Langit kota mendung seharian. Karenanya yang bisa kulakukan hanya duduk di sudut kafe, ditemani laptop dan secangkir Caffè Latte. Masih ingatkah kamu tentang minuman favoritku ini? Dulu aku selalu memesan minuman yang sama, sehingga kamu tak perlu menanyaiku lagi mau pesan apa. Dulu sekali, ketika segala di antara kita masih baik-baik saja.
Apa yang kamu tahu tentang sakit hati?
Aku pernah memiliki hari-hari yang begitu buruk setelah kamu pergi. Rasanya ada bolong besar dalam hidupku. Namun, menambalnya pun tak akan membuatnya kembali sempurna. Mendengar namamu disebut saja sudah membuatku begitu marah. Sakit hati ini kupikir akan kubawa mati. Tapi lucu sekali, kini aku bisa mengenangmu, menyebut namamu, dan mengingat kenangan kita dengan baik-baik saja.
Aku ingat hari di mana kamu memutuskan menyerah. Meninggalkanku dalam kebingungan dan amarah
Aku sudah lama curiga bahwa yang paling menyakiti dari sebuah hal buruk adalah ekspektasi. Ketidaksesuaian realita dengan ekspektasi ini menjadi tamparan keras yang menyakitkan. Hari itu pun sama. Aku sudah merancang pertemuan yang indah setelah kita lama tak berjumpa. Kusiapkan banyak cerita untuk dibagi, agar kamu lebih update tentang hidupku. Tetapi, apa yang kudapati? Kamu datang hanya untuk mengakhiri janji-janji yang dulu sempat kamu ucapkan.
Hari-hari setelahnya perasaanku ambigu. Terkadang aku begitu marah, tapi sering juga aku merindu
Amarah yang kurasakan itu bercambur dengan rasa kehilangan. Rasa rindu menggedor-gedor hatiku, dan membuat segalanya terasa ambigu. Terkadang aku sangat marah dan terkhianati, tetapi, di waktu yang lain aku tak ingin kehilanganmu. Terkadang aku berdoa supaya aku tidak bertemu dengan orang sepertimu di kehidupanku selanjutnya, tetapi di waktu yang lain aku ingin bertemu denganmu sekali lagi. Terkadang aku mengutuk supaya kamu tidak pernah bahagia dalam hidup, tetapi di waktu lain aku ingat kamulah orang yang membuatku bahagia.
Di satu waktu, aku merasa kita harus kembali bersama. Sebab kurasa akhir kita tidak begini seharusnya
Ketika rasa rindu itu sudah tak terbendung, aku harus bertarung dengan keinginan untuk kembali bersama. Kurasa, bukan akhir yang seperti ini yang layak untuk kita. Perjalanan yang panjang dan perjuangan bersama, kenapa harus berakhir dengan derita? Logikaku tumpul di sini, dan aku merasa kita harus kembali bersama. Sayangnya, luka perpisahan seolah tak kamu rasakan. Sebab, kamu sudah menemukan seseorang untuk pelabuhan selanjutnya, membuat luka di hatiku semakin menganga dan kebencianku semakin menggelora.
Kukira lukaku akan selamanya. Namun, ternyata benar, ini hanya perkara waktu dan kerelaan untuk mengikhlaskan
Luka itu membuat segalanya terlihat buruk. Aku menjadi penuh curiga dan pesimis terhadap setiap hubungan. Kehadiranmu yang tak selamanya itu meninggalkan bekas. Kamu menjadi orang yang paling kubenci dan kuhadiahi caci maki setiap hari. Sakit hati yang kualami membuatku tak bisa berpikir apa-apa selain bahwa kamu adalah orang jahat dan aku adalah korban. Tanpa kusadari, aku menjadi enggan membuka hati, sebab kamu membuatku tahu rasanya sakit hati, dan aku tak ingin mengulanginya lagi.
Sudah kujelajahi memoriku untuk mencari tahu apa yang terjadi hingga akhirnya kita begini. Lega rasanya memahami bahwa mungkin ini yang terbaik untuk kita
Seiring waktu berlalu, ketika emosiku sedikit mereda, aku bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi. Mengapa mendadak kamu pergi, dan mengapa aku sesakit ini. Apa benar aku sakit hati karena kehilangan, atau sekadar tak rela karena kamu yang menyerah duluan. Kuevaluasi semua kemungkinan yang muncul di kepala, yang tak bisa kulakukan saat emosiku masih menggelora. Lantas benang-benang kusut itu pun terurai. Aku pun menyadari bahwa sedari lama ada yang tidak beres di antara kita. Barangkali perpisahan adalah hal terbaik yang bisa kita putuskan.
Terima kasih telah melepaskanku saat itu, sebab kini aku menemukan seseorang yang mungkin lebih ‘tepat’ untukku
Ada satu hal yang harus kuakui sekarang. Aku berterima kasih karena kamu melepasku, sebab aku tahu bahwa aku mungkin terlalu takut untuk kehilangan dan sendirian. Sehingga aku memutuskan untuk bertahan meski luka membuat kita kepayahan. Terima kasih karena kamu melepaskanku saat itu, karena aku bisa mengambil banyak pelajaran tentang kesalahan-kesalahan yang tak bisa diperbaiki. Terima kasih sudah melepaskanku saat itu, karena kini aku menemukan seseorang yang lebih tepat untukmu.
Hidup ini terkadang lucu sekali, ya. Kupikir, aku akan membencimu selamanya. Kupikir, aku tak akan bisa merasakan cinta lagi setelah kepergianmu. Ternyata, segalanya hanyalah perkara waktu. Kini semua kenanganmu tak lagi menyakitimu. Di mana pun kamu berada, kuharap kamu pun begitu.