintai setiap sisinya, sampai ke tulang belikat.